Oscar Tabarez, Kakek Bersaraf Baja di Bangku Uruguay

Vetriciawizach | CNN Indonesia
Jumat, 06 Jul 2018 16:59 WIB
Meski kini kesulitan berjalan dan menderita sindrom Guillan-Barre, Oscar Tabarez terus menjadi arsitek di balik kejayaan sepak bola Uruguay.
Oscar Tabarez menggunakan tongkat untuk berjalan. Ia terkena sindrom Guillan-Barren. (REUTERS/Carlos Barria)
Jakarta, CNN Indonesia -- Oscar Tabarez seharusnya tak ada di pinggir lapangan. Dua tahun lalu dokter mendiagnosisnya terkena sindrom Guillan-Barre yang menyerang saraf-saraf. Ia kesulitan berjalan, butuh topangan, dan bahkan terkadang menggunakan sebuah kursi roda listrik.

Ia seharusnya mengakhiri masa-masanya melatih timnas Uruguay yang memang kelewat lama.

Nyaris 12 tahun setelah ia didaulat menjadi pelatih Uruguay, negara yang penduduknya tiga juta jiwa tapi dengan 'gigitan' yang mampu menyakiti negara-negara yang lebih digdaya seperti Brasil atau Argentina.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oscar Tabarez, Kakek Bersaraf Baja di Bangku Uruguay
Tabarez didaulat jadi pelatih La Celeste ketika mereka gagal ke Piala Dunia 2006. Saat itu adalah kali kedua Tabarez menangani timnas negaranya setelah sempat gagal di 1990.

Perjalanan Tabarez bersama Uruguay dimulai dengan rasa pahit setelah ditekuk Peru 0-3 di laga pembuka Copa America 2007.

Kala itu ia bermain terbuka dengan sistem 4-3-3 yang mengandalkan kecepatan pemain sayap.

Pelajaran itu membuat Tabarez berbenah dan membentuk karakter timnya menjadi kesebelasan yang sangat sukar dikalahkan dan bukan sekadar bermain indah.

Mereka tak mengagungkan penguasaan bola serta tak masalah dipandang sebagai tim yang negatif oleh lawan-lawannya.

Oscar Tabarez, Kakek Bersaraf Baja di Bangku UruguayOscar Tabarez telah menangani timnas Uruguay sejak 2006. (REUTERS/Michael Dalder)
Hal ini yang kembali ditegaskan Tabarez seusai mengalahkan Portugal di 16 Besar Piala Dunia 2018. Kala itu, Uruguay hanya memiliki penguasaan bola 39 persen.

"Saya kira ada banyak asumsi salah bahwa penguasaan bola akan berujung pada peluang mencetak gol," kata mantan pelatih AC Milan dan Cagliari tersebut.

"Saya belajar hal itu di Italia ketika saya bekerja di sana. Di Italia, penguasaan bola tak terlalu diagungkan seperti di tempat lain. Bahkan ketika Anda tak sering menguasai bola pun Anda bisa mengirimkan luka pada musuh Anda."

Dengan mengusung prinsip seperti itu, Tabarez membawa Uruguay melaju ke semifinal Piala Dunia 2010, tapi tersingkir di 16 besar. Tabarez juga membawa La Celeste juara Copa America, mengakhiri puasa gelar yang berlangsung 16 tahun.

Di bawah Tabarez, Uruguay tak pernah gagal melaju ke putaran final turnamen level internasional.

Oscar Tabarez membawa timnas Uruguay menjadi juara Copa America 2011. Oscar Tabarez membawa timnas Uruguay menjadi juara Copa America 2011. (REUTERS/Hannah Mckay)
Selain itu, salah satu karakteristik yang lekat dengan Uruguay di bawah Tabarez adalah betapa mereka benar-benar menerapkan prinsip garra charrua yang menjadi identitas sepak bola mereka.

Garra yang secara harafiah berarti cakar, adalah istilah yang menyimbolkan determinasi, kekerasan hati, serta semangat berjuang tanpa kenal lelah.

Selama 12 tahun terakhir, garra inilah yang membentuk kekuatan mental Uruguay. Tabarez pun berhasil menanamkan pada para pemainnya bahwa mereka lebih tangguh dari musuh-musuh mereka. Bahwa ketika sama-sama dalam posisi terdesak, Uruguay bisa mengalahkan siapapun hanya lewat semangat dan kebersamaan mereka.

Media lokal di Montevideo, El Pais, menyebutkan bahwa di benak rakyat Uruguay seorang pahlawan memang lebih condong seorang kesatria ketimbang teknisi, berani ketimbang elegan.

Mantan penyerang timnas Uruguay, Diego Forlan, pernah memberi kesaksian bahwa sebelumnya ia tak meyakini bahwa semangat tim itu ada. Namun pandangannya itu berubah ketika Tabarez datang.

Oscar Tabarez, Kakek Bersaraf Baja di Bangku UruguayOscar Tabarez membangkitkan sepak bola Uruguay semenjak ditunjuk pada 2006. Kala itu Uruguay gagal lolos ke Piala Dunia. (REUTERS/Murad Sezer)
Kebersamaan inilah yang terus menerus ditekankan oleh Tabarez pada para pemainnya.

"Mereka adalah produk 'keyakinan, kesatuan, dan punya tujuan bersama-sama'," ujar Tabarez soal Uruguay.

"Para pemain harus membawa keletihan dan kemenangan ke dalam ruang ganti. Keletihan karena telah memberikan segalanya di lapangan. Itu yang harus terlihat di lapangan, Anda tak menyimpan energi untuk apapun lagi."

Filosofi seperti ini bukan hanya membentuk para pemain seperti Luis Suarez, Edinson Cavani, dan Diego Godin menjadi pemain mumpuni, tapi membuat mereka rela berkorban satu sama selain.

Tak heran dalam perjalanannya di Piala Dunia kali ini Suarez berkali-kali mengirimkan bola pada Cavani ketimbang langsung menembaknya sendiri.

Cavani mencetak dua gol yang membawa Uruguay menang atas Portugal di 16 Besar. Satu dari dua gol itu berawal dari umpan Suarez.

Tabarez dikenal sebagai El Maestro (sang guru) karena memang ia pernah mengajar di bangku sekolah seusai ia gagal menjadi pemain bola.

Pengaruh Tabarez bagi negaranya bukan hanya terbatas kejayaan di atas lapangan, tapi juga menjadi arsitek lahirnya dua generasi pesepak bola Uruguay.

Tabarez memimpin program yang bertujuan untuk mencari bakat-bakat baru dan mengembangkan mereka. Kerja keras ini berbuah manis dengan semakin menterengnya timnas U-17 dan U-20 di Piala Dunia.

Salah satunya hasil kerja kerasnya ini juga terlihat di Piala Dunia 2018 kali ini dalam sosok Rodrigo Bentancur dan Matias Vecino, dua penggawa muda yang punya kemampuan teknikal mumpuni. Tipe-tipe pesepak bola ini nyaris jarang tercipta di Uruguay di era 1990-an dan 2000-an. (har)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER