LIPUTAN KHUSUS

Daud Yordan, Pundak Harapan Terbaru Tinju Indonesia

Vetriciawizach | CNN Indonesia
Jumat, 05 Feb 2016 06:50 WIB
Setelah era Chris John, Daud Yordan yang akan naik ring melawan petinju Jepang ini jadi harapan Indonesia di tinju internasional
Daud Yordan bertanding dengan sparring partnernya seorang petinju lokal, Sahlan, di Harry's Gym, Kuta, Bali, Rabu (13/1). (CNN Indonesia/Vetriciawizach)
Jakarta, CNN Indonesia -- Daud ‘Cino’ Yordan punya janji. Jika naik ring melawan petinju Jepang, Yoshitaka Kato, Jumat 5 Februari di Jakarta, ia akan mengenakan jubah warna pink khas Miguel Cotto, dan diiringi lagu yang sama ketika Miguel Cotto bertanding.

Apapun yang berkaitan dengan Cotto, seorang juara dunia tinju dari Puerto Rico, memang membuatnya lebih percaya diri.

Jaket yang akan dikenakan Daud Yordan ketika bertanding memiliki nuansa pink. (CNN Indonesia/Vetriciawizach)
Suatu waktu Daud memesan dengan motif bendera Puerto Rico pada tukang jahit, hanya karena Cotto menggunakannya ketika bertanding. Daud menginginkan celana yang sama persis. Ia kumpulkan semua foto ketika Cotto menggunakan celana itu, dan perlahan-lahan menerka desain lengkapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di lain waktu, ia juga mengunggah pesan balasan Cotto untuk dirinya di sebuah jejaring sosial. Bukan sekali dua kali ia berhubungan di dunia maya dengan petinju 35 tahun itu.

Bertemu dengan Cotto tetap menjadi salah satu keinginannya dalam hidup.

Kefanatikan Daud Yordan dengan Miguel Angel Cotto Vazquez sebenarnya bukan rahasia lagi. Bertanyalah kepada setiap yang mengenal Daud, dan mereka akan bersaksi sosok Cotto tidak tergantikan siapapun. Bukan lagi idola. Tapi sudah menyerupai obsesi.

“Anak saya sempat mengira namanya sendiri adalah Miguel Cotto,” kata Daud seraya tertawa tentang putra satu-satunya yang lahir tiga tahun satu bulan lalu. Ia santai menerima saya disela-sela latihan di Harry’s Gym, Bali dua pekan lalu.

Daud sebenarnya menamainya Miguel Angel Yordan Jr. Tapi ketertarikannya  pada Cotto, dan bagaimana ia menghabiskan waktunya menyaksikan ratusan video pertarungan sang idola, menjadikan kehadiran Cotto sama tidak tergantikannya dalam hidup anaknya. Nama yang ia berikan juga merupakan doa agar kelak sang anak bisa menjadi petinju yang menyamai Cotto.

Bukan sekali dua kali Daud digoda karena pilihannya. Cotto bukan Mayweather Jr. yang tidak terkalahkan, atau Mike Tyson yang membuat dunia tinju terpana dengan nafsunya menghabisi lawan.

Tapi, apa boleh bikin. Cotto punya makna besar mengubah jalan hidup Daud sebagai petinju.

[Gambas:Video CNN]

Daud Yordan Bukan Penakut

Jalan panjang Daud Yordan menuju puncak tinju dimulai di usia delapan tahun. Ketika ia dibawa oleh sang kakak, Damianus, berlatih di sasana Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Sama seperti kebanyakan petinju lainnya, berjual beli pukulan di atas ring menawarkan kehidupan yang lebih baik. Namun bukan itu mimpinya pertama kali bertanding amatir pada 1996 silam. Daud hanya ingin mencicipi minuman bersoda.

“Bagi saya minuman termewah di zaman itu Coca-cola. Itu motivasi saya bertinju. Sederhana banget cita-citanya,” katanya seraya terkekeh mengenang masa kecil. Daud yang lahir 1987 mengaku tertarik karena melihat bapak angkatnya sering meminumnya.

Menginjak Sekolah Menengah Umum ia membuat keputusan. Ketika teman-teman sebayanya memilih bekerja atau kuliah, Daud memantapkan diri bertinju. Dari titik itulah impiannya berkembang dan membungbung tinggi.

Dari pelosok Ketapang, Daud menjadi seorang juara dunia IBO dan bahkan  pernah bertanding di MGM Grand Arena di Las Vegas. Mekahnya petinju dunia.

Tapi jalan itu tidak mudah. Apalagi untuk Daud yang memilih jadi petinju bergaya agresif. Petarung. Seorang Manny Pacquiao ketimbang Floyd Mayweather Jr.

Ia lebih senang berjual beli hantaman ketimbang harus berlari-lari kecil menghindari pukulan lawan. Seorang petinju yang senang menghabisi lawannya dengan pukulan Knock Out secepat mungkin.
Saya dianggap petinju penakut. Petinju cengeng. Petinju yang tidak punya mental.Daud Yordan


Dalam dunia tinju, tipe petarung sangat disukai penonton. Mereka-mereka lah yang akan menghidupkan atmosfer di atas ring dengan keberanian membuka sedikit pertahanan demi mendaratkan pukulan.

Di satu sisi, strategi ini membuat Daud mempunyai persentase meng-KO lawan hingga 63 persen, lebih tinggi ketimbang Chris John sang juara dunia asal Indonesia. Di sisi lain, tipe petarung punya risiko tersendiri. Satu kelengahan, terutama ketika berhadapan dengan lawan yang punya bogem mentah, bisa berakibat fatal.  

Daud mengaku bukan kebetulan ia mengambil pilihan tersebut. Di masa-masa awal bertinju amatir ia lebih sering diejek karena menjadi petinju yang pintar, berlari-lari menghindar pukulan lawan. Menerapkan strategi ‘pukul dan lari’.

“Saya dianggap petinju penakut. Petinju cengeng. Petinju yang tidak punya mental. Bagus di awal (pertarungan), sisanya takut,” katanya. “Dan itu tuh bukan satu dua orang, tapi semuanya. Karena itu saya merasa terusik.”

Daud ingin mengubah citra itu. Dan mencari-cari model petinju yang bisa ia tiru.

“Saya ingin menunjukkan kepada mereka bahwa saya bukan penakut. Tinju itu pake teknik. Pake akal. Akhirnya saya berpikir harus merevolusi diri saya sendiri. Dan akhirnya ketemulah Miguel Cotto ini.”

“Miguel Cotto ini tipe bertinjunya memang ‘boom boom boom boom’. Itulah yang membuat karakter saya hingga saat ini lebih senang jual beli pukulan.”

Daud Yordan bertanding dengan sparring partnernya seorang petinju lokal, Sahlan, di Harry's Gym, Kuta, Bali, Rabu (13/1).

Membuat Bibir Daud Yordan Berdarah

Ketika untuk pertama kalinya saya melangkah ke tempat latihan Daud di Harry’s Gym, Bali, ia sedang menyiapkan diri untuk sparring melawan petinju lokal. Sahlan Coral namanya, seorang petinju kelas welter. Daud sendiri petinju kelas ringan. Tapi melawan petinju dengan bobot lebih berat menjadi keharusan ketika tanggal pertarungannya semakin dekat.

Setiap Senin, Rabu, dan Jumat sore Daud akan bertarung dengan satu atau dua sparring partner. Selasa dan Kamis adalah untuk mengasah teknik. Setiap pagi, ia menempuh jarak berkilo-kilo dengan berlari.

Di tempat itu, Daud dan Sahlan bukan petinju satu-satunya. Harry’s Gym jadi satu dari dua sasana yang melahirkan petinju lokal di Bali. Satu lainnya adalah kepunyaan almarhum Daniel Bahari, promotor tinju yang juga pernah mengorbitkan Chris John.

Daud tetap menjadi bintang di antara para petinju Harry’s Gym. Tampaknya, mengalahkan atau bahkan sekadar sedikit membuat darah mengalir membawa kebanggaan tersendiri.

“Wawancara dia saja. Dia pernah membuat bibir Daud Yordan berdarah,” ujar seorang pria menunjuk petinju yang sedang asik melahap menu menghantam sansak ketika saya melintas di depannya. “Serius. Saat sparring dia benar-benar membuat bibirnya berdarah.”

Daud tentu bukan petinju yang tak pernah kalah atau tidak bisa mengucurkan darah. Dalam sejarah tinju profesional, Indonesia pernah menelurkan beberapa juara dunia. Mulai dari zamannya Elias Pical, Muhammad Rachman, hingga Chris John. Tapi saat ini Daud sendirian berada di puncak. Kalau dua atau lima tahun lalu Chris John menjadi ukuran, kini Daud sendirianlah yang menjadi sasaran utama para petinju Indonesia.

Karena tempat latihan di Jakarta tak layak, Craig Christian memilih melatih Daud Yordan di kamar Hotel Atlet Century, Jakarta, Senin (1/2)
Tinju memang sedang menguap lebar-lebar dan perlahan terlelap di Indonesia. Terutama di kota-kota besar. Muay Thai dianggap lebih seksi ketimbang olahraga full body contact ini sehingga keberadaan sasana tinju yang layak pun semakin punah.

Bahkan di pusat Jakarta sekali pun Daud mengalami kesulitan untuk mencari sasana yang layak untuk berlatih.

Ketika sudah ada di Jakarta beberapa hari sebelum pertarungan melawan Kato, sang pelatih melatih Daud di sebuah kamar hotel. Air Conditioner sentral yang cukup dingin membuat Daud harus menutupi seluruh badannya ketat-ketat untuk menjaga suhu badan. Tapi ini pilihan yang lebih baik ketimbang mengambil risiko konyol cedera sebelum bertanding.

Tapi ini bukan hanya soal minimnya sasana. Bayaran juga punya peranan besar.

Seorang petinju kelas nasional rata-rata mendapatkan bayaran satu hingga tiga juta rupiah untuk satu kali bertanding. Jika satu tahun ia hanya naik ring tiga atau empat kali, maka nyaris tak mungkin bagi seseorang petinju mengambil jalan sebagai profesional.

Karenanya Daud Yordan menjadi seperti jagoan kesepian. Ia dipuncak tetapi gamang sendirian nyaris tanpa lawan ataupun kawan sejauh mata memandang.

(vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER