Lupakan Tiki Taka, Eropa Kini Menyukai Serangan Balik

Martinus Adinata | CNN Indonesia
Selasa, 15 Sep 2015 21:58 WIB
Taktik penguasaan bola yang menjadi bagian penting dalam filosofi tiki taka, kini mulai tergusur oleh taktik serangan balik.
Skuat Barcelona dikenal menjadi juara berkat gaya permainan tiki taka. (REUTERS/David Mdzinarishvili)
Jakarta, CNN Indonesia -- Barcelona memang berhasil menjuarai Liga Champions musim lalu, namun gaya permainan tiki taka yang melekat dengan klub asal Katalonia itu kini tak lagi dianggap sebagai favorit klub-klub Eropa.

Pasalnya, taktik penguasaan bola yang menjadi bagian penting dalam filosofi tiki taka, kini mulai tergusur oleh taktik serangan balik, yang dianggap lebih efektif.

"Penguasaan bola hanya penting jika Anda mampu melakukan penetrasi atau memiliki penyelesaian akhir di lini depan," ujar Direktur Teknik UEFA, Ioan Lupescu, saat forum diskusi pelatih-pelatih top Eropa di Nyon, Swiss, seperti dikutip dari Independent.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semakin menurunnya popularitas sepak bola dengan pola penguasaan bola juga terlihat di Liga Europa musim lalu.

Saat itu Sevilla dan Dnipro Dnipropetrovsk yang melaju ke partai puncak, merupakan dua tim dengan rasio penguasaan bola terendah di Liga Europa.

Selain itu, timnas Inggris U-21 yang memiliki rasio penguasaan bola terbesar dibanding negara lainnya di Piala Eropa U-21, juga harus pulang lebih awal di babak penyisihan grup.

Sedangkan di sisi lain, sepak bola yang mengandalkan serangan balik, kini mulai menjamur di daratan Eropa karena cenderung membawa hasil yang lebih baik.

Perubahan gaya permainan ini terlihat jelas di Liga Primer Inggris sejauh ini, dengan banyaknya klub tim tamu dengan penguasaan bola lebih rendah yang mampu meraih kemenangan.

Salah satu contohnya adalah Leicester City, klub promosi yang belum terkalahkan di lima pertandingan Liga Primer sejauh ini, meski mereka tak pernah memiliki penguasaan bola lebih dari 50 persen di tiap pertandingan.

Penurunan Kualitas Penyerang

Tak hanya itu, UEFA juga menyoroti semakin menurunnya kualitas penyerang-penyerang di daratan Eropa.

Pasalnya, pada musim lalu dari delapan pencetak gol terbanyak di Liga Champions, enam merupakan penyerang yang berasal dari Amerika Latin.

"Tim Eropa tidak mengembangkan pemain yang langsung menargetkan gol," ujar Jean-Francois Domergue, yang bertanggung jawab mengurus proyek akademi UEFA.

Dalam laporannya, Domergue melihat fenomena sepak bola di Jerman yang fokus pada penguasaan bola, teknik, dan transisi, telah menghasilkan banyak penyerang yang mampu mengeksploitasi ruang kosong di antara pemain belakang.

Namun, sistem itu tak menyokong kehadiran penyerang tengah tradisional yang tugasnya mencetak gol.

Catatan itu juga ditambah dengan semakin merosotnya gol yang dihasilkan dari umpan terobosan, yang biasa merupakan umpan-umpan kesukaan para penyerang tengah tradisional.

Pada Liga Champions musim lalu, hanya 13,86 persen gol yang berasal dari umpan terobosan. Jumlah itu menurun drastis dari musim sebelumnya, yang sempat mencapai 26 persen.

Sedangkan gol yang berasal dari kombinasi umpan-umpan pendek, menjadi kesukaan para penyerang modern yang mengandalkan kecepatan dan kemampuan mencari ruang. Jumlah gol dari umpan-umpan pendek mencapai 23,6 persen.

Jumlah itu lebih tinggi tiga kali lipat dari catatan UEFA pada musim 2009/10 lalu. (har/kid)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER