Jakarta, CNN Indonesia -- Melalui kemenangan besar atas
Chelsea,
Manchester City seolah mengirimkan pesan kepada
Liverpool dalam persaingan gelar juara Liga Inggris 2018/2019.
Digdaya dan adikuasa menjadi dua kata yang cukup menggambarkan bagaimana Man City bermain di Stadion Etihad pada Minggu (10/2) malam.
Siapapun yang menjadi pendukung Chelsea akan remuk redam melihat tim kesayangannya tak mampu berbuat banyak menghadapi tuan rumah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
The Citizens bermain dengan gairah dan hasrat luar biasa, khusus selama 30 menit awal ketika bisa mencetak empat gol. Tak ingin jauh dari bola dan tak keberatan berlama-lama menguasai bola sampai membuka celah.
Ketika Chelsea berupaya menutup semua ruang dan merebut bola, Man City kemudian melakukan
pressing cepat untuk mendapat bola kembali sehingga Chelsea sulit memainkan bola lebih lama dan tak mampu mengembangkan permainan.
 Manchester City tampil dominan atas Chelsea. (REUTERS/Phil Noble) |
Keuletan Man City juga berjodoh dengan keteledoran pemain-pemain Chelsea dan masa
off day Kepa Arrizabalaga di bawah mistar The Blues.
Kecuali penyelesaian brilian melalui sepakan jarak jauh Sergio Aguero yang menghasilkan gol kedua, lima gol Man City lainnya tidak lepas dari organisasi pertahanan keropos Chelsea.
Gol pembuka Raheem Sterling menyiratkan ketidaksiapan Chelsea menghadapi intensitas serangan Man City. Kegugupan dibobol dua kali dalam kurun waktu kurang dari 15 menit benar-benar terasa pada proses gol ketiga ketika Ross Barkley salah membuang bola ke depan gawang sendiri dan dihukum Aguero.
Gol Ilkay Guendogan juga menegaskan kembali mental Chelsea yang terpuruk begitu memengaruhi permainan mereka. Ruang kosong tidak disia-siakan Guendogan untuk membuat Kepa makin nelangsa, kebobolan empat gol dalam waktu 25 menit dan menyeka kepala dengan handuk setelah gol keempat.
Setelah Cesar Azpilicueta melakukan kesalahan individu dengan terjebak membekuk gerakan Sterling di kotak penalti, lagi-lagi ketidakmampuan lini belakang Chelsea menyesuaikan level permainan memudahkan Man City menuntaskan gol pamungkas.
Chelsea tentu tak hanya diam menjadi objek penderita dalam pertandingan ke-26 musim ini. Mereka berupaya mencetak gol melalui permainan
direct football. Namun permainan solid Man City memaksa mereka gigit jari.
Anak asuh Pep Guardiola mampu bertahan dengan baik dan rapat dalam jarak sempit dan padat di tengah sehingga memaksa Chelsea bermain-main di luar kotak penalti. Aksi individu Eden Hazard sesekali merepotkan, namun kemudian ancaman tersebut berhasil dinetralisir karena
game plan Man City yang apik.
Hazard, Pedro Rodriguez, Azpilicueta, Marcos Alonso, serta N'Golo Kante dan Barkley lebih sering berada di luar garis perimeter kotak 16 mencari-cari kesempatan melepaskan tembakan jarak jauh atau mencuri-curi peluang mengumpan ke Gonzalo Higuain yang teralienasi.
Keberadaan Kante tidak bisa menolong Chelsea lantaran sang pemain tampaknya ditempatkan agak ke depan, selain itu menghadapi kolektivitas tim macam Man City, Kante juga tidak dapat diandalkan seorang diri sementara dua tandemnya di lini tengah juga tak bermain pada performa terbaik.
 Kepa Arrizabalaga kebobolan enam kali di Stadion Etihad. (Action Images via Reuters/Carl Recine) |
Pressing chelsea seperti tak berarti karena Man City menikmati bermain dengan kebersamaan, sehingga dapat berbarengan keluar dari tekanan dan bahu-membahu membangun serangan
Skor 6-0 menunjukkan Manchester Biru benar-benar di atas level permainan lawan dan seakan menjadi perwujudan kata-kata kedua manajer jelang pertandingan.
Sebelum laga, Maurizio Sarri mengatakan Man City adalah tim terbaik di Eropa. Sementara Guardiola mengatakan kemenangan dengan banyak gol menjadi target ganda demi menjaga trofi Liga Inggris.
Enam gol di Etihad menegaskan pula ucapan Guardiola soal gol akan menjadi penentu juara musim ini. Sekarang Man City sudah melesakkan 74 gol berbanding 20 kebobolan. Dengan selisih 54 gol, Aguero dan kawan-kawan berhak menempati posisi teratas mengungguli Liverpool yang memliki selisih 44 gol di klasemen.
Guardiola benar-benar menjelmakan kata-katanya di atas lapangan dan tentu bukan sekadar bualan bagi Liverpool yang sedang berupaya keras meraih gelar juara yang pertama setelah kali terakhir berjaya di liga domestik pada musim 1989/1990
(nva/har)