Jakarta, CNN Indonesia -- Laga Liga 1 dan 2 Indonesia baru saja digelar memasuki pekan ketiga dan kedua. Namun, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI sudah harus mendapat setumpuk pekerjaan rumah.
Ya, sejumlah aksi kekerasan para pemain terjadi di dua level kompetisi sepak bola Indonesia tersebut. Lapangan yang seharusnya tempat beradu kemampuan kaki mengolah bola, seolah jadi arena tinju.
Aksi kekerasan pertama ditunjukkan oleh pemain temperamental Ferdinand Sinaga di PSM Makassar. Tepatnya kala PSM menjamu Persela Lamongan di Stadion Mattoangin 16 April 2017, Ferdinand melepaskan bogem mentah ke arah tengkuk penyerang Persela Ivan Carlos saat duel perebutan bola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikutnya giliran kapten PS TNI Muhammad Abduh Lestaluhu yang notabene mantan penggawa Timnas Indonesia di Piala AFF 2016, melakukan tindak kekerasan kala bersua Bhayangkara FC, Sabtu (29/4). Ia terlihat memukul wajah pemain Bhayangkara FC, Thiago Furtuoso. Lagi-lagi awal mulanya sama: duel sengit perebutan bola.
Padahal, Komdis baru saja menjatuhkan hukuman kepada Ferdinand larangan empat kali berlaga membela timnya di Liga 1 pada Jumat (28/4), setelah diganjar kartu merah pada laga itu. Benar, sanksi itu hanya sehari sebelum aksi main pukul Abduh terhadap Furtuoso.
Abduh sendiri memang langsung mendapatkan kartu merah akibat perbuatannya dan menunggu sanksi lanjutan dari Komdis PSSI.
 Bek PS TNI Abduh Lestaluhu mulai sulit mengendalikan emosi di lapangan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Ironisnya, pada hari yang sama aksi kekerasan di lapangan juga terjadi di pertandingan Liga 2. Adalah pemain tim 757 Kepri Jaya Gerald Pangkali melakukan aksi pemukulan dan tendangan terhadap pemain PSPS Pekanbaru pada menit ke-59.
Mantan bek Persipura Jayapura itu pun tak bisa lolos dari hukuman kartu merah yang diberikan wasit Rahmatullah asal Tangerang pada menit ke-60.
Hanya sehari berselang setelah ulah Abduh dan Gerald, aksi anarkis pemain kembali terjadi pada Minggu (30/4) sore. Kali ini kekerasan antarpemain mewarnai jalannya Liga 2 antara tuan rumah Sragen United menjamu Persis Solo di Stadion Taruna Sragen.
Ya, kemenangan 1-0 tim tuan rumah harus tercemar dengan aksi keributan sejumlah pemain dari kedua tim yang bertanding.
Klimaksnya saat usai laga, pemain Persis Solo melayangkan bogem mentah kepada bek Sragen United, Ramadhan Saputra.
Hendri awalnya ingin mengejar kiper Sragen Utd yang dianggap sengaja membenturkan lututnya terhadap rekan setimnya, Dedi Cahyono Putro, setelah gelandang Persis itu dijatuhkan bek Sragen pada babak kedua. Dedi langsung dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras itu.
Anehnya, sang pengadil lapangan malah memberikan kartu merah kepada bek Persis, Andreantono Ariza, yang tak ada sangkut-paut dengan aksi tersebut. Akibat permainan kasar tersebut, juga membuat satu pemain lagi dilarikan ke RS Amal Sehat karena pelipisnya mengalami pendarahan.
Bayangkan, kurang dari satu bulan sudah terjadi empat aksi kekerasan di Liga 1 dan 2 yang menodai tontonan sepak bola menarik. Kekerasan tersebut juga seakan menjadi penegas kelaziman kekerasan di sepak bola Indonesia yang terjadi setiap tahunnya, baik di dalam maupun luar lapangan.
 Ferdinand Sinaga disanksi empat pertandingan dan denda Rp100 juta karena memukul lawan. (ANTARA FOTO/Yusran Uccang) |
Komdis memang mendasarkan hukumannya terhadap para pemain yang melakukan kekerasan sesuai dengan regulasi di Liga 1, termasuk kode etik Komdis PSSI. Termasuk pula larangan empat kali bertanding bagi Ferdinand yang sudah jatuh vonisnya.
Namun melihat jarak vonis Ferdinand dengan tiga aksi kekerasan yang kembali terjadi di Liga 1 dan 2 yang sangat dekat, sanksi yang berlaku pada mantan pemain Timnas Indonesia itu seolah tak melahirkan efek jera dan peringatan bagi pemain lainnya.
Di sinilah tantangan besar bagi Komdis PSSI demi menegakkan aturan setegas mungkin. Taji Komdis yang kerap dinilai lembek ditunggu untuk melindungi permainan sepak bola dari aksi-aksi kekerasan para pemain.
Di luar regulasi, Komdis PSSI tetap memiliki diskresi tersendiri untuk menjatuhkan vonis berdasarkan efek kerusakan dari kekerasan pemain yang mengubah lapangan jadi ‘arena tinju’.
Terlebih di Liga 1, semakin sengitnya persaingan dengan langkah klub mendatangkan para pemain marquee dan menambah kuota asing di lapangan, kian menjadikan laga ibarat api dalam sekam. Bisa dilihat pula, dua bentrok fisik yang terjadi di Liga 1 pun melibatkan dua pemain asing dan dua pemain lokal.
Kebijakan PSSI memainkan minimal tiga pemain U-23 di masing-masing tim kontestan Liga 1 pun seolah menumpahkan para pemain yang masih berdarah panas, bersaing dengan para pemain asing dan marquee.
Beda faktor pula kekerasan yang terjadi di Liga 2. Aksi kekerasan antarpemain di lapangan kerap terjadi lantaran kurang terpantaunya panasnya persaingan di sejumlah daerah dalam berebut posisi ke Liga 1 musim depan.
Buruknya kualitas wasit di lapangan juga jadi problem yang tak pernah bisa diatasi dengan baik sehingga memicu aksi main hakim sendiri oleh para pemain di lapangan.