Surabaya, CNN Indonesia -- Mantan Ketua Umum Persebaya, Arif Affandi, menyarankan agar Ketua Umum PSSI, La Nyalla Mattalitti dan Ketua Persebaya PT Persebaya Indonesia, Saleh Mukadar, duduk bersama dan membicarakan "penyakit" yang menjangkit Persebaya dengan kepala dingin.
Arif yang pernah dua tahun menjadi ketua umum (2005-2007), berharap konflik itu tidak berkepanjangan. Ia menceritakan bahwa dahulu Saleh dan La Nyalla bersama-sama mengelola Persebaya, tapi kemudian hubungan mereka memburuk.
Arif sendiri menyatakan bahwa secara nyata tidak terjadi dualisme karena Persebaya 1927 sekarang tidak punya klub dan tim. Menurutnya, dualisme terjadi di tingkat kepengurusan dan suporter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau sepak bola tidak punya tim bagaimana? Yang punya tim Persebaya adalah PT MMIB (Mitra Muda Inti Berlian). Apakah kalau sudah seperti ini masih dianggap dualisme?" kata mantan wakil walikota Surabaya tersebut kepada
CNN Indonesia di sebuah kedai kopi daerah Graha Pena, Rabu pagi (2/9).
"Realitas dari klub sepak bola itu kan harus punya tim, produknya ada. Kalau PT-nya ada tapi produknya tidak ada, apakah kemudian masih menjadi industri sepak bola? Kalau ingin menyelesaikan persoalan Persebaya sebenarnya sederhana. Pak Saleh dan Pak La Nyalla duduk bersama," tegasnya.
Berawal dari Peraturan MendagriMenurut Arif konflik internal Persebaya sendiri berawal ketika pada 2007 ia dilengserkan sebagai ketua klub oleh Saleh Mukadar Ismail, pemimpin klub Persebaya 1927 saat ini. Hal ini terjadi saat Persebaya masih satu dan belum menjadi koorporasi, masih sebuah perkumpulan yang sebagian besar dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Menurutnya, semua ini bermula karena ia memiliki ide untuk merespons Permendagri No.59 tahun 2007 tentang pelarangan penggunaan APBD untuk klub-klub sepak bola.
"Pada saat itu saya dilengserkan karena membawa gagasan untuk membuat PT Persebaya. Waktu itu, karena APBD dan sumber pendanaan tidak ada, satu-satunya cara kan kita harus mengandalkan bisnis. Sumber bisnisnya apa?
"Satu adalah dari pertandingan, kedua dari
apparel/
brand, ketiga dari transfer pemain, keempat dari bisnis lain.
Arif menuturkan bahwa ia dulu membayangkan PT Persebaya memiliki bisnis advertorial/reklame dan kemudian berkembang menjadi bisnis komersial untuk menyokong PT Persebaya. Akan tetapi, tuturnya, gagasan tersebut ditentang oleh antara lain Saleh Mukadar dan klub-klub anggota Persebaya.
"Sehingga muncul mosi tidak percaya dan akhirnya Ketua Umum Persebaya digantikan oleh Pak Saleh lagi. Ternyata Pak Saleh mendirikan PT Persebaya Indonesia yang kemudian melahirkan Persebaya 1927," tuturnya.
Setelah dalam lima tahun selanjutnya terjadi perpecahan lalu terbentuk Persebaya 1927 dan Persebaya Surabaya, Arif sendiri sempat mengusulkan untuk menggabungkan kedua PT tersebut dan melahirkan satu tim. Tapi usulan itu tidak berjalan.
Arif kemudian mempunyai ide lain yaitu untuk membiarkan dua klub Persebaya dalam satu kota.
"Sejarahnya di Eropa bisa dua klub kan? Manchester United dan Manchester City semuanya bisa eksis dan besar masing-masing. Nanti tergantung manajemen masing-masing."
"Ini akal sehat, rasional. Tapi ternyata usulan itu juga
ndak jalan," ujarnya.
Bonek Cinta Siapa?Ada Persebaya MMIB dan Persebaya 1927, ada juga Bonek (Bondo Nekat, sebutan suporter Persebaya) MMIB dan Bonek 1927. Terpecah, dan masing-masing juga memiliki klaim sendiri-sendiri. Tapi tidak semuanya bisa eksis.
Persebaya MMIB diakui PSSI sedangkan Persebaya 1927 tidak. Hal itu menyebabkan Persebaya 1927 kehilangan para pemain dan pengurus, serta tidak bisa mengikuti kompetisi sepak bola di tanah air.
Arif menimbang bahwa tidak gunanya memiliki suporter tapi tidak punya tim dan tidak ada gunanya mencintai Persebaya jika tidak ada timnya.
Direktur Utama Wira Jatim Group ini mengingatkan, jikalau Persebaya 1927 tidak memiliki tim, maka tiga sampai lima tahun ke depan akan hilang sendiri.
"Maka dari itu, saya tetap pada usul saya. Kalau Pak La Nyala dan Pak Saleh tidak bisa bertemu secara personal, dua PT tidak merger, Boneknya juga mengkristal, ya sudahlah menurut saya jadi dua (Persebaya) saja.
"Intinya saya menginginkan kompetisi yang
fair, jangan dipolitisasi,"
"Ini klub, ini sepak bola. Tinggal cari produknya. Cintanya bonek cinta kepada siapa? Cinta kepada nama saja Persebaya 1927? Nanti kan lama-lama habis sendiri kalau tidak ada timnya."
"Ini sepak bola, harus
real. Ini bukan politik yang membutuhkan citra dan sebagainya, ini bola. Harus ada produknya. Tim aja kalau kalah tidak akan disukai oleh suporter, harus bikin prestasi," tutur laki-laki berusia 52 tahun itu.
Mantan Wakil Direktur PT Jawa Pos Group (2000-2005) ini menganggap Bonek bukan semata-mata suporter, melainkan merupakan fenomena Surabaya.
Bonek, katanya, adalah karakter sosiologis orang surabaya yang berani dan blak-blakan yang disimbolkan di dalam kebanggaan akan kota yang lalu dimanifestasikan kepada klub sepak bola Persebaya yang dulu bagus serta mempunyai prestasi.
"Mestinya orang Surabaya itu
ndak ingin konflik berketerusan, ini saya tidak paham. Mungkin saja karena pemegang sahamnya bukan orang asli Surabaya jadi tidak bisa menyelesaikan konflik ini dengan cara Surabaya. Konflik orang Surabaya itu selama bisa diomongkan
ya omongkan."
"Orang Surabaya bisa bermusuhan tapi kemudian berteman. Apakah bonek yang konflik berketerusan ini representasi karakter Bonek yang asli? Ini yang jadi pertanyaan. Mestinya kalau bonek asli, itu dia tidak akan konflik berketerusan. Dia akan jadi satu, harusnya begitu," ucapnya.
(vws)