Putra Permata Tegar Idaman
Putra Permata Tegar Idaman
Menggemari bulutangkis dan mengagumi Roberto Baggio sejak kecil. Pernah bekerja di harian Top Skor dan Jakarta Globe. Kini menjadi penulis di kanal olahraga CNN Indonesia

Timnas Indonesia dan Momen Manis-Getir di Ruang TV Keluarga

Putra Permata Tegar Idaman | CNN Indonesia
Jumat, 16 Des 2016 09:36 WIB
Menonton timnas Indonesia lewat layar kaca jadi salah satu momen manis berkumpul bersama keluarga di masa kecil. Sayangnya, tak pernah berakhir bahagia.
Timnas Indonesia akan bertanding melawan Thailand di final leg kedua Piala AFF 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang bocah duduk di ruang keluarga. Di sampingnya duduk pria paruh baya. Di depan mereka, televisi berwarna menyiarkan pertandingan sepak bola.

Dua tim yang sedang berhadapan di sana adalah Tim Nasional Indonesia lawan Tim Nasional Kamboja.

Laga itu berlangsung sangat timpang karena timnas Indonesia berkali-kali begitu mudah menjebol gawang lawan. Pria paruh baya itu lalu menyebut nama Kurniawan Dwi Yulianto, Eri Irianto, Indriyanto Nugroho, dan lainnya saat Timnas Indonesia mencetak gol demi gol.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bocah tersebut mengangguk dan kadang bertanya hal-hal yang tak ia ketahuinya.

Saya, generasi seumuran dan di bawah saya, pastinya juga jengah hanya jadi pendengar cerita kehebatan timnas Indonesia dari generasi sebelumnya.
Kejadian di tahun 1995 itu terjadi di ruang keluarga rumah saya. Bisa mudah ditebak, saya adalah bocah itu. Sejauh ingatan, SEA Games 1995 jadi awal saya tahu timnas Indonesia setelah setahun sebelumnya larut dalam demam Piala Dunia.

Menonton timnas Indonesia lewat layar kaca adalah salah satu momen manis berkumpul bersama keluarga di masa kecil.

Saat timnas berlaga, Bapak bakal jadi penguasa televisi dan Ibu sebagai pemilik abadi remote TV bakal mengalah sementara. Tak hanya itu, sepiring gorengan buatan Ibu pun sering tersedia di meja sebagai teman menikmati timnas Indonesia.

Banyak momen Timnas Indonesia masih berkelebat di kepala. Tentang kehebatan salto Widodo Cahyono Putro, tentang sepakan geledek Bima Sakti, atau cerita tentang lugasnya Aples Tecuari di lini belakang.

Menonton Timnas Indonesia bersama Bapak, dan terkadang juga Ibu, itu adalah sebuah kenangan tentang arti bahagia. Namun, bahagia yang tak sempurna.

Dari tahun ke tahun, kebahagiaan menonton timnas Indonesia memang tak pernah mencapai klimaks.

Skuat Garuda memang selalu berjaya di hadapan Kamboja, Laos, atau Filipina. Kami sekeluarga bisa tertawa sepanjang pertandingan ketika timnas Indonesia terus-menerus membobol gawang Kamboja, tapi kemudian selalu harap-harap cemas ketika timnas Indonesia akhirnya berjumpa Thailand, atau bahkan Vietnam.

Dan kecemasan tersebut lebih sering berakhir sebagai kesedihan karena ambisi timnas Indonesia untuk jadi juara lagi-lagi terhenti di tengah jalan.

Menonton sepak bola dan mendukung tim memang tak melulu soal juara. Ada banyak alasan lain yang bisa dikeluarkan untuk setia pada sebuah tim tanpa memandang koleksi trofi juara.

Apalagi jika tim itu berlambangkan Garuda dan mengenakan seragam Merah Putih.

Tetapi tujuan kompetisi adalah jadi pemenang dan dengan adanya titel juara pastinya pendukung bakal senang. Bukankah ratusan ribu bahkan jutaan keluarga di Tanah Air pun menantikan saatnya melihat para penggawa-penggawa terbaik timnas mengangkat piala?

Sejarah manis Timnas Indonesia sendiri seolah terhenti di tahun 1991 ketika Pasukan Merah-Putih meraih medali emas SEA Games di Filipina.

Setop. Berhenti di sana.

Saya yang masih balita saat itu dan tentunya orang-orang yang segenerasi serta di bawah saya tak merasakan euforia dan kebahagiaan itu.

Cerita tentang Indonesia yang perkasa, cerita tentang Indonesia yang Macan Asia, hanya bisa keluar dari orang yang lebih tua dari saya. Kehebatan tersebut hanya bisa diceritakan mereka yang pernah menyaksikan timnas Indonesia era sebelumnya berlaga, baik langsung di arena maupun di layar kaca.

Bapak saya dan mereka yang pernah jadi saksi timnas Indonesia berjaya pun tentunya sedikit jemu mengulang cerita kehebatan yang sama. Tanpa pembaruan setelah dua dekade lebih berjalan.

Saya, generasi seumuran dan di bawah saya, pastinya juga jengah hanya jadi pendengar cerita kehebatan timnas Indonesia dari generasi sebelumnya. Selebihnya, kami hanya paham soal timnas yang gagal dan gagal lagi.

Kesempatan untuk pembaruan sejarah itu ada di akhir pekan ini. Timnas Indonesia bakal datang ke Stadion Rajamangala untuk menantang Timnas Thailand.

Di tangan pasukan Garuda, mereka menggenggam keunggulan 2-1. Modal berharga yang bakal mereka coba maksimalkan sekuat tenaga.

Skor imbang memisahkan Rizky Pora dan kawan-kawan dengan status sebagai pahlawan yang mengantarkan gelar pertama Piala AFF.

Di sini, publik berdoa. Agar Timnas Indonesia bisa mengakhiri dahaga juara. Agar kenangan menonton Timnas Indonesia di layar kaca bukan kenangan yang manis namun getir, melainkan kenangan tentang kesenangan dan kebahagiaan yang sempurna.

Semoga. (vws)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER