Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak pernah terlintas di benak saya menjadi pemain
Timnas sepak bola Indonesia, meski sejak kecil sudah bermain bola dan bahkan dibon dan diambil di mana-mana (tim sekitar kampung).
Dari kecil saya memang sudah akrab dengan olahraga, termasuk sepak bola karena memang tinggal di lingkungan yang memiliki fasilitas olahraga lengkap. Tidak seperti anak-anak sekarang yang ikut Sekolah Sepak Bola (SSB), saya hanya bermain bola biasa saja.
Masa menjelang lulus SMEA YOS SUDARSO MAJENANG pada 1989, menjadi sebuah tonggak penting dalam hidup saya sehingga saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Dalam sebuah pertandingan tarkam (antar kampung) di Tasikmalaya, ada seorang pemain nasional Warta Kusuma melihat saya dan kemudian menawarkan nama saya ke klub Warna Agung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai anak rumahan, sempat syok juga berada jauh dari rumah yang berada di Majenang. Tetapi saya melawan
homesick itu dengan keinginan yang kuat untuk meraih kesuksesan. Saya pun memilih membunuh kesendirian dengan berada di mes dan berlatih dengan bola.
Di Warna Agung, saya bertemu seorang pelatih kawakan bernama dokter Endang Witarsa. Dokter Endang mengetahui saya dari Warta Kusuma. Waktu itu saya merasa bisa bersaing di tim karena memiliki kecepatan berlari yang kencang.
 Widodo Cahyono Putro saat ini melatih Persita Tangerang. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Tidak ada satu patah kata yang keluar dari mulut dokter Endang, tapi saya mendapat bocoran dari asistennya. "Dokter bilang, kamu pasti jadi pemain Timnas," ujarnya ketika itu yang hanya saya aminkan tanpa ada rasa besar kepala.
Satu bulan setelah masuk Warna Agung saya masuk tim PON Bengkulu, karena semua pemain Bengkulu merupakan pemain Warna Agung yang waktu itu terdaftar sebagai klub yang berkandang di provinsi itu.
Setelah PON saya berhasil menembus Timnas Indonesia junior untuk Pra Olimpiade 1991. Pada tahun yg sama saya pun memiliki kesempatan masuk ke Timnas senior bersama pelatih Anatoly Polosin. Karier saya pun kemudian berkembang dan dikenal di lapangan hijau dengan kostum Petrokimia Putra dan Persija.
Ketenaran nama 'Widodo' pun sempat dijadikan parodi ke dunia musik ketika pada 1998 kelompok musik Project P menyelipkan lirik 'Widodo Kamu Ora Ono'. Saya tahu lagu itu dan tidak ambil pusing dengan itu. Mungkin lirik itu disesuaikan karena orang Jawa dikaitkan dengan akhiran O.
Tinta Emas di Timnas IndonesiaMomen paling indah dalam karier saya tidak lain tidak bukan tentu adalah tendangan salto di Piala Asia 1996. Tapi lima tahun sebelumnya saya juga menorehkan prestasi yang belum terulang sampai sekarang, emas SEA Games.
 Widodo Cahyono Putro membawa Timnas Indonesia merebut emas SEA Games 1991. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf) |
Saya menjalani laga pertama di SEA Games 1991 dengan baik berkat dua gol ke gawang Malaysia yang saya cetak dari tengah, ya dekat dengan garis tengah lapangan. Tapi di final ada hal yang juga tidak bisa dilupakan, yakni ketika gagal menjadi eksekutor pada babak adu penalti.
Sebagai pemain muda saya merasa siap mendapat tugas menjadi algojo, tapi satu hal lain ternyata pengalaman itu memang penting. Saya belum pernah mengambil penalti di pertandingan sebesar itu dan gagal. Mungkin memang seperti itu jalannya.
Selepas menendang bola tentu ada perasaan menyesal. Tapi, setelah itu penalti Sudirman bisa masuk dan (kiper) Edy Harto bisa menahan penalti. Untung semua berakhir bagus. Kalau kalah mungkin ini akan jadi penyesalan sampai sekarang.
Selain emas SEA Games yang saya bawa pulang, berkat kemenangan hampir tiga dekade lalu itu, saya juga masih memiliki kenang-kenangan yang masih saya dapatkan, yaitu uang bonus Rp100 ribu yang datang setiap bulan sampai sekarang. Itu bonus dari sebuah perusahaan yayasan yang diterima pemain seumur hidup. Makanya kami ini harus hidup terus, hahaha.
Berselang lima tahun dari emas
SEA Games, kepercayaan membela
Timnas Indonesia di Piala Asia 1996 datang. Saya tidak pernah tahu alasan pelatih memanggil. Saya hanya berpikir positif dan berprinsip terus menampilkan yang terbaik dan menjalin kerja sama dengan tim.
Persiapan menjelang debut Timnas Indonesia di Piala Asia berlangsung cukup panjang. Genoa jadi tempat pelatnas sebelum terbang ke Arab Saudi dan akhirnya tiba di 'medan perang' sesungguhnya di Uni Emirat Arab.
Sejak hari pertama datang, latihan di stadion tempat bertanding (Stadion Sheikh Zayed) adalah menu utama Timnas Indonesia. Suasana stadion sangat enak, udara sejuk, rumput lapangan bagus, belum pernah saya merasakan situasi seperti ini sebelumnya.
Dengan segala yang ada di stadion itu, saya punya keyakinan bisa menciptakan sesuatu. Sehari sebelum pertandingan pun saya lagi-lagi memiliki perasaan kuat, sampai-sampai merinding.
 Widodo C. Putro mengaku sepatu yang digunakan saat gol salto menghilang. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Malam sebelum bertanding melawan Kuwait saya 'belajar' dengan membayangkan situasi di lapangan. Ketika mendapat umpan saya harus melakukan gerakan seperti apa. Ketika menerima umpan silang saya harus bagaimana. Saya melakukan itu seperti hendak mengikuti ujian tertulis.
Gol indah dan atraktif adalah sesuatu yang saya sukai dan yang terjadi ketika pertandingan memasuki menit ke-20, ketika saya mendapat umpan dari Ronny Wabia dan mencetak gol ke gawang Kuwait dengan tendangan salto adalah hasil dari belajar saya di malam hari tersebut.
Tidak pernah saya mengetes tendangan salto di latihan. Itu pertama kali dalam karier saya melakukan salto ketika menerima umpan lambung.
Satu-satunya hal yang saya sesali dari gol salto itu adalah sepatu yang ketika itu saya gunakan tak diketahui keberadaannya. Dulu sepatu itu sempat dikasih ke kakak, tetapi tidak kembali. Beruntung saya masih memiliki kaos tanding yang saya gunakan ketika mencetak gol salto dan sekarang ada di cafe milik saya yang bernama cafe WCP di Gresik.
Di luar catatan bersama Timnas Indonesia, mungkin ada hal lain yang bisa sedikit dibanggakan yakni perolehan kartu. Sepanjang karier menjadi pemain depan, saya tentu pernah mendapat penjagaan hingga menerima beragam perlakuan.
Jujur yang membuat saya kesal bukan perlakuan sang pemain, tapi lebih kepada mangkel kepada wasit. Alhasil dalam sebuah duel, saya menotok leher sang pemain dan seketika dia seperti pingsan dan langsung diganti. Saya menyesal dan meminta maaf setelah itu. Itulah kartu kuning pertama dan terakhir dalam karier saya.
Sepak Bola Indonesia Harus MajuSelain masa-masa indah, tentunya saya mengalami masa yang kurang enak dan sampai sekarang masih kerap ditanyakan kepada saya. Seperti soal final Liga Indonesia 1994/1995 dan kepindahan saya dari Bali United. Baiklah, dalam kesempatan ini saya akan menjawab dua hal tersebut.
 Widodo C. Putro meninggalkan Bali United di pengujung musim lalu. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf) |
Mengenai final Liga Indonesia antara Persib dan Petrokimia itu adalah bagian dari masa lalu yang semua masyarakat sudah tahu. Sementara mengenai kepindahan dari Bali itulah suka duka dalam sepak bola. Suka karena saya bisa membawa Bali United menjadi runner-up liga dan piala presiden serta duka karena saya tidak bisa terus di sana, itulah sepak bola.
Daripada membincangkan masa lalu, saya ingin sepak bola Indonesia maju dari banyak hal. Infrastruktur adalah salah satu hal penting yang bisa menunjang prestasi dan kualitas. Pembinaan usia muda juga menjadi bagian yang tentu dibutuhkan.
Saya juga menaruh banyak harapan mengenai keberadaan Satgas Anti Mafia Bola yang ada sekarang ini. Semoga tahun ini harus lebih baik, dan tahun depan juga menjadi lebih baik.
Semua ini memang harus dikerjakan bersama-sama, berbarengan, sama seperti filosofi saya dalam bermain sepak bola. Saya tidak pernah menjadi top skor, karena kemenangan itu lebih penting daripada gelar individu. Itulah prinsip yang saya gunakan juga dalam melatih.
Karena kerja sama juga saya bisa menyetel dengan berbagai penyerang top Indonesia seperti Peri Sandria, Rochy Putiray, Miro Baldo Bento, Kurniawan Dwi Yulianto, sampai Bambang Pamungkas.