Jakarta, CNN Indonesia -- Dahaga Indonesia akan prestasi dan gelar juara di ajang olahraga internasional sudah bak manusia yang berjalan di gurun pasir selama bertahun-tahun. Atlet muda pun menjadi tempat menumpahkan asa untuk bisa berjaya di mancanegara.
Nama Rio Haryanto dan Evan Dimas hanyalah segelintir di antara banyak atlet tumpuan harapan negeri ini. Sayangnya, hingga detik ini, asa itu tak jua mendapat ruang dan waktu untuk mewujud nyata.
Rio masih sedang berjuang mendapat kesempatan berlaga di ajang Formula One (F1). Beruntung, Rio masih konsisten menunjukkan komitmennya untuk bisa berjaya di ajang balap jet darat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lain ceritanya dengan Evan. Pemain 20 tahun ini baru saja mengalami kegagalan untuk menjajal kompetisi sepak bola di ranah Eropa.
Gegap gempita menyambut kabar Evan akan berlaga di Liga Spanyol, masih harus kembali meredup. Berharap hanya untuk sementara saja kemudian kembali menyala.
Apa yang salah dengan dunia olahraga Indonesia? Apa yang salah dengan para atlet muda bangsa ini?
Pengamat olahraga Tommy Prasetyantono mengungkapkan analisanya saat berbincang dengan
CNN Indonesia melalui sambungan telepon, Rabu (9/9), tepat di perayaan Hari Olahraga Nasional Indonesia (Haornas).
Menurut Tommy, perlu ada perbaikan pola perekrutan atlet muda Indonesia. Ya, Tommy melanjutkan, masalah olahraga Indonesia tak hanya pada pengembangan, tapi lebih dasar lagi, yakni perekrutan.
Belajar dari Negeri SeberangTommy mengajak untuk sejenak melirik pola perekrutan atlet di Jepang yang terbilang sukses di dunia olahraga. "Kenalkan olahraga sejak usia sangat muda melalui bangku sekolah," kata Tommy.
Jepang, lanjutnya, mewajibkan setiap siswa tak hanya aktif di bidang pendidikan formal, tapi juga olahraga. Sejak sekolah dasar, murid-murid sudah diwajibkan memilih satu cabang olahraga sebagai kegiatan ekstrakurikuler.
"Jadi pengembangan pendidikan formal harus sejalan dengan olahraga. Bahkan olahraga sering dijadikan tolok ukur untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya."
Memasuki jenjang sekolah menengah, siswa mulai diperkenalkan pada sistem kompetisi. Di Jepang, lanjut Tommy, setiap pekan ada gelaran kompetisi antar sekolah.
Jadi, penting bagi sekolah untuk bisa memenangkan kompetisi demi nama institusi. Alhasil, sekolah juga bertanggung jawab menyukseskan siswa untuk menguasai olahraga.
"Bahkan di jenjang SMA, olahraga bisa dijadikan alat untuk memperoleh beasiswa di tingkat perguruan tinggi."
Jangan Melulu TerpusatkanDi Indonesia, metode perekrutan dengan mengenalkan olahraga sejak usia dini menurut Tommy perlu dilakukan. Tak hanya itu, ada sistem lanjutan yang juga harus diperhatikan. "Identifikasi atlet olahraga apa yang sering muncul dari satu daerah," katanya lagi.
Tommy mencontohkan juara lari yang sering muncul dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ia menuturkan, ada seorang pria bernama Juber yang sering menemukan dan membesarkan atlet pelari dan kemudian ditarik ke Jakarta.
Tommy mengatakan, Indonesia tak harus melulu menarik atlet daerah ke pusat untuk pengembangan. "Mengapa tak kirim pelatih ke daerah tersebut, agar sang anak tetap berlatih juga bersekolah."
Memusatkan pelatihan ke pelatnas hanya akan membuat atlet muda itu kerap kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal. Selain dapat terus bersekolah, ia akan menjadi sosok yang menginspirasi anak-anak lain untuk menjadi atlet nasional.
"Lihat di Jepang dan Amerika, pengembangan dan pelatihan atlet itu ada di kampus. Jadi mereka tetap mengenyam pendidikan dan mengembangkan kemampuan olahraganya."
(vri)