Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Tanda pagar (tagar) #KosongkanGBK ramai di media sosial Twitter, sekira dua hari jelang laga
Timnas Indonesia menjamu Timor Leste pada
Piala AFF 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Selasa (13/11).
Kampanye itu cukup membawa efek di SUGBK pada hari pertandingan. Tercatat hanya sekitar 12 ribu penonton dari 72 ribu kursi di stadion termegah dan bersejarah di Indonesia tersebut.
Jumlah itu memang terkesan lengang mengingat rasio suporter yang datang jauh lebih sedikit dari kapasitas stadion itu. SUGBK hanya terisi sekitar 15 persen penonton untuk menyaksikan langsung Timnas Indonesia menjamu Timor Leste.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kekecewaan mendalam yang memicu publik pecinta sepak bola Indonesia mengampanyekan #KosongkanGBK. Tak lain dan tak bukan, kemarahan masyarakat diarahkan kepada PSSI.
Sejumlah kebijakan induk organisasi sepak bola tanah air itu memicu kemarahan publik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah keputusan PSSI membatalkan perpanjangan kontrak pelatih Timnas Indonesia, Luis Milla, hanya sekitar dua hari jelang Piala AFF 2018.
Padahal, publik sudah kadung jatuh hati dengan tangan dingin Luis Milla meski Timnas Indonesia gagal ke semifinal Asian Games 2018. Pelatih asal Spanyol itu dianggap berhasil membuat permainan Garuda kian moncer kendati gagal memenuhi target yang ditetapkan PSSI.
Status para pengurus PSSI yang tidak satu suara, menjadi faktor Luis Milla batal diperpanjang kontraknya. Padahal, staf Timnas Indonesia macam dokter tim, Syarif Alwi, sempat melontarkan bahwa sang pelatih masih ingin meneruskan perannya di kursi kepelatihan.
 Ramai tagar #KosongkanGBK sekitar dua hari jelang laga Timnas Indonesia melawan Timor Leste. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Keputusan PSSI memilih asisten Luis Milla, Bima Sakti, sebagai pelatih kepala sempat memicu kritikan di sana-sini. Mantan pemain Garuda itu dinilai belum pantas secara kematangan kendati cukup mewarisi ilmu kepelatihan dari mantan atasannya itu.
Kekhawatiran publik terjawab. Garuda kalah 0-1 pada laga perdana Grup B di markas Singapura seolah menjadi pertanda buruk di Piala AFF 2018.
Merah Putih kembali merintih dikalahkan Thailand 2-4 setelah menang 3-1 atas Timor Leste. Indonesia dipastikan gagal ke semifinal setelah Filipina bermain imbang 1-1 melawan Thailand.
Thailand dan Filipina sama-sama mengumpulkan tujuh poin. Perolehan tersebut tak akan mungkin bisa dikejar Timnas Indonesia yang baru mengoleksi tiga poin dengan satu laga tersisa.
Publik mulai membanjiri kekecewaan dan kemarahan terutama di media sosial. PSSI terutama sang Ketua Umum, Edy Rahmayadi, menjadi sasaran amukan para netizen.
 Timnas Filipina bermain imbang 1-1 dengan Thailand dan membuat peluang Timnas Indonesia tertutup di Piala AFF 2018. (Foto: Courtesy of affsuzukicup.com) |
Ramai-ramai mereka mendesak Edy mundur dari kursi jabatannya karena dianggap gagal. Kesibukan mantan Pangkostrad TNI AD sebagai Gubernur Sumatera Utara itu disebut sebagai salah satu ketidakbecusannya selain memang dia dianggap kurang paham seluk-beluk organisasi sepak bola tanah air itu.
Kegagalan Garuda untuk juara Piala AFF seperti jadi ratapan rutin setiap edisinya. Nasib malang selalu berulang bagi Merah Putih yang belum satu kali pun meraih gelar juara ajang sepak bola bergengsi se-Asia Tenggara itu.
Rutin bagi kita karena jika direnungkan lagi, kegagalan demi kegagalan Timnas Indonesia bagian dari akar bobrok sistemis di negeri penggila sepak bola ini.
Nihil prestasi Garuda di Piala AFF tak bisa dilepaskan dari kondisi kompetisi sepak bola tanah air yang tak kunjung beres.
Tahun ini saja, jadwal kompetisi kasta tertinggi tak sinkron dengan Piala AFF. Liga 1 2018 masih tetap bergulir ketika kompetisi di negara-negara Asia Tenggara lainnya sudah selesai di saat turnamen dua tahunan itu.
Pemain benar-benar terkuras tenaganya sehingga seperti istilah mantan pemain Timnas Indonesia, Bambang Nurdiansyah, kekuatan Garuda di Piala AFF 2018 tinggal ampas saja.
Liga 1 2018 sedianya selesai sebelum Piala AFF 2018. Namun karena kasus kematian salah satu suporter Persija Jakarta, Haringga Sirla, yang dikeroyok oknum pendukung Persib, kompetisi sempat disetop sepekan.
Kasus kematian suporter setiap tahun dalam tiga tahun ke belakang juga seperti menegaskan masalah akar rumput sepak bola Indonesia masih memiliki problem yang sama dari masa ke masa.
Tak bisa dimungkiri, PSSI dan operator bertanggung jawab terhadap salah kelola kompetisi sehingga ujung-ujungnya performa skuat Garuda yang jeblok. Termasuk pula sikap 'mencla-mencle' organisasi itu dalam hal menentukan pelatih sehingga perjuangan Garuda tak bisa ditemani Luis Milla.
Meski demikian, kegagalan ini bukan sekadar disebabkan 'dosa-dosa' tersebut. Seandainya pun Milla yang menangani Merah Putih, peluang juara di Piala AFF 2018 tetap kecil.
Belum lagi mentalitas kebanyakan orang di negeri ini yang belum benar-benar menghargai proses. Budaya tak terima kekalahan dan mencari alibi masih akrab dijumpai di sepak bola kita.
 Suporter memasuki lapangan saat terjadi kericuhan pada pertandingan antara Arema FC melawan Persib Bandung dalam Liga I di Stadion Kanjuruhan. (ANTARA FOTO/H Prabowo) |
Penyakit itu masih menghinggapi suporter bahkan termasuk pemain di lapangan. Tak jarang mentalitas tersebut menjurus pada kekerasan di atas dan luar lapangan.
Bercermin dengan kekusutan ini, justru aneh rasanya jika Timnas Indonesia berprestasi. Apalagi di edisi kali ini, tak perlu meratapi berlebihan bila kenyataannya Garuda gagal lolos ke semifinal Piala AFF untuk kali keempat.
(ptr)