Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika nama Sony Dwi Kuncoro tertera sebagai salah satu peserta Singapura Super Series, pastilah banyak yang mengabaikan keikutsertaan Sony di awal minggu sebelum akhirnya berebut membicarakannya ketika turnamen berakhir dengan Sony tertawa di podium juara.
Keikutsertaan Sony di turnamen Singapura Super Series memang tak menarik perhatian banyak orang. Sebagai pemain yang bakal berusia 32 tahun pada Juli nanti plus sudah keluar dari pelatnas, Sony dianggap hanya sekadar pelengkap drawing turnamen tersebut.
Penggemar bulutangkis Indonesia, dan juga media, lebih asyik membicarakan pemain-pemain pelatnas lain yang dianggap berpotensi jadi juara. Namun sepanjang minggu ini Sony akhirnya sukses mengembalikan ingatan banyak orang mengapa dia pernah masuk jajaran papan atas tunggal putra dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anthony Ginting, Sho Sasaki, dan Wang Zhengming, jadi korban keganasan Sony dalam menuju babak semifinal. Di babak semifinal, Sony mampu menaklukkan Lin Dan yang masih dianggap sebagai pebulutangkis terhebat di dunia saat ini.
Kesuksesan Sony menaklukkan Lin Dan akhirnya dilanjutkan penampilan apik Sony di babak final. Sony tampil tenang dan berhasil mengalahkan Son Wan Ho dengan skor 21-16, 13-21, 21-14.
Dalam lima pertarungan di babak utama yang dilalui Sony, semuanya berakhir dengan rubber game. Sebuah bukti bahwa Sony melalui rentetan pertarungan yang menguras kondisi fisik dan psikologisnya.
Ini adalah gelar super series perdana Sony dalam enam tahun terakhir. Gelar super series terakhir yang didapat Sony sebelum ini juga ada di turnamen Singapura Terbuka pada 2010 silam.
Dari jejak kemenangan Sony di Singapura, Sony menunjukkan bahwa dirinya masih bisa berprestasi saat pesimisme dan keraguan dari banyak orang telah hinggap pada dirinya.
Cedera, Si Sahabat Akrab SonySony adalah salah satu pebulutangkis hebat yang pernah dimiliki Indonesia.
Ketika Indonesia masih memuja keberhasilan Taufik Hidayat memenangi medali emas Olimpiade Athena 2004, di saat bersamaan Indonesia juga sudah bisa tersenyum karena ada pebulutangkis berusia 20 tahun bernama Sony Dwi Kuncoro yang berhasil membawa pulang medali perunggu.
Masa depan tunggal putra Indonesia bakal cerah, begitu asumsi yang beredar saat itu. Sony kemudian memang tak butuh waktu lama untuk masuk jajaran papan atas dunia, namun ia tak pernah benar-benar berdiri di puncak dunia.
Sony memang sukses memenangi beberapa turnamen super series, namun prestasi terbaiknya di Kejuaraan Dunia 'hanya' medali perak pada 2007 dan medali perunggu pada 2009.
Dalam perjalanan kariernya, pertemanan akrab Sony dengan cedera adalah salah satu hambatan besar meroketnya prestasi Sony. Bila Lee Chong Wei dan Lin Dan dianugerahi fisik prima sehingga bisa jadi penguasa dunia ketika performa Taufik menurun, maka tidak demikian halnya dengan Sony.
Sony sangat akrab dengan cedera, mulai dari cedera telapak kaki, punggung, dan pinggang. Khusus untuk punggung dan pinggang, cedera inilah yang sering datang menemani Sony dalam berbagai kesempatan dan waktu yang berbeda.
Cedera memang menghalangi Sony untuk mencapai puncak tertinggi, namun Sony pun tak sepenuhnya kalah dalam pertarungan melawan cedera-cedera yang ada di hidupnya.
Pada tahun 2012 lalu, saat Taufik, Lin Dan, dan Lee Chong Wei tengah bersiap bertarung di Olimpiade, Sony justru tengah merintis jalan bangkit. Saat itu Sony sempat keluar dari posisi 100 besar dunia.
Namun dalam rentang waktu satu tahun, Sony sukses bangkit dan duduk di peringkat empat dunia pada awal tahun 2013. Sebuah lonjakan prestasi luar biasa. Sony yang sempat dilupakan kembali jadi bahan pembicaraan.
"Membayangkan saya hanya berada di posisi waiting list dalam sebuah turnamen, perasaan saya jelas sakit. Untuk bertanding di babak kualifikasi pun tak bisa."
"Saya sempat berada di posisi atas dan dipandang penuh hormat, dan saya pun sempat terpuruk sehingga banyak yang memandang saya sebelah mata," ujar Sony saat kebangkitannya di tahun 2012-2013 silam.
Kebangkitan Sony itu ternyata tak berumur lama. Sony hanya bisa berada sesaat di papan atas dunia karena cedera kembali mengganggu perjalanan kariernya. Peringkatnya pun mengalami penurunan berkelanjutan.
1,5 tahun setelah momen kebangkitan, Sony harus mengalami titik paling menyakitkan dalam kariernya, yaitu dicoret dari pelatnas pada pertengahan 2014.
Dengan usia 30 tahun plus cedera yang tak pernah benar-benar pergi, Sony dianggap tak akan mampu menciptakan keajaiban kedua dalam kariernya.
Sony harus merangkak kembali dari bawah dan untuk kali ini ia harus melakukan itu tanpa 'dorongan' fasilitas dan pembiayaan dari pelatnas.
Ujian yang lebih sulit karena usia Sony pun semakin bertambah, lebih tua tiga tahun dibandingkan saat menciptakan momen keajaiban di 2012-2013.
Sony harus kembali turun di turnamen level international challenge bahkan seri sirkuit nasional. Meski sempat terpuruk, Sony akhirnya kembali menemukan motivasi untuk bangkit dan terus kembali mengayun raket.
Tahun lalu Sony berhasil menjadi juara Indonesia International Challenge ketika hanya jadi unggulan delapan dan juara Taiwan Grand Prix ketika tak berstatus unggulan.
Mulai rajinnya Sony mengikuti turnamen internasional dalam beberapa bulan terakhir mulai berdampak pada lonjakan peringkatnya.
Pada Agustus 2015, peringkat Sony masih ada di 117 dunia dan kini ada di posisi 56 dunia. Tentunya peringkat Sony bakal mengalami lonjakan tinggi pada pengumuman peringkat yang baru dirilis Kamis mendatang seiring masuknya poin hasil juara di Singapura.
Sony memang tak pernah benar-benar duduk di tingkat tertinggi dalam perjalanan kariernya, namun Sony sukses meninggalkan warisan besar bagi generasi berikutnya.
Karier seorang atlet tak selamanya berjalan seperti yang diinginkan, karena cedera parah bisa saja datang menghampiri. Namun di balik itu semua, atlet tetap punya kendali untuk menaklukkan semua hambatan yang ada di depan mata. Itulah yang ditunjukkan Sony selama ini.
Sony mengajarkan bahwa keterpurukan tak akan abadi selama kerja keras dan kepercayaan untuk bangkit tetap dipegang teguh di dalam diri.
(ptr)