Jakarta, CNN Indonesia -- Silvio Berlusconi selangkah lagi bakal melepas klub kesayangannya, AC Milan, kepada investor dari China. Mantan Perdana Menteri Italia itu tentu akan merindukan suka duka bersama AC Milan.
Salah satu yang bakal dirindukan Berlusconi adalah momen-momen indah di Milan. Sejak diambil alih Berlusconi dibantu oleh orang kepercayaannya, Adriano Galliani, pada 1986 silam, Milan sukses menjadi salah satu klub raksasa di Eropa.
Di Liga Italia Serie A, Milan menambah delapan dari koleksi 18 trofi sejak 1987/1988.
Pamor
I Rossoneri juga semakin bersinar di Eropa di era Berlusconi. Total lima trofi Liga Champions sukses disabet pasukan Merah-Hitam itu sejak 1988/1989 di bawah pengelolaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Total sudah tujuh trofi Liga Champions yang dikoleksi Milan sejak 1962/1963. Klub asal Kota Mode Italia itu pun masih tercatat sebagai klub terbanyak kedua mengumpulkan trofi Liga Champions setelah Madrid.
Dari lima kali final Liga Champions di masa Berlusconi, dua kemenangan besar diraih Milan. Pertama, pada final Liga Champions 1988/1989 --saat itu masih bernama Piala Champions-- Milan menaklukkan Steaua Bucuresti 4-1.
Berikutnya pada final Liga Champions 1993/1994,
I Rossoneri mengalahkan Barcelona 4-0 di Stadion Olympic, Atena.
Nah, kemenangan telah yang paling berkesan adalah ketika menggebuk Barca yang notabene salah satu klub raksasa di Eropa.
Masa itu memang bisa dibilang generasi emas Paolo Maldini dan kawan-kawan. Selain Maldini, nama-nama pemain hebat lainnya antara lain, Marcel Desailly, Roberto Donadoni, Zvonimir Boban, Dejan Savicevic, dan Daniele Massaro.
Savicevic cetak satu gol kemenangan 4-0 Milan atas
Blaugrana. Dua gol lagi dicetak Massaro dan satu gol lagi dipersembahkan Desailly.
Barca juga sebenarnya tak kalah bertabur bintang pada era itu. Sebut saja penyerang andalan Romario asal Brasil dan Hristo Stoichkov dari Bulgaria.
Di tengah, ada nama gelandang legendaris yang kini memanajeri Manchester City: Josep 'Pep' Guardiola. Pun di bawah mistar gawang ada nama kiper hebat Andoni Zubizarreta.
Awalnya, banyak yang memprediksi Barca bakal memenangkan final tersebut. Maklum,
Blaugrana tampil meyakinkan dan konsisten hingga sukses melangkah ke final.
Belum lagi, Milan tak lagi diperkuat striker legendaris Marco van Basten. Pemain asal Belanda itu terakhir kali memperkuat Milan di level Eropa pada final Liga Champions 1992/1993.
Ia digantikan pada menit ke-86 karena mengalami cedera kambuhan pergelangan kakinya. Ironisnya, Milan pun kalah 0-1 dari Marseille dan trofi melayang.
 Marco van Basten terakhir kali tampil di final Liga Champions 1992/1993 saat Milan kalah 0-1 dari Marseille. (AFP PHOTO / TOSHIFUMI KITAMURA) |
Gelar Liga Champions 1993/1994 pun seolah menjadi penebus kekecewaan Milan pada musim sebelumnya.
Menghadapi Barca yang lebih dijagokan di final, Milan dapat membalikkan prediksi kala itu. Tak tanggung-tanggung, raksasa Katalonia dihajar 4-0.
Padahal, Milan banyak menurunkan pemain lapis kedua setelah para pemain inti mereka absen.
Pelatih Milan Fabio Capello yang juga merasa kecut hatinya pada musim sebelumnya, mampu membuat kejutan dengan meraih trofi Liga Champions.
"Ini merupakan sebuah kesempurnaan," tutur Capello waktu itu di tengah pesta kemenangan.
Itu merupakan trofi kelima yang berhasil diraih Milan, atau trofi ketiga pada masa Berlusconi.
I Rossoneri kembali menambah dua trofi Liga Champions pada era 2000-an, yakni 2002/2013 dan 2006/2007.
(vws)