Menyoal Sportivitas yang Rusak di PON 2016

Vetriciawizach | CNN Indonesia
Jumat, 30 Sep 2016 15:42 WIB
Salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap penyelenggaraan PON XIX adalah soal sportivitas dan minimnya fairplay dari atlet dan pelaku olahraga lain.
Kerap terjadi kericuhan pada cabang olahraga bela diri di Pekan Olahraga Nasional 2016. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Jakarta, CNN Indonesia -- Iming-iming bonus bernilai tinggi bagi para atlet perebut medali emas di Pekan Olahraga Nasional dinilai justru membuat atlet dan pelaku olahraga lainnya lupa akan konsep dasar ajang empat tahunan tersebut adalah untuk mencari bakat yang bisa berprestasi di level internasional.

Hal ini disampaikan mantan atlet yang kini menjadi pemerhati olahraga, Krisna Bayu. Menurutnya, masing-masing daerah bisa memiliki konsep yang lebih baik untuk menghargai para atlet berprestasinya.

"Iming-iming bonus itu membuat atlet dan juga pelatih --yang juga akan mendapatkan bonus kalau atlet mendapatkan emas-- berpikir untuk menjadi juara dengan segala cara dan pada akhirnya mengesampingkan nilai sportivitas," kata Krisna saat dihubungi CNNIndonesia.com.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang dipikirkan hanya cara mendapat medali dan bonus. Mental kedaerahannya menjadi susah dikembangkan ke level internasional. Padahal, atlet itu santai saja. Kalau dia juara, pemerintah juga akan memperhatikan."
Salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap penyelenggaraan PON XIX yang baru saja ditutup pada Kamis (29/9) adalah soal sportivitas dan fairplay, terutama pada cabang-cabang olahraga adu fisik yang memang mengandalkan penilaian subyektif wasit.

Berbagai teriakan ketidakpuasan pada keputusan wasit kerap terdengar di arena cabang bela diri, mulai dari judo, karate, gulat, hingga tinju. Bahkan, Ketua Umum PB Forki, Gatot Nurmantyo, juga sempat tidak mau mengalungi medali kepada pemenang dan memberikan jempol terbalik kepada wasit seraya meninggalkan lokasi pertandingan.

Protes itu pun terkadang berbuah intimidasi pada wasit yang bahkan sampai mengubah hasil pertandingan. Misalnya saja yang terjadi pada Wushu, ketika medali emas atlet putri Sumatera Utara sempat digugurkan, dan kemudian ia dinyatakan juara bersama dengan atlet Jawa Barat.
Krisna menilai hal tersebut adalah cara yang salah untuk menyelesaikan perkara.

"Itu cara panitia ngeles karena tidak ingin menimbulkan keributan. Itu adalah cara yang salah," kata pria 41 tahun itu sembari menegaskan bahwa ada mekanisme banding yang bisa digunakan oleh masing-masing kontingen jika ingin melakukan protes. 

Ke depannya, Krisna menyarankan agar masing-masing daerah tak lagi menggunakan bonus sebagai cara untuk merangsang prestasi atlet. Menurutnya, bonus hanya sesuai untuk atlet yang memiliki prestasi di level internasional.

"Pemerintah daerah seharusnya menganggap atlet itu aset daerah, mereka seharusnya mendirikan pusat latihan, dan menjamin pendidikan atlet, selain juga menanggung uang saku. Bukan bonus, tapi sesuatu yang bersifat jangka panjang," ujar Krisna.

"KONI Daerah seharusnya duduk dengan pengurus cabang olahraga, dan pemerintah daerah dan memikirkan perjanjian dengan atlet seperti apa. Berikan juga mereka wawasan dan pemahaman soal sebenarnya olahraga prestasi itu seperti apa."



(vws)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER