Ahmad Bachrain
Ahmad Bachrain
Ayah dari Nashira Bachrain yang selalu tertarik dengan sisi-sisi humanis di balik fenomena keseharian. Sejak kali pertama berkarier di harian olahraga TopSkor, penulis menceburkan diri dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola. CNNIndonesia.com kini menjadi tantangan selanjutnya.

Marquee Player Liga 1 Sekadar Proyek Mercusuar

Ahmad Bachrain | CNN Indonesia
Selasa, 21 Mar 2017 09:00 WIB
Konsep pemain marquee sejatinya membantu menaikkan pamor sepak bola di suatu negara. Lalu, untuk Indonesia yang fanatik sepak bola, marquee untuk apa?
Michael Essien adalah pemain marquee pertama di kompetisi Liga 1 2017. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Satu bulan jelang kompetisi di bawah kepengurusan baru PSSI dimulai, klub-klub dan penggemar sepak bola dihebohkan dengan konsep baru soal marquee player. Setelah Persib Bandung sukses mengklaim Michael Essien sebagai pemain marquee mereka, sejumlah klub kini bergeliat dan dikait-kaitkan dengan nama-nama tenar lain.

Berdasarkan peraturan baru PSSI, pemain dengan status marquee tidak dihitung dalam slot tiga pemain asing (2+1 pemain Asia). Artinya, klub yang menggunaan pemain bintang dunia itu bisa memiliki empat pemain asing: satu marquee player dan tiga pemain asing reguler.

Konsep marquee memang bukan hal baru di beberapa liga macam A League Australia, India Super League, Major League Soccer (MLS) Amerika Serikat. Namun, masing-masing punya definisi tentang pemain khusus tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk di Indonesia, mereka yang disebut marquee player adalah pemain yang pernah bermain di tiga edisi terakhir Piala Dunia dan/atau merumput di liga-liga top Eropa. Liga-liga tersebut seperti Inggris, Jerman, Italia, Perancis, Spanyol, atau Portugal.

Tentu ada misi yang ingin dicapai PSSI dengan memberlakukan kebijakan ini. Marquee player diyakini bisa meningkatkan pemasaran sebuah kompetisi.

Efek awalnya sudah terasa saat Persib merekrut Essien. Tak sedikit dari media-media internasional mencari tahu klub Persib dan kompetisi sepak bola Indonesia.

Jika menoleh kembali sejarahnya, tujuan utama kebijakan ini memang untuk mendongkrak popularitas kompetisi suatu negara.

Sebut saja penggunaan marquee player di Liga Sepak Bola AS (MLS). Sepak bola memang bukan olahraga populer di Negeri Paman Sam. Pamornya masih kalah dengan American Football (NFL), atau bisbol.

Para pelaku bisnis sepak bola di AS punya strategi khusus mempopulerkan olahraga itu. Salah satunya adalah dengan mendatangkan sejumlah pemain bintang dunia dan dikenal dengan sebutan designated player. Itu merupakan penyebutan lain dari marquee player.

Kebijakan mendatangkan pemain bintang dimulai sejak 2007 silam. Lambat laun, magnet MLS mulai meningkat ketika sejumlah nama besar pesepak bola di Eropa macam David Beckham, Frank Lampard, Steven Gerrard, dan Andrea Pirlo merumput di klub-klub MLS.

Strategi yang sama pula dilakukan Australia dan India dengan membuka kebijakan marquee player. Sejarahnya, sepak bola juga bukan olahraga populer di dua negara itu.

Di Australia misalnya, popularitas rugbi jauh mengalahkan sepak bola. Begitu pula di India, pamor sepak bola kalah dari olahraga kriket.

Kedatangan Michael Essien jadi berita menghebohkan di awal kompetisi musim ini.Kedatangan Michael Essien jadi berita menghebohkan di awal kompetisi musim ini. (CNN Indonesia/T. Nugraha Pratama)


Sekarang, Indonesia juga mencoba melakukan hal yang sama dengan membuka kebijakan marquee player. Padahal, popularitas sepak bola di Indonesia sudah tak diragukan lagi.

Pamor apa lagi yang mau dilejitkan jika kenyataannya sepak bola sudah populer di Indonesia?

Ironisnya lagi, proyek tersebut pertama kali dilakukan di Persib, klub yang notabene punya basis pendukung yang sudah mengakar.

Tak ada yang berubah dari kecintaan bobotoh terhadap Maung Bandung, ada atau tidaknya marquee player. Beda cerita jika klub seperti Bali United atau Madura United yang mendatangkan pemain top dunia.

Kebijakan klub itu bisa mempercepat kembali bergeliatnya sepak bola di wilayah itu setelah sekian lama mati suri.

Jika alasannya untuk memperkenalkan kompetisi sepak bola Indonesia di mata dunia, tujuan ini juga terkesan macam proyek mercusuar.

Marquee player jadi gengsi pencitraan yang kurang bermakna bagi seoak bola Indonesia. Sebab, sejatinya yang perlu dibenahi adalah kualitas kompetisi mulai dari usia muda hingga profesional di negeri ini.

Tak Menjamin Mutu Kompetisi

Salah satu alasan lainnya liga-liga di dunia menggunakan konsep marquee player adalah meningkatkan mutu kompetisi. Para pemain bintang itu diharapkan membawa transfer pengetahuan cara sepak bola dimainkan dengan benar.

Bisa saja pamor dan mutu naik beriringan dengan kebijakan marquee player. Sebagai contoh, lagi-lagi di MLS atau A League.

Bobotoh Persib akan selalu fanatik dengan tim kesayangan mereka, meskipun Persib tak mendatangkan Michael Essien. Bobotoh Persib akan selalu fanatik dengan tim kesayangan mereka, meskipun Persib tak mendatangkan Michael Essien. (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Mutu kompetisi di dua negara itu memang merangkak naik. Amerika Serikat misalnya. Kualitas pemain-pemain mereka terus terdongkrak.

Begitu pula Australia, mulai bisa bersaing di level elite Liga Champions Asia. Western Sydney Wanderers tercatat sebagai klub pertama dari Australia yang menjuarai kompetisi itu pada 2014. Itu tujuh tahun sejak kali pertama klub-klub Australia tersebut berpartisipasi di Liga Champions Asia pada 2007.

Tak dimungkiri, kedua negara itu menggunakan marquee player sebagai proyek awal pengembangan kompetisi mereka. Namun, perlu dicermati pula kondisi kesehatan keuangan klub-klub di sana.

Tak ada kesenjangan antara klub kaya dan gurem di kompetisi dua negara itu. Bukan hanya satu atau dua klub saja yang bisa membeli pemain dengan harga selangit. Namun, kemampuan tersebut bisa dibilang hampir merata secara keuangan.

Sekarang, tengok kondisi kemampuan finansial di Indonesia yang relatif timpang.

Saat ini hanya ada satu klub kaya dengan sokongan konsorsium investor besar macam Persib. Sisanya klub-klub elite macam Arema, Persija, Semen Padang, Persipura Jayapura, tak sekaya Maung Bandung.

Persipura yang tak lagi mendapat sokongan dari PT Freeport Indonesia pun kini tengah berjibaku dengan persoalan finansial.

Sementara klub-klub baru macam Pusamania Borneo FC, Bali United, dan Madura United, belum bisa direka-reka kemapanan finansial mereka.

Bukannya disambut positif, banyak klub yang justru gerah dengan kebijakan marquee player. Sebut saja salah satunya Direktur Utama Persija Gede Widiade yang baru saja diangkat.

Keputusan PSSI memberlakukan regulasi marquee player memang sempat memantik gengsi Gede untuk merogoh koceknya membeli pemain bintang. Namun, ia pun sadar sakunya tak sedalam investor Persib.

Gede lebih tergugah dengan abainya PSSI dari rasa kesetaraan di antara klub-klub dengan diberlakukannya marquee player.

Ia menilai tak adil bagi klub-klub gurem karena marquee player hanya menguntungkan klub kaya.

"Memang, tak ada yang melarang jadi kaya, termasuk klub. Tapi aturan dengan membebaskan klub kaya bisa membeli marquee player terlepas dari kuota pemain asing, rasa-rasanya mengabaikan prinsip kesetaraan," terang Gede.

Terlebih, belum dijelaskan secara detail dalam regulasi jumlah pemain asing yang boleh main di lapangan bagi klub dengan marquee player.

Perlakuan istimewa marquee player yang tak dihitung masuk dalam slot pemain asing dianggap tak menggambarkan kesetaraan untuk klub-klub lainnya yang hanya sanggup membeli pemain asing 'biasa'.Perlakuan istimewa marquee player yang tak dihitung masuk dalam slot pemain asing dianggap tak menggambarkan kesetaraan untuk klub-klub lainnya yang hanya sanggup membeli pemain asing 'biasa'. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Akan sangat tak adil apabila Persib misalkan, bisa memainkan tiga asing plus marquee player, sementara klub tanpa pemain asing bintang hanya bisa menurunkan tiga pemain ekspatriat.

Sejumlah klub seperti Sriwijaya FC maupun Arema FC juga kabarnya mengkritik kebijakan marquee player.

Kebanyakan klub merasa kebijakan marquee player tak tepat diterapkan di kompetisi Indonesia dengan kesenjangan klub yang masih tinggi. Alih-alih menaikkan mutu kompetisi, marquee player justru berpotensi menimbulkan keresahaan dan kecemburuan di antara klub.

Ironisnya, kompetisi sepak bola di Indonesia masih belum bisa lepas dari tunggakan sejumlah klub terhadap gaji pemain mereka. (bac)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER