Jakarta, CNN Indonesia -- Wiranto resmi menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI). Di bawah komandonya, publik kini berharap PBSI bisa membawa atlet-atlet Indonesia berjaya kembali dan mendominasi persaingan di level dunia.
Pria 69 tahun itu bukan baru-baru ini bersentuhan dengan dunia bulutangkis. Ketika ia duduk di bangku sekolah dasar, dia pernah tertarik menekuni jalan menjadi atlet bulutangkis. Sederet nama terkenal seperti Tan Joe Hok hingga Ferry Sonneville pun menjadi idolanya. Keandalannya dalam mengayun raket juga pernah membuat Wiranto muda jadi pemain bayaran bagi sejumlah lembaga.
Lalu bagaimana awal mula keterkaitan Wiranto dengan bulutangkis dan bagaimana pandangan Wiranto terhadap posisinya sebagai Ketua Umum PP PBSI? Berikut wawancara eksklusif
CNNIndonesia.com dengan Wiranto:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang paling dikenang dalam perjalanan karier sebagai pemain bulu tangkis?Saya pernah bermain lawan Rudy Hartono di Malang dan waktu itu saya kalah. Saya serang sisi
backhand dia karena saat itu belum terlalu bagus dan saya mendapatkan poin dari sana.
Meski demikian, akhirnya saya kalah dan hanya dapat poin 11 (sistem poin 15). Mungkin dia tidak ingat, tetapi saya ingat. Setelah itu saya menekuni dunia militer, Rudy Hartono lanjut hingga jadi juara dunia.
Di masa kecil Anda, bulutangkis Indonesia baru mulai berjaya. Bagaimana kesan Anda?Saat itu Indonesia mulai jaya, Ferry Sonneville, Tan Joe Hook, Njo Kim Bie/Tan King Gwan tidak terkalahkan saat itu. Lawannya hanya Malaysia dan Denmark. China belum seperti sekarang.
Waktu itu kami menikmati pertandingan lewat radio. Reporter radio yang memiliki kemampuan hebat menyajikan pertarungan dengan seru.
Apa yang kemudian membuat Anda memilih karier militer dan tak melanjutkan karier bulutangkis?Saat itu saya pikir bulutangkis tidak bisa menghidupi keluarga, memiliki karier yang baik, beda dengan kondisi bulutangkis saat ini. Sehingga kemudian saya memilih profesi di dunia militer karena dunia militer merupakan hal yang saya senangi. Sebagai anak kecil, saya menyukai hal yang heroik dan penuh perjuangan.
Setelah di Akademi Militer, masihkah dekat dengan bulutangkis?Saya masih tetap menekuni bulutangkis sebagai pemain tunggal putra. Bukan hanya di tingkatan saya saja, melainkan juga antar-tingkatan, saya masih bisa juara. Kemampuan saya sudah lumayan sehingga dengan mudah mengalahkan lawan-lawan saya.
Ketika akhirnya merintis karier militer, bagaimana Anda melihat bulutangkis?Ketika sudah pernah menjadi pemain (bulutangkis) dan memahami serta menyenangi hal itu, maka hal itu tak akan pernah lupa serta kesenangan itu akan terus terpelihara. Karena saya tahu teknik bulutangkis, jadi kelihatan strateginya.
Misalnya ada teknik baru, misalnya smes sambil terbang seperti Liem Swie King yang akhirnya diadopsi negara-negara lain. Ada pula Erland Kops dan Finn Kobbero yang memiliki pukulan-pukulan aneh.
Siapa idola Anda di dunia bulutangkis?Waktu kecil mungkin disebut idola, namun setelah dewasa mungkin lebih tepatnya disebut mengagumi dan mengapresiasi. Ketika kecil ada Tan Joe Hok, Ferry Sonneville sedangkan ketika dewasa ada Rudy Hartono.
Untuk Rudy, lebih tepatnya disebut mengagumi karena dia mampu jadi juara dunia dalam jangka waktu cukup panjang. Hal itu pasti tak mudah. (catatan redaksi: sebelum ada Kejuaraan Dunia, All England sering disebut Kejuaraan Dunia tak resmi karena turnamen tersebut paling bergengsi)
Tentunya juga Susy Susanti yang pernah membawa harum nama Indonesia. Puncaknya ketika Indonesia bisa mengawinkan Piala Thomas-Uber di 1994. Saat itu puncaknya Indonesia memiliki pemain andal.
Saat Alan Budikusuma dan Susy Susanti dapat medali emas Olimpiade 1992, Indonesia begitu bersuka ria. Anda ada di mana saat itu dan apa yang anda rasakan?Saat itu saya masih jadi ajudan Presiden dan menonton di Istana Presiden dan semua bergembira sekali. Pasti semuanya bangga ketika melihat ada putra-putri Indonesia bisa jadi juara di level dunia.
Saya kira olahraga betul-betul bisa membanggakan masyarakat, mempersatukan masyarakat Indonesia, terutama olahraga yang sudah merupakan olahraga rakyat seperti bulutangkis dan sepak bola.
Kapan Anda mulai terjun di kepengurusan olahraga?Untuk olahraga sudah lama, namun untuk kepengurusan pusat dimulai di tahun 1993 saat saya pegang taekwondo, kemudian karate tahun 1996 ketika saya menjabat sebagai Pangkostrad. Bridge pun saya mulai pegang tahun 1993-2001.
Saya senang setiap jadi pemimpin satu cabang olahraga saya lihat sebagai pengabdian dan tantangan, bukan sebagai hiburan dan mencari ketenaran. Saya pelajari betul semuanya tentang strategi dan teknik. Begitu pun saat ini saya pelajari tentang bulutangkis, dan saya sudah mempelajari sistem negara lawan.
Ini harus dipelajari dan tak asal-asalan, karena kalau tak dipelajari akan percuma.
Dengan kedekatan yang panjang bersama bulutangkis, mengapa Anda tak jadi Ketua Umum PBSI di era 90-an saat menjabat sebagai Panglima TNI?Saat itu saya sudah pegang karate, taekwondo, dan bridge, sehingga sudah tak ada waktu lagi.
Lalu dengan kondisi sekarang yang tetap sibuk, bagaimana sampai akhirnya Anda menjadi Ketua PBSI?Pertama karena dasarnya saya adalah seorang pemain. Kedua, karena saya prihatin bulutangkis Indonesia tak seperti dulu. Ketiga, saya melihat Indonesia masih memiliki peluang untuk bisa berjaya seperti dulu. Keempat, butuh satu kesempatan untuk membenahi hal itu, dan kesempatan adalah dengan menjadi Ketua Umum PBSI.
Setelah itu saya melapor pada Presiden untuk izin rangkap jabatan, dan ketika beliau setuju, saya lalu melakukan pendekatan pada Pak Gita Wirjawan. Akhirnya terjadi pergantian kepengurusan dengan cara yang halus, bersahabat, tanpa voting, dan tanpa politik uang.
Apakah ada protes dari keluarga setelah jadi Ketua Umum PBSI mengingat kesibukan Anda saat ini yang sudah begitu padat sebagai Menko Polhukam?Tak ada protes karena ini pengabdian untuk negara. Banyak dukungan yang saya dapat dari berbagai kalangan termasuk keluarga.
Berbekal pengalaman panjang, apa masalah dalam mengurus organisasi olahraga di Indonesia?Orientasi organisasi olahraga harus ada pada profesionalisme. Karena itu saya memilih pengurus yang bisa bekerja, punya kompetensi, dan punya integritas. Pengurus harus menyumbangkan waktu dan pikiran. Bila tak punya integritas akan percuma.
Bila hanya sekadar cari nama, percuma. Masih banyak cara jadi terkenal, mungkin bisa jadi penyanyi, pelawak, atau artis sinetron.
Salah satu kejutan dari kepengurusan di bawah komando anda adalah terpilihnya Susy Susanti sebagai Kabid Binpres, padahal sebelumnya Susy sudah sering menolak untuk aktif terlibat langsung di kepengurusan PBSI?Untuk detailnya, hal itu tentunya harus ditanyakan kepada Susy. Saya mengajak dan ketika dia merasa bahwa saya serius, maka tentu Mbak Susy punya tekad yang sama dengan saya.
Begitu saya ajak, Susy langsung terima. Saya tahu Susy punya integritas, bila tak punya integritas tentu tak akan bisa jadi juara dunia. Saya ketuk hatinya dan katakan bahwa perjuangan belum selesai.
Susy tak perlu jadi juara dunia namun harus menularkan semangat itu kepada generasi penerus. Melihat latar belakang Susy yang sudah berkali-kali jadi juara dunia, saya yakin Susy mampu melakukan hal itu.
Bagaimana Anda melihat karakteristik atlet saat ini?Masyarakat berubah, lingkungan berubah. Dulu tak ada handphone, televisi, komputer, hingga perkembangan teknologi komunikasi seperti WhatsApp. Lingkungan seperti ini bisa mengganggu konsentrasi pemain jadi harus dibatasi.
Bukan berarti melarang, namun harus dibatasi. Bila sehari-hari hanya menonton televisi, hanya WhatsApp atau main game, maka tak akan bisa jadi juara.
Lalu soal dana untuk kebutuhan pelatnas?Dana akan kami cari. Tetapi harus ada bukti bahwa tekun dan bisa membuahkan juara dunia. Bila kami hanya meminta dana namun sulit jadi juara dunia, maka nanti hal itu pasti akan dipertanyakan. Ada korelasi bagaimana proses kami mencari dana dengan hasil yang kami capai.
Apa yang Anda ingin lihat dari bulutangkis Indonesia dalam empat tahun ke depan?Bukan empat tahun ke depan, karena kami tak bisa mematok hal itu. Yang bisa saya katakan, tujuan kepengurusan ini adalah membawa kejayaan bulu tangkis Indonesia di mata dunia. Soal nanti suksesnya di tahun keberapa, itu soal nanti.
Mungkin bisa saja bukan di kepengurusan saya, namun setidaknya saya sudah membangun fondasi dan arah yang benar. Jadi juara dunia butuh proses dan tak bisa langsung dua bulan jadi juara dunia karena lawan-lawan Indonesia sudah dalam kondisi siap.
Peringkat para pemain Indonesia masih jauh, masih sulit masuk lima besar dan saat ini mulai dalam proses ke sana. Bila pemain saat ini gagal, kami mulai mempersiapkan pemain di bawahnya, mungkin butuh waktu lima tahun. Namun tak mengapa karena prosesnya seperti itu.
Bridge pun butuh waktu delapan tahun untuk jadi juara dunia. Saat ini kami mencari proses dan kunci untuk jadi juara dunia, mulai dari organisasi, strategi, teknik permainan, cara latihannya. Bila itu sudah diketahui, maka Indonesia bisa berjalan dengan baik.
(vws/jun)