Bowie Haryanto
Bowie Haryanto

Bencana di Sirkuit Motegi

Bowie Haryanto | CNN Indonesia
Selasa, 25 Okt 2016 13:04 WIB
Sirkuit Motegi memang kelas A dan diakui berkelas dunia. Namun turis asing yang coba mengunjungi sirkuit itu bisa dibuat pusing tujuh keliling.
Ilustrasi MotoGP Jepang. Turis asing sukar untuk mencapai Sirkuit Motegi jika tak mengatur rencana perjalanan berbulan-bulan sebelumnya. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Sore itu, jam di kantor menunjukkan pukul 16.20 WIB. Waktu kerja saya sudah berakhir lebih dari satu jam sebelumnya. Ditugaskan ke Jepang untuk meliput ajang MotoGP, saya berusaha mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang Sirkuit Twin Ring Motegi lewat dunia maya.

Satu setengah bulan berlalu. Waktu liputan ke Jepang pun tiba. Tapi, perburuan informasi yang saya lakukan terhadap Sirkuit Motegi lewat dunia maya tidaklah memuaskan. Kesimpulan yang saya dapat dari berburu informasi lewat internet adalah: Sirkuit Motegi berada di kawasan antah berantah.

Mereka yang pernah ke Sirkuit Motegi untuk menyaksikan MotoGP selalu mengeluhkan akses transportasi ke sirkuit dan keluar sirkuit. Tidak ada transportasi bus atau kereta. Bus hanya ada ketika akhir pekan MotoGP, dan itu pun jumlahnya terbatas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasti Anda akan berpikir, “Memangnya taksi tidak ada?”. Satu hal yang saya ketahui di Jepang adalah, biaya taksi di Negeri Matahari Terbit itu sangat mahal. Dengan hanya jarak sekitar 25 kilometer, Anda harus merogoh kocek hingga Rp1 juta jika menggunakan taksi di Jepang.

Berbekal informasi seadanya, saya pun berangkat ke Jepang. Setelah sampai di Bandara Haneda pada Kamis (13/10) malam, saya memulai perjalanan ke Sirkuit Motegi, yang jaraknya lebih dari 150 kilometer utara Tokyo, pada Jumat pagi.

Satu hal yang pantas orang Jepang banggakan adalah, mereka punya sistem transportasi kereta yang sangat luar biasa, meski terkadang membingungkan turis asing. Ada belasan perusahaan kereta swasta di Jepang. Di Tokyo sendiri ada tujuh perusahaan swasta yang beroperasi. Yang pasti, kereta di Jepang terkenal dengan ketepatan waktu.

Untuk bisa ke sirkuit, saya harus naik kereta dari Stasiun Tokyo ke wilayah bernama Utsunomiya. Saya memutuskan naik kereta cepat atau kereta peluru (Shinkansen) untuk ke Utsunomiya, yang menghabiskan waktu sekitar 50 menit. Jika naik kereta biasa, JR East, saya harus menghabiskan waktu hampir 3 jam.

Cara membeli tiket kereta di Jepang cukup membingungkan turis asing. Pilihan terbaik adalah pergi ke loket informasi pembelian tiket, daripada berusaha membeli langsung di layar pembelian tiket yang sangat rumit.

Sesampainya di Stasiun Utsunomiya, satu-satunya kendaraan yang bisa membawa Anda ke Sirkuit Motegi, selain taksi, adalah bus Motegi Kotsu. Jumlahnya sangat terbatas dan hanya ada jika MotoGP berlangsung di Sirkuit Motegi. Jika Anda datang sedikit siang, dijamin tidak akan mendapatkan bangku.

Sebagian besar penonton yang pergi ke Sirkuit Motegi menggunakan bus Motegi Kotsu sudah melakukan pemesanan tiket berbulan-bulan sebelumnya. Tanpa ada pemesanan tiket, Anda akan masuk daftar tunggu tanpa ada jaminan bisa mendapatkan bangku.

Situasi yang sama harus dihadapi penonton tanpa pemesanan tiket bus jika ingin meninggalkan Sirkuit Motegi. Anda harus berdiri manis di tempat shuttle bus sejak pukul 15.00 waktu setempat dan baru akan mendapatkan tiket sekitar pukul 17.00, atau bahkan tidak mendapatkannya. Opsi selanjutnya hanya taksi.

Pada hari terakhir GP Jepang, saya terpaksa naik taksi dari Sirkuit Motegi ke Stasiun Mito yang berjarak sekitar 51 kilometer. Di akhir perjalanan, tarif yang harus dibayar untuk naik taksi adalah 16.120 yen atau setara Rp2 juta.

Sebagai perbandingan, biaya menginap saya selama di Jepang hanya 29.400 yen atau setara Rp3,6 juta. Jadi biaya dua kali naik taksi di Jepang lebih mahal daripada biaya menginap saya selama empat hari di Jepang

Tidak bisa dipungkiri Sirkuit Motegi adalah sirkuit Kelas A dan sangat pantas menjadi tuan rumah MotoGP. Pemegang hak komersial sekaligus pengelola MotoGP, Dorna Sport, tidak harus pikir panjang untuk memasukkan Sirkuit Motegi ke kalender balap MotoGP.

Selain memiliki kondisi trek yang prima, lingkungan Sirkuit Motegi juga bersahabat untuk penonton. Dengan kondisi lingkungan di perbukitan yang asri, para penonton juga dimanjakan dengan fasilitas bermain untuk keluarga. Tidak heran ada banyak penonton yang memilih berkemah di sekitar sirkuit sepanjang akhir pekan MotoGP Jepang.

Namun, Sirkuit Motegi tidak bersahabat bagi turis asing, khususnya yang datang untuk menyaksikan MotoGP Jepang tanpa menggunakan jasa agen travel. Sulitnya akses masuk dan keluar sirkuit, dengan minimnya pilihan transportasi, bisa menjadi bencana bagi turis asing.

Bahkan untuk penonton asal Jepang sekalipun, menjangkau dan keluar dari Sirkuit Motegi juga bisa membingungkan dengan hanya adanya dua opsi: menggunakan bus yang sangat terbatas atau taksi yang sangat mahal.

Kondisi tersebut tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi Dorna dan Sirkuit Motegi, agar ke depannya para turis asing bisa menyaksikan langsung balapan MotoGP Jepang dengan nyaman, tanpa harus khawatir bagaimana bisa sampai atau keluar dari sirkuit.

Buruknya akses transportasi di Sirkuit Motegi juga bisa menjadi masukan berharga bagi Indonesia yang memiliki rencana membangun sirkuit di Palembang, Sumatera Selatan, sebagai bagian dari usaha menggelar MotoGP pada 2018.

Diharapkan sirkuit di Palembang nantinya bisa bersahabat bagi penggemar MotoGP, baik yang berada dari Indonesia maupun luar negeri. (vws)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER