ANALISIS

Membedah Mitos 'Bola Salju' Olimpiade

Vetriciawizach | CNN Indonesia
Kamis, 25 Agu 2016 13:37 WIB
Olimpiade sering disebut-sebut akan menggelindingkan 'bola salju' perekonomian dan pariwisata. Namun, benarkah sebenarnya demikian?
Jepang akan menjadi tuan rumah Olimpiade selanjutnya. (REUTERS/Stefan Wermuth)
Jakarta, CNN Indonesia -- Olahraga dan (diplomasi) politik adalah saudara karib yang sukar dipisahkan. Menjadi tuan rumah ajang olahraga seperti Olimpiade adalah salah satu contoh paling nyata.

Ketika negara ingin menunjukkan betapa mereka telah digdaya soal ekonomi, maka cara paling kentara untuk menunjukkannya adalah dengan menggelar pesta olahraga – atau memenanginya.

Misalnya saja, China. Perayaan pembukaan Olimpiade Beijing 2008 yang diikuti oleh total 15 ribu penari, penabuh genderang, dan anak-anak, adalah cara untuk menunjukkan bahwa kekuatan jumlah massa mereka tak tertandingi. Seluruh prosesi perayaan dilakukan dalam skala yang nyaris tak bisa ditiru negara lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberhasilan mereka untuk menjadi juara umum –negara Asia pertama yang bisa melakukannya—pun adalah suatu pernyataan politik bahwa dalam kualitas sumber daya manusia pun China setara dengan bangsa lain.

Narasi Brasil juga nyaris serupa. Menjadi tuan rumah Olimpiade 2016 dan Piala Dunia 2014 dinilai mantan presiden Lula Inacio Lula Da Silva, serta kemudian Dilma Roussef, menjadi suatu kewajiban untuk menunjukkan bahwa perekonomian mereka kini setara dengan bangsa Eropa.

Maka dibangunlah venue-venue kelas dunia meski di tengah teriakan protes masyarakat bahwa mereka lebih membutuhkan pendidikan dan akses transportasi murah ketimbang stadion.

Namun, menjadi tuan rumah suatu ajang olahraga berskala internasional sendiri bukan masalah gampang. Berbagai studi menunjukkan bahwa nyaris tak pernah ada tuan rumah yang menenggak keuntungan dari janji ‘bola salju’ perekonomian dan pariwisata. Pasak selalu lebih besar dari pada tiang.

Sejak empat dekade terakhir, hanya ada satu tuan rumah yang pernah mengakhiri Olimpiade dengan neraca positif, yaitu Los Angeles di tahun 1984. Sisanya, lebih sering menanggung kerugian.

Biaya infrastruktur untuk membangun stadion dan venue-venue olahraga sering kali kelewat mahal. Tapi pada akhirnya pelbagai infrastuktur itu hanya menjadi bangunan kosong yang jarang digunakan dengan biaya pemeliharan yang terlampau membumbung tinggi.

Brasil punya contoh paling konkret. Manaus, kota kecil berpenduduk 1,7 juta jiwa di tengah hutan Amazon, memiliki stadion berkapasitas 40 ribu penonton. Stadion itu khusus didirikan untuk Piala Dunia 2014.

Padahal Manaus hanya memiliki kesebelasan kecil di Divisi Empat yang jumlah pendukungnya hanya belasan ribu. Dua tahun setelah Piala Dunia 2014 usai, stadion Arena da Amazonia di Manaus telah dijual ke pihak swasta, meski pembangunannya menggunakan dana publik.
    
Menengok ke dalam negeri, ada Stadion Palaran di Kalimantan Timur. Ketika PON 2008 dibuka di stadion tersebut, semua terpukau karena kemegahannya. Namun pada akhirnya stadion yang dibangun dengan dana Rp800 miliar itu bahkan tak bisa digunakan oleh tim lokal, Pusamania Borneo FC, karena letaknya terlampau jauh dari perkotaan.

Nasib serupa juga dialami Stadion Utama di Pekanbaru, Riau, yang jadi tuan rumah PON 2012. Dibangun dengan dana lebih dari satu triliun, kini ‘aktivitas fisik’ yang terjadi lebih sering terjadi di sana hanyalah kegiatan ‘esek-esek’.

Beberapa negara coba memeras sekuat mungkin keuntungan menjadi tuan rumah. Misalnya saja Korea Selatan ketika menjadi tuan rumah Asian Games 2014.

Mereka memilih Incheon, kota terbesar ketiga di Korea Selatan yang diproyeksikan sebagai pusat hiburan. Menjadikan Incheon tuan rumah akan memaksa pemerintah Korea Selatan membangun berbagai infrastruktur penunjang seperti akses transportasi dan jalan menuju kota itu.

Rencananya, sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Infrastruktur akan bermanfaat jangka panjang, sementara kota Incheon sendiri mendapatkan promosi gratis mendompleng Asian Games.
 
Namun pada kenyataannya kini mereka tetap menanggung beban demikian tinggi karena membangun 17 venue, mulai dari cabang akuatik, stadion atletik, hingga stadion sepak bola, yang nyaris tak bisa digunakan secara rutin. Diperkirakan lebih dari US$2 miliar (Rp26,23 Triliun) dikeluarkan baik pemerintah Korea Selatan dan pemerintah kota Incheon untuk mendanai pesta tersebut.

Celakanya, kerugian ini juga sering kali ditanggung dengan utang. Kisah paling terkenal adalah soal Olimpiade Montreal 1976 yang baru terbayar lunas tiga dekade kemudian. Sementara seperempat defisit anggaran Yunani adalah karena mereka menjadi tuan rumah Olimpiade 2014.

Tak mengherankan hingga saat ini Komite Olimpiade Internasional sangat kesulitan mencari tuan rumah untuk Olimpiade 2014. Oslo, Stockholm, Krakow, Munich, Quebec City, dan Barcelona menjadi sederet kota yang membatalkan pencalonan mereka untuk delapan tahun lagi. Padahal kota-kota ini terletak pada negara yang secara perekonomian lebih bisa menanggung beban berat pembangunan infrastruktur Olimpiade.

Peringatan untuk Indonesia

Pertanyaan soal manfaat menjadi tuan rumah ajang olahraga mau tak mau juga harus dihadapi Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018. Beruntung, perkiraan nilai yang dikeluarkan Indonesia akan jauh berada di bawah Incheon.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ‘hanya’ akan mengeluarkan Rp2,8 Triliun untuk 12 bangunan, termasuk di antaranya renovasi Stadion Utama Gelora Bung Karno dan Wisma Atlet Kemayoran. Sementara Pemprov DKI Jakarta diperkirakan menggelontorkan Rp4,5 Triliun untuk membangun transportasi massal Light Rail Transit (LRT), dan Rp 900 miliar untuk Velodrome dan venue Equestrian.

Sementara itu, Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Inasgoc (panitia penyelenggara Asian Games 2018) harus mengeluarkan Rp800 miliar untuk biaya hak siar serta hak komersial kepada Komite Olimpiade Asia (OCA) serta biaya promosi dan persiapan pesta empat tahunan tersebut.

Namun bukan berarti persoalan selesai dengan sendirinya. Pertama, Kemenpora, Kemenpupera, dan pemerintah pusat punya pekerjaan rumah yang sangat besar untuk memastikan seluruh bangunan tersebut selesai tepat waktu. Dengan kontrak paket kegiatan yang baru ditanda-tangani pertengahan Agustus 2016 ini, maka tak boleh ada sama sekali keterlambatan jika Indonesia tak ingin menanggung malu.

Kedua adalah memastikan pesta olahraga Asia ini punya makna bagi masyarakat Indonesia sendiri. Bahwa velodrome, sarana akuatik, atau venue ‘kelas dunia’ lainnya akan memiliki napas panjang, yang jauh melampaui ketika Asian Games selesai. (vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER