Jakarta, CNN Indonesia -- Kekalahan
timnas Spanyol atas Rusia di babak 16 besar
Piala Dunia 2018 melalui adu penalti menyisakan tanya soal masa depan gaya sepakbola Tiki-taka. Terlebih, sang maestro Andres Iniesta yang menua sudah menyatakan pensiun dari timnas.
Pada pertandingan itu Spanyol tampil sangat dominan (penguasaan bola 75 persen berbanding 25 persen milik Rusia) dengan aliran bola dari kaki ke kaki antarpemain, dari sisi kiri ke kanan, depan-belakang, dan sebaliknya, mengurung pertahanan Rusia mencari celah untuk menyerang; sebuah gambaran umum soal gaya Tiki-taka.
Dengan gaya itu Spanyol menjadi juara pada Piala Dunia 2010, serta juara Euro 2008 dan 2012. Dengan gaya yang sama, La Furia Roja hancur di Piala Dunia 2014, Euro 2016, dan Piala Dunia 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semua hal berubah," ujar Hierro, dikutip dari
ESPN. "Tren berubah," imbuhnya.
Dalam laga itu, berdasarkan situs FIFA, Spanyol membukukan catatan 1.137 operan dengan 1.031 di antaranya merupakan umpan tepat sasaran. Jumlah itu merupakan yang terbanyak sejak 1966.
 Pelatih timnas Spanyol Fernando Hierro menghibur para pemain usai kekalahan dari Rusia. ( REUTERS/Carl Recine) |
Sementara, Rusia membuat 1.029 operan dalam empat pertandingan. Pada laga melawan Spanyol, tim berjuluk Sbornaya itu hanya mencatatkan 285 operan dan 202 umpan akurat.
Pelatih timnas Rusia Stanislav Cherchesov menggunakan lima bek dengan formasi 5-3-2. Penggunaan formasi lima bek ini merupakan yang pertama di Piala Dunia 2018. Dia belajar dari dua kekalahan atas Spanyol Euro 2008, 4-1 dan 3-0.
"Mereka lebih baik dari kami dalam banyak hal," aku dia. "Kami pun tak percaya harus mengambil risiko dengan menyerang," tambah dia.
Dengan formasi itu, Rusia berhasil membuat Spanyol hanya berputar-putar memainkan bola di sekeliling pertahanannya tanpa mampu benar-benar menembus pertahanan dengan kreativitas tiki taka.
Formasi lima bek dan pertahanan rapat berbasis area ini mengingatkan kepada pilihan yang diambil manajer Chelsea Roberto Di Matteo saat mematikan Barcelona-nya Pep Guardiola di Liga Champions 2011/2012.
Ya, Tiki-taka tak bisa dilepaskan dari Barcelona yang setia memainkan gaya yang disebut sebagai evolusi dari total football Belanda itu. Blaugrana pun menjadi pemasok dominan skuat timnas Spanyol di era jayanya.
Stok Pemain
Persoalan ketersediaan pemain yang mendukung Tiki-taka berjalan lancar pun masalah pertama Spanyol untuk kembali berjaya. Sebab, gaya ini menuntut pemain yang kreatif dan memiliki akurasi umpan tinggi serta penyelesaian akhir yang mematikan.
"Pada 2008, 2010, 2012, kami memiliki sejumlah pemain, dan kami bermain sebuah level dengan gaya yang tak pernah dilakukan sebelumnya oleh siapapun," tutur Hierro.
"Sekarang 2018, dan banyak hal berubah. Saat ini kita melihat mereka memainkan lima pemain bertahan sejajar yang kami pikir sudah dilupakan," lanjutnya.
 Andres Iniesta memutuskan pensiun dari timnas usai kekalahan di babak 16 besar di Rusia. ( REUTERS/Albert Gea) |
Andres Iniesta adalah satu dari empat pemain yang tersisa di
line-up Spanyol saat ini yang meraih juara dunia 2010. Tiga lainnya adalah Sergio Ramos, David Silva, dan Gerard Pique.
Di era kejayaan tiki taka yang meraih tiga juara turnamen mayor itu, Iniesta menjadi duet sehati dari Xavi Hernandez. Keduanya menjadi jantung kembar tiki-taka, menjadi metronom yang mengalirkan umpan-umpan akurat dan satu sentuhan ke semua sisi.
Bek-bek semacam Ramos dan Pique pun memiliki operan akurat yang seimbang dengan para gelandangnya. Pada Piala Dunia kali ini, Ramos memimpin jumlah umpan akurat dengan jumlah 485 kali.
Namun, Iniesta (34) kini sudah memutuskan pensiun selamanya dari timnas. Xavi (38) sudah lebih dulu meninggalkan timnas usai La Furia Roja di luluh lantak fase grup Piala Dunia 2014. Pique dan Ramos kini sudah berusia 31 dan 32.
Sisa kejayaan skuat Matador lainnya, Cesc Fabregas (31), yang disebut-sebut sebagai pengganti Xavi, tak lagi berada dalam radar timnas akibat performanya dinilai menurun. Sergio Busquets (29) tak punya duet sepadan Xabi Alonso yang melindunginya dalam bertahan dan mengalirkan bola.
 Isco (tengah) menjadi satu dari sedikit pemain Spanyol yang sempat bersinar di Piala Dunia 2018. ( REUTERS/Grigory Dukor) |
Gelandang Spanyol generasi selanjutnya yang saat ini ikut ke Piala Dunia 2018 lebih terbiasa memainkan gaya yang berbeda di klubnya. Misalnya, Thiago Alcantara (27) yang cendrung ofensif di Bayern Munchen, Koke (26) dan Saul Niguez (23) yang difensif di Atletico Madrid.
Hanya Isco (26) yang masih dalam performa terbaiknya dan kerap memainkan gaya mirip tiki taka di Real Madrid era Zidane.
Mentalitas Pemain
Persoalan kedua adalah soal mentalitas. Menurut Xabi Alonso, kegagalan pada 2014 disebabkan oleh hilangnya rasa haus gelar juara karena sudah meraih segalanya.
 Eks pemain timnas Spanyol dan Barcelona Xavi Hernandez. ( REUTERS/Gustau Nacarino) |
Sementara, pada 2018 ada masalah pemecatan pelatih timnas Julen Lopetegui dua hari menjelang Piala Dunia. Meski Hierro menyebut tak ada massalah, skuat menampilkan sebaliknya. Terutama, kiper terbaik Liga Primer Inggris David De Gea yang tampil jauh di bawah standarnya.
Dengan komposisi pemain, terutama gelandang, yang belum punya pemain atau duet setara Iniesta-Xavi, serta mentalitas masihkan Spanyol bertekad memainkan gayanya yang kerap dinilai membosankan itu?
"Yang penting adalah mencari jalan untuk sukses, dan ini tak mudah," ujar Hierro. "Ini lebih sulit dari kelihatannya. Timnas akan terus maju karena masih memiliki pemain-pemain berkualitas dan itulah yang harus mereka coba," imbuhnya.
"Kami memiliki identitas sendiri. Identitas Spanyol bisa dikenali. Kami punya kepribadian, dan ini hal yang baik," tandas eks pemain belakang Real Madrid itu.
(bac)