Putra Permata Tegar Idaman
Putra Permata Tegar Idaman
Menggemari bulutangkis dan mengagumi Roberto Baggio sejak kecil. Pernah bekerja di harian Top Skor dan Jakarta Globe. Kini menjadi penulis di kanal olahraga CNN Indonesia

Praveen/Debby di Tikungan Terakhir Sebelum Olimpiade

Putra Permata Tegar Idaman | CNN Indonesia
Jumat, 18 Mar 2016 11:18 WIB
Kemunculan Praveen Jordan/Debby Susanto di peta persaingan ganda campuran kelas dunia terjadi pada waktu yang sangat tepat. Apa alasannya?
Praveen Jordan/Debby Susanto menjadi satu-satunya wakil Indonesia yang merebut gelar di All England 2016. (Reuters / Andrew Boyers)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Praveen Jordan dan Debby Susanto berhasil membuat kepala Indonesia tetap tegak di perhelatan All England tahun ini. Gelar juara Praveen/Debby menggagalkan hampa gelar Indonesia di turnamen bulutangkis tertua di dunia tersebut.

Kemenangan Praveen/Debby memang mengejutkan karena mereka bukanlah tumpuan untuk membawa pulang gelar All England. Namun kemenangan itu terasa tidak mengagetkan bila melihat yang disuguhkan oleh Praveen/Debby menuju partai final.

Praveen membuat banyak mata tertuju padanya lewat peragaan smash keras, kuat, dan menggelegar. Debby pun tak mau ketinggalan dan menunjukkan permainan rapi, taktis, dan cekatan di depan net.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gelar All England merupakan gelar super series/premier perdana yang didapatkan Praveen/Debby sejak mereka dipasangkan pada awal tahun 2014 lalu. Sebuah pijakan besar yang datang di waktu tepat, beberapa bulan sebelum Olimpiade 2016 digelar.

Meredupnya Empat Besar

Nomor ganda campuran dalam beberapa tahun terakhir dikuasai oleh empat pasangan, yaitu Zhang Nan/Zhao Yunlei (China), Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (Indonesia), Xu Chen/Ma Jin (China), dan Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen (Denmark). Keempat ganda ini bahkan sudah bersaing sejak Olimpiade 2012.

Mempertahankan performa di level atas tentu bukanlah perkara mudah. Empat ganda tersebut, meski hampir selalu bertahan di papan atas, tetap pernah mengalami fase penurunan.

Zhang Nan/Zhao Yunlei yang hebat itu pun pernah kesulitan menemukan performa terbaik. Hal sama juga dialami Tontowi/Liliyana, Xu Chen/Ma Jin, dan Fischer/Pedersen.

Tontowi/Liliyana saat ini sedang berjuang mengembalikan tingkat permainan mereka ke level terbaik karena sudah lama tak memenangi gelar super series, sedangkan Xu Chen/Ma Jin dan Fischer/Pedersen saat ini justru terlempar dari posisi empat besar.

Tak mudah mempertahankan performa di level atas terlebih keempat pasangan tersebut sudah berpartner dalam kurun waktu lebih dari empat tahun. Mereka yang pernah jadi favorit di Olimpiade London 2012 selama empat tahun ini terus berjuang agar bisa kembali jadi favorit juara di Olimpiade Rio de Janeiro tahun ini.

Kejenuhan, terbatasnya pengembangan strategi, dan permainan yang semakin terbaca lawan adalah poin-poin negatif yang ada pada pasangan yang sudah lama berpartner.

Hal itulah yang terus jadi masalah keempat ganda top yang mendominasi persaingan nomor ganda campuran dalam beberapa tahun terakhir. Tugas itu semakin terasa berat di bulan-bulan terakhir jelang Olimpiade.

Mengejar di Tikungan Terakhir

Bila Olimpiade diibaratkan lari marathon, maka Zhang Nan/Zhao Yunlei, Tontowi/Liliyana, dan Fischer/Pedersen adalah pelari yang selalu ada di rombongan terdepan.

Mereka harus terus bisa mempertahankan ritme permainan mereka seperti halnya para pelari marathon yang mempertahankan kecepatan konstan, terutama saat perlombaan memasuki tikungan terakhir dan menyisakan beberapa kilometer lagi jelan finis.

Sementara itu Praveen/Debby tergabung dalam rombongan pengejar bersama Ko Sung Hyun/Kim Ha Na (Korea), Chris Adcock/Gabrielle Adcock (Inggris), dan beberapa nama lainnya.

Para pengejar ini tak memiliki beban berlebihan seperti halnya empat ganda campuran yang selalu berada di rombongan terdepan dan dalam setahun terakhir performa mereka pun terbilang terus meningkat pesat.

Khusus untuk Praveen/Debby, perkembangan pasangan ini memang begitu nyata dan terlihat jelas.

Sejak dipasangkan pada awal tahun 2014, target Praveen/Debby terbilang jelas, yaitu lolos ke Olimpiade Rio de Janeiro 2016.

Pada tahun pertama mereka dipasangkan pun, Praveen/Debby sudah menunjukkan potensi dengan merebut medali perunggu Asian Games 2014. Mereka kalah di tangan Zhang Nan/Zhao Yunlei di babak semifinal lewat sebuah pertarungan keras dan ketat.

Perbedaan besar yang terlihat dari permainan Praveen/Debby dalam waktu dua tahun ini adalah kemampuan defense mereka yang melesat naik beberapa level dibandingkan sebelumnya.

Pertahanan mereka kini tak mudah ditembus dan hal itulah yang membawa Praveen/Debby mampu melewati tiga ganda unggulan dalam perjalanan mereka jadi juara All England tahun ini.

Serangan Praveen sejak awal memang menakutkan, namun kini serangan tersebut diiringi jumlah kesalahan yang jauh lebih minim dibandingkan sebelumnya.

Saat smash Praveen terus menusuk ke pertahanan lawan, Praveen akan lebih mudah mengombinasikan serangannya tersebut dengan dropshot di kesempatan serangan berikutnya.

Debby pun kini menjelma jadi pemain yang tampil lebih rapi dan taktis di depan net. Di All England kemarin, Debby tak terlihat minder berduel menghadapi lawan macam Zhao Yunlei ataupun Pedersen.

Praveen/Debby bisa diibaratkan kelompok pengejar di lari marathon. (Reuters / Andrew Boyers)


Praveen/Debby tertinggal langkah dari empat ganda campuran yang menguasai persaingan dalam beberapa tahun terakhir, namun beberapa bulan jelang berlangsungnya Olimpiade, Praveen/Debby sepertinya memiliki kecepatan untuk bisa berlari sejajar dengan empat ganda tersebut.

Salah satu buktinya adalah Praveen/Debby kini unggul head to head dari Xu Chen/Ma Jin. Menghadapi Fischer/Pedersen, Praveen/Debby sempat kalah enam kali beruntun.

Namun begitu sukses memetik kemenangan perdana, Praveen/Debby seolah sudah hafal cara meredam mereka dan terbukti tak terkalahkan di tiga duel selanjutnya.

Pola inilah yang diharapkan bisa terjadi pula di duel lawan Zhang Nan/Zhao Yunlei. Setelah kalah lawan ganda campuran nomor satu dunia dalam tujuh duel beruntun, Praveen/Debby menemukan kemenangan perdana di All England yang diharapkan bisa berlanjut menjadi rentetan kemenangan pada duel berikutnya.

Praveen/Debby sendiri selalu kalah saat menghadapi Tontowi/Liliyana, namun duel sesama pemain Indonesia, terlebih bila terjadi di final Olimpiade, pastilah tetap akan membuat Indonesia bangga, siapapun pemenangnya.

Praveen/Debby yang di masa awal bergabung dipatok target lolos Olimpiade, kini malah mulai dibicarakan sebagai sosok yang layak untuk masuk bursa juara Olimpiade.

Lalu bagaimana dengan fakta bahwa tak ada juara All England nomor ganda campuran yang bisa jadi juara Olimpiade di tahun yang sama?

Bila Praveen/Debby tetap memposisikan diri sebagai 'pengejar' serta menjadikan gelar All England sebagai motivasi untuk menambah kecepatan dan bukan sebagai beban tambahan, maka peluang untuk mengakhiri catatan buruk itu akan tetap terbuka.

(vws)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER