Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada semacam kredo sepak bola yang bisa membuat saya kadang tertegun, tapi sekaligus tersenyum geli. Kurang lebih kutipannya seperti ini: “Benar, Tuhan itu memang Maha Kuasa. Ia menentukan segalanya. Tapi dengan kekuasaannya itu pula, Tuhan tak ingin intervensi di lapangan hijau.”
“Dia biarkan lapangan jadi zona bebas intervensi-Nya, karena mereka yang menang adalah yang bersungguh-sungguh mempersiapkan segala sesuatu hingga bertahun-tahun, hanya untuk bermain selama 90 menit. Urusan bola tak mengenal apa agamamu. Di situlah keadilan Tuhan!”
Demikian kelakar Joko Driyono, pria yang malang melintang di organisasi sepak bola nasional. Ia mengucapkan itu ketika terlibat obrolan santai dengan kami, para pekerja media yang terkadang berpura-pura bodoh demi memancing kata-kata ajaibnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan ia didaulat jadi Wakil Ketua Umum PSSI, mendampingi Ketua Umum PSSI, Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi.
Mari berpikir lagi dalam-dalam kalimat-kalimat nyeleneh berbalut kelakar ala pria yang akrab dipanggil Jokdri itu. Sepintas, kalimat-kalimat ini cukup serius. Tapi, ada kenyataan ‘menyimpang’ dari hipotesis di atas jika melihat langkah yang ditempuh Tim Nasional Indonesia hingga ke final Piala AFF 2016.
Capaian skuat asuhan Pak Tua Riedl itu merupakan anomali karena para pasukan Garuda muncul dari konflik panas sepak bola nasional beberapa waktu lalu. Boaz Solossa dan kawan-kawan justru bukan hadir karena proses pembinaan dan perencanaan yang matang.
Mereka bak pasukan gaib Banaspati, yang masih membawa bara amarah dan membakar siapapun yang menghalangi jalan mereka. “Minggir atau terbakar!” seolah demikian terdengar di telinga kita.
Oke, lewati sisi-sisi emosional tersebut. Mari bicara rasional. Bicara logis adalah bicara situasi menyoal hubungan sebab-akibat. Semisal, jika persiapan timnas lebih panjang dan sangat matang, kemungkinan sukses tentu semakin besar. Dan, lagi-lagi, jika mempertimbangkan hal ini, prestasi timnas ke final merupakan keabnormalan.
Coba saja tengok persiapan para pahlawan Merah Putih di Piala AFF edisi kali ini.
Hampir nihil. PSSI buru-buru membentuk timnas Indonesia setelah sanksi pembekuan oleh FIFA terhadap induk sepak bola nasional itu dicabut sekira Mei 2016.
Sepak bola Indonesia sempat dikucilkan dari pentas internasional pada Mei 2015 akibat benturan frontal antara pengurus PSSI dan pemerintah. Sanksi setahun lamanya membuat kisah sedih di rumput hijau tumbuh bak jamur, mulai kompetisi vakum, sampai pemain menganggur.
Jangankan bicara persiapan timnas, pemain mau berkompetisi saja sulitnya minta ampun. Beberapa dari mereka bahkan sempat ada yang mengungsi ke kompetisi negeri tetangga macam Timor Leste!
Jangankan bicara persiapan timnas, pemain mau berkompetisi saja sulitnya minta ampun. |
Pada Juni 2016, Hinca Panjaitan yang kala itu menjadi plt Ketum PSSI lantas menunjuk Riedl untuk menjalankan
mission impossible bagi skuat Garuda. Tak ada target khusus bagi pria Austria itu mengingat situasinya yang tidak ideal.
Riedl tak lantas bisa menyiapkan pasukannya. Ia baru menjalani latihan pertama pada awal Agustus 2016. Itu pun baru sebatas seleksi pertama para calon-calon penggawa Garuda. Persiapan efektif terhitung pada Oktober 2016.
Belum lagi, ada situasi yang memaksa Riedl menjalankan tugas di luar kesepakatan awal. Ia hanya boleh memilih maksimal dua pemain di setiap klub karena kompetisi Indonesian Soccer Championship masih bergulir. Beberapa kali Opa berusia 66 tahun tersebut pun komplain, tapi lagi-lagi hanya bisa berkeluh kesah di sejumlah media.
Kepakan sayap-sayap skuat Garuda yang terseok-seok di fase grup Piala AFF 2016 sempat membuat publik sepak bola Indonesia mengikhlaskan jika Garuda gagal lolos. Maklum, situasinya memang belum ideal.
Tak disangka-sangka, Garuda terus mengepakkan sayapnya dengan melibas tim favorit Vietnam di semifinal. Bukan tak mungkin, skuat Gajah Perang pun bisa disikat.
“Kami masih hidup, kami masih bisa melawan Thailand!” demikian kata-kata Riedl kala jumpa pers usai Indonesia menundukkan Thailand di leg pertama final lalu.
Perlu diingat, sudah enam tahun lamanya timnas Indonesia gagal ke final Piala AFF. Terakhir kali final pada Piala AFF 2010, tapi saat itu situasinya masih lebih ideal dibandingkan saat ini.
Kisah heroik itu pula yang menumbuhkan kembali euforia publik sepak bola Indonesia, usai masa-masa kemarau yang sempat menghantui sepak bola nasional.
Jika membandingkan level permainan Vietnam dan Thailand dengan Indonesia, patut diakui, Garuda masih berada di bawah mereka. Sebagai pelatih kawakan, Riedl pun jujur mengakui itu. Anehnya, Merah Putih terus berkibar hingga final dalam situasi yang tidak ideal!
 Timnas Indonesia merayakan kemenangan di final leg pertama. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas semua keanehan ini?
Nah, bagi saya, kekuasaan Tuhan memang tak semata melepaskan ‘tangan-Nya’ di lapangan hijau. Ia juga bisa mengintervensi di area itu dengan sesuatu yang kadang sulit dipahami nalar. Garis takdir juga terkadang mengkombinasikan semangat dan faktor keberuntungan.
Dia meniupkan ruh-ruh semangat pantang kalah, pantang merasa rendah kepada Boaz Solossa dkk. Jangan lupa, itu ditambahkan pula bumbu-bumbu keberuntungan. Tentu saja, saya juga masih percaya keajaiban doa dari ratusan juta rakyat Indonesia.
Jalan timnas yang seperti ini seolah menutup pintu bagi mereka-mereka yang bermain di level elite PSSI coba-coba mendompleng sukses timnas.
Sering saya mendengar, selalu saja ada pihak mengaku sukses timnas Indonesia tercapai, semata berkat kehebatan program PSSI di bawah kepemimpinan si A, si B dan seterusnya. Tak jarang, mereka ini pula yang amat jitu menjadikan sepak bola sebagai kendaraan politik. Seksi untuk ditunggangi!
Bagi kepengurusan PSSI sebelumnya di bawah kepemimpinan La Nyalla Mattalitti, aneh jika mengklaim kesuksesan ke final merupakan hasil kerja keras jangka panjang. Sebab, semua tahu klaim indikasi-indikasi kesuksesan untuk membangun timas yang kuat, porak-poranda seketika diterpa badai konflik PSSI.
Pieter Huistra yang sempat direkrut sebagai Direktur Teknis Timnas untuk membangun fondasi pembinaan sepak bola Indonesia juga bisa dibilang belum menghasilkan apa-apa. Kala PSSI beku, ia pulang kampung ke Belanda.
Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat kepada kepengurusan baru di bawah Pangkostrad, ganjil juga jika keberhasilan timnas ini diklaim. Beliau baru memimpin PSSI ketika persiapan timnas sudah jauh berjalan. Bahkan posisi Badan Tim Nasional pun belum terisi karena PSSI baru akan mengadakan Kongres pada Januari nanti.
Sekali lagi, kebangkitan timnas terjadi persis usai kegaduhan sepak bola nasional dan di antara patahan suksesi kepengurusan PSSI yang tidak mulus.
Termasuk pula, jangan ada pencitraan berupa slogan-slogan membosankan: “Keberhasian timnas Indonesia ini berkat kesuksesan reformasi tata kelola sepak bola yang sudah dijalankan pemerintah.”
Mari berikan pujian sukses tersebut hanya kepada mereka-mereka yang sudah bercucur peluh, menahan keram, menguras emosi di lapangan, dan memutar otak menyusun strategi dari bangku cadangan.
Jangan ada pahlawan selain mereka yang berjuang di lapangan.
(vws)