Jakarta, CNN Indonesia -- Brandi Chastain, ikon sepak bola perempuan Amerika Serikat, berjanji untuk mendonasikan otaknya untuk penelitian penyakit
Chronic Traumatic Encephalopathy (CTE) di Universitas Boston.
Penyakit otak degeneratif tersebut bisa menyebabkan gejala-gejala mirip Alzheimer seperti kehilangan ingatan, kemarahan yang memuncak, dan juga perubahan suasana hati secara mendadak.
Para ilmuwan meyakini bahwa CTE timbul ketika kepala sering terkena pukulan sehingga menyebabkan munculnya protein tidak normal di otak yang dinamai
tau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepak bola dan juga rugbi, atau sepak bola Amerika (American Football), diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya CET pada atlet-atletnya.
Chastain adalah pencetak gol kemenangan di drama adu penalti final Piala Dunia Perempuan 1999 melawan China. Chastain dikenang publik negeri Paman Sam karena posenya setelah mencetak gol tersebut, yaitu berlutut, membuka kostumnya, dan juga mengepalkan tangannya sembari berteriak gembira.
Foto tersebut dipilih sebagai sampul majalah Sports Illustrated terpopuler kedua sepanjang sejarah. Banyak yang menganggapnya sebagai momen terhebat dalam sejarah olahraga perempuan Amerika Serikat.
Dalam pernyataannya, perempuan yang dua kali menjadi juara Piala Dunia itu berkata bahwa ia berharap donasinya akan mengubah sepak bola menjadi lebih baik lagi.
"Saya harap pengalaman saya di dunia sepak bola, dan apa yang bisa saya berikan kembali, bisa membuat sepak bola menjadi tempat yang lebih baik lagi dibandingkan ketika saya pertama kali terjun ke dalamnya," kata Chastain yang kini telah berusia 47 tahun.
"Sudah bermain bola sejak saya kecil, saya tak bisa menghitung sudah berapa kali saya menyundul bola. Jumlahnya sangat signifikan. Sangat mengerikan utnuk memikirkan seluruh sundulan itu dan juga potensi gegar otak yang tak pernah terdiagnosis dalam hidup saya. Tapi lebih baik untuk mengetahuinya."
Penelitian pada 2013 menujukkan bahwa pemain yang lebih sering menyundul bola memiliki kelainan pada otak mereka yang mirip dengan orang-orang yang terkena gegar otak. Penelitian itu juga menunjukkan bahwa pemain bola rata-rata melakukan enam hingga 12 kali sundulan setiap pertandingan, ketika bola melaju dengan kecepatan 50 meter per jam.
Dalam sesi latihan, setiap pemain menyundul bola setidaknya 30 kali.
Sundulan juga menjadi penyebab setidaknya sepertiga dari total kasus gegar otak ringan yang terjadi di tingkat pemain muda. Dan atlet-atlet perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi lagi.
Penelitian pada 2015 lalu terhadap 100 siswi SMU menunjukkan bahwa perempuan lebih berisiko terkena gegar otak 1,5 kali lebih tinggi ketimbang remaja pria.
Chastain yang telah menjadi seorang ibu kini berprofesi sebagai pelatih sepak bola di almamaternya, Universitas Santa Clara.
Dalam wawancaranya dengan
CNN Internasional pada 2012 lalu, Chastain mengatakan bahwa ia bekerja keras untuk mengajari para pemainnya menghindari benturan kepala.
"Bagi saya, sebagian besar dari pekerjaan itu bukan masalah menghindari sundulan. Tapi menyadari seberapa cepat musuhnya berlari menghampiri, bagaimana kondisi tubuh dalam ruang, dan bagaimana Anda bisa melindungi diri sendiri?" kata Chastain.
"Bagaimana Anda bisa melindungi diri sendiri dalam ruang (yang sempit) sehingga tidak terjadi benturan kepala?" katanya. "Kami mengajari para pemain kesadaran akan ruang ketika orang lain berupaya memasuki area mereka."
Chastain juga terlibat dalam kampanye "Sepak Bola yang Lebih Aman" yang bertujuan untuk menghapuskan sundulan di sepak bola usia dini, atau tepatnya di bawah usia 14 tahun.
November lalu, federasi sepak bola Amerika Serikat melarang anak-anak berusia di bawah 11 tahun untuk menyundul bola.
(vws)