Jakarta, CNN Indonesia -- Minggu pagi pertengahan Januari itu lapangan Brigif Kota Cimahi riuh-rendah. Suara-suara mesin dan knalpot memenuhi udara dan memekakkan telinga ratusan pengunjung.
Satu malam sebelumnya panitia telah menyulap area yang semula lapangan menjadi sirkuit non-permanen. Di berbagai sudut lintasan, terlihat ban-ban bekas yang ditumpuk dan disusun sedemikian rupa untuk difungsikan menjadi pengaman. Lubang-lubang dan aspal yang terkelupas pun telah ditambal.
Sekitar pukul 08.30 WIB, ratusan peserta mulai memanaskan dan menyiapkan motor di
paddock. Segala
tetek-bengek ini disiapkan untuk ajang
road race Trijaya Sumber Production 2019 yang dimulai pukul sembilan pagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Balapan ini hanya satu dari puluhan
road race yang digelar di berbagai daerah di Indonesia. Para pebalap yang punya mimpi berkompetisi di level internasional harus memulainya dari level kejuaraan daerah seperti ini. Memenangkan balapan dari usia dini pada sirkuit-sirkuit yang jauh dari kata glamor atau sorotan media.
Namun, apapun bentuknya, balapan tetaplah balapan, seperti batu asah yang menajamkan insting para pebalap sebelum akhirnya berkompetisi di level internasional.
Misalnya saja Dimas Ekky, atlet Indonesia yang kini tengah berkompetisi di Moto2. Ia memulai perjalanannya di balap motor jalanan pada usia 12 tahun, dari sirkuit-sirkuit non-permanen, sebelum akhirnya naik ke kelas Supersport 600cc dan kemudian Moto2.
![Tulisan 1 Road Race [Embargo]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/04/08/4bd26768-98e1-4a0c-aea9-18f335c74972_169.jpeg?w=620) Suasana road race di Indonesia saat balapan akan dimulai. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H) |
Road race seperti Trijaya Sumber Production 2019 lazim dimulai sejak pagi hari atau menjelang siang dan berlangsung hingga sore. Biasanya berlangsung sampai pukul 17.00 WIB.
Balapan digelar dua hari dengan dua sistem yang berbeda. Ada balapan yang menggunakan hari pertama untuk menggelar kualifikasi, kemudian final pada hari berikutnya. Sementara penyelenggara lain menggabungkan kualifikasi dan final dalam satu hari, tapi hari pertama dan kedua dibagi ke dalam beberapa kelas berbeda.
 Suasana balapan di Sirkuit Brigif Kujang II, Cimahi (13/1). (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H) |
Namun, balapan yang kualifikasi dan final dibabat dalam satu hari cukup menyita konsentrasi dan tenaga pebalap. Apalagi beberapa di antara mereka mengikuti beberapa kelas yang jadwalnya berdekatan. Belum lama menghirup udara segar saat istirahat, pebalap sudah harus bersiap untuk kesempatan berikutnya.
"Sebentar ya,
kang. Tunggu sini saja. Nanti habis balapan kita lanjut wawancara lagi," ujar pebalap tim Hamosena, Teddy Darmansyah, saat ditemui
CNNIndonesia.com. Tergesa-gesa ia meninggalkan kami dan menuju sesi kualifikasi. Kami baru bisa berbincang lama dengannya setelah ia menuntaskan balapan.
Cuaca yang cerah membuat semringah penyelenggara dan juga tim balap. Aksi kebut-kebutan di atas trek terasa nikmat dilihat saat lintasan kering. Meski begitu, bukan tidak mungkin balapan digelar saat hujan turun. Selama volume hujan masih masuk batas toleransi dan tidak mengganggu pebalap, balapan terus dilanjutkan.
Pelaksanaan kejuaraan
road race sendiri membutuhkan biaya yang bervariasi tergantung tingkatan balapan. Makin banyak pebalap nasional terutama yang sarat prestasi hadir, balapan dijamin akan banjir peserta.
Seperti yang terjadi di Trijaya Sumber Production 2019 yang diserbu 920 starter. Jumlah yang membludak ini tidak terlepas dari penyelenggaraan yang tergolong mewah dan bahkan dengan biaya produksi yang mencapai Rp500 jutaan.
Di ajang itu panitia menyediakan total hadiah ratusan juta rupiah. Selain uang pembinaan, kejuaraan itu menyertakan sepeda motor sebagai hadiah tambahan di beberapa kelas bergengsi.
Nilai kocek yang harus dirogoh ini sesungguhnya cukup sebanding dengan pemasukan panitia. Dengan biaya pendaftaran peserta sebesar Rp450 ribu, maka pendapatan dari sektor ini saja bisa mencapai Rp405 juta. Belum ditambah dari sponsor serta pedagang di sekitar sirkuit.
Di Indonesia, ajang balap jalanan ini mulai marak pada era 1990-an. Meski begitu, sejarah balap motor di Indonesia menurut Ikatan Motor Indonesia (IMI) dimulai di periode 1940 sampai 1960-an ketika merek-merek motor Jepang mulai memasuki Tanah Air.
Kabid Olahraga Sepeda Motor IMI DKI, Sigit Widiyanto menyebut, balap motor di Indonesia mulai berkembang di era 1970-an, seiring kehadiran Sirkuit Jaya Ancol Jakarta yang dibangun pada 1971 dengan kebutuhan dana mencapai Rp150 juta pada masa itu.
Saat balap motor digelar di Sirkuit Ancol, sepeda motor yang digunakan bertipe 'batangan'. Kapasitas motor-motor 2 tak itu juga tidak besar, seperti Yamaha L2 Super, Yamaha RX series, Yamaha RD125, Suzuki TS125, Kawasaki Binter Merzy, hingga Honda CB100 dan Honda GL100.
![Tulisan 1 Road Race [Embargo]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/04/08/bd7489ff-c248-4ffb-8f45-b3118488c19d_169.jpeg?w=620) Suasana penonton yang menyaksikan balapan road race di Cimahi. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H) |
Di akhir periode 1980-an, ada pergeseran lokasi balapan sepeda motor jalanan dari Sirkuit Ancol ke Kemayoran. Pada era itu tidak lagi motor batangan yang ikut serta, tetapi mulai diisi dengan motor bebek pada zamannya.
Penggunaan Sirkuit Ancol pun berakhir pada 1992 karena area tersebut mulai dibangun dan berubah menjadi permukiman. Ajang balapan kemudian dipindah ke Sirkuit Sentul, sementara level balap jalanan tetap bertahan di Sirkuit Kemayoran.
"Setelah di Jakarta, balapan road race ini langsung berkembang serentak di Pulau Jawa. Di beberapa daerah di Pulau Jawa banyak yang mulai menggelar balap jalanan di sirkuit non-permanen," ucap Sigit.
Keterbatasan jumlah sirkuit permanen di Indonesia membuat balap jalanan lebih sering digelar di area parkir supermarket, mal, atau kompleks militer. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, IMI menetapkan kejuaraan road race level nasional hanya bisa diselenggarakan di sirkuit permanen.
Untuk level kejurda atau klub baru boleh diselenggarakan di sirkuit non-permanen.
Sirkuit permanen sendiri lebih lebar dengan tikungan yang lebih luas, sementara sirkuit non-permanen kerap terbentur dengan keterbatasan lahan.
 Suasana di salah satu road race yang digelar di Yon Armed, Purwakarta. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Beberapa penyelenggara menilai lebih nyaman mengadakan balap jalanan di kompleks militer seperti di Lapangan Brigif. Salah satu faktornya, pengurusan izin hanya satu pintu dan tidak ribet. Tak perlu membayar biaya parkir yang relatif besar serta tidak terkena pungli-pungli dari organisasi masyarakat sekitar.
"Kami mengadakan di kompleks militer ini lebih nyaman dan efektif karena perizinan hanya satu pintu, tidak seperti sirkuit lain. Dan untuk kompleks militer ini sangat dimudahkan sarana serta prasarananya," ujar Abu, Racing Committee U2noline.
Sirkuit Yon Armed 9 Purwakarta serta Brigif Kujang Cimahi adalah beberapa kompleks militer yang kerap dipakai untuk balap jalanan tingkat Kejurda. Sedangkan sirkuit permanen level nasional bisa menggunakan Sirkuit Bung Tomo Surabaya, Gery Mang Subang, Puncak Mario Sidrap, atau Manggul Lahat.
Tak ada gender dan batasan usia di atas lintasan. Pria, wanita, remaja dan bahkan bocah 10 tahun pun bisa mencoba peruntungan ikut serta memburu status sebagai penguasa
balapan. Tentu jika punya nyali dan mampu unjuk gigi.
Di atas paddock memang tak ada pembeda. Semua saling berinteraksi, sebelum akhirnya bersaing di atas aspal. Bahkan, tak jarang ada kelas yang mencampur kelompok anak dan dewasa, atau wanita dengan laki-laki. Semua tergantung kualitas sang pebalap.
Mereka mengaku jalan menuju ke trek balapan berawal dari hobi. Tujuannya pun berbeda-beda. Ada yang bermimpi jadi pebalap profesional di level yang lebih tinggi seperti MotoGP, tapi ada juga yang sekadar mencari rezeki demi sesuap nasi.
Maklum, bayaran sebagai pebalap road race tidak bisa diremehkan. Jika menyandang status pebalap berpengaman dan pernah meraih prestasi di level nasional, kontrak yang mereka terima bisa bernilai puluhan hingga ratusan juta. Sedangkan untuk pemula, ada yang dikontrak per ajang lalu mendapat honor seusai balapan.
 Rudi Hadinata, Astra Motor Racing Team Yogyakarta. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H) |
Rudi Hadinata, pemilik tim Astra Motor Racing Team, menyebut sodoran kontrak tidak melulu dinilai dari kilap prestasi. Meski tak juara, para pebalap yang menunjukkan kemajuan dari balapan ke balapan bisa mengamankan durasi kontrak yang lebih panjang.
"Bagi saya dalam balapan itu ada menang dan kalah. Yang penting progres si pebalap. Kalau ada kemajuan kami lanjutkan [kontraknya], kalau tidak ada ya dicari solusinya seperti apa. Semua ada tahapannya," ucap Rudi.
Layaknya pebalap, tim-tim road race di Indonesia ini juga terbagi ke dalam beberapa level. Ada yang independen bikinan sendiri, ada tim pabrikan, ada juga yang bukan berstatus pabrikan tetapi mendapat sokongan dari merek-merek otomotif kenamaan.
Mereka yang memiliki tim independen harus merogoh kantong dalam-dalam demi pembiayaan. Untuk tahap awal, misalnya, dana yang perlu disiapkan berkisar hingga Rp1-2 miliar. Hal itu terjadi di tim Hamosena milik Teddy Darmansyah.
Maklum, menyokong tim balap tidak hanya soal menyediakan satu atau dua motor saja. Minimal untuk satu kelas balap harus tersedia dua hingga empat motor. Belum lagi ditambah satu unit truk yang berisikan perlengkapan dan peralatan kebutuhan motor.
![Tulisan 1 Road Race [Embargo]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/15/6f61445d-1256-46e8-b3a2-d03fcc611ef0_169.jpeg?w=620) Suasana di salah satu balapan jalanan yang digelar di Yon Armed, Purwakarta. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Biaya balapan jalanan yang cukup mahal ini juga diakui mantan Ketua IMI Jawa Barat Rio Teguh Pribadi. Ia menyebut hal ini berbeda saat balapan hanya menggunakan motor 2 Tak yang satu motornya hanya membutuhkan biaya modifikasi minimal Rp500 ribu.
"Balapan saat ini sudah sangat mahal. Kalau sekarang ini satu motor balap bisa menghabiskan biaya hampir Rp80 jutaan, teknologinya sudah sangat maju," tutur Rio Teguh.
"Pembinaan pebalap zaman sekarang sudah lebih baik dibandingkan era sebelumnya. Visi profesionalisme saat ini sudah lebih bagus. Mungkin, balapan yang ada di Indonesia ini yang termaju."
Meski teknologi atau profesionalisme balapan diklaim maju, tapi di bagian lain ada yang masih jauh dari rasa nyaman baik bagi penonton dan juga pebalap.
Dalam beberapa penyelenggaraan, penonton kesulitan mendapatkan tempat untuk menikmati jalannya lomba dengan baik. Padahal, untuk menonton balapan jalanan, pengunjung harus mengeluarkan biaya Rp20 ribu hingga Rp50ribu untuk mendapatkan akses ke semua tempat, terutama untuk memangkas jarak dengan para pebalap.
Sayangnya, akses untuk penonton ini justru kerap menyulitkan. Tidak jarang pebalap yang hendak masuk ke dalam trek terganggu dengan pengunjung yang mondar-mandir.
 Suasana menonton road race di Sirkuit Yon Armed, Sabang, Purwakarta (2/2). (CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama) |
Tidak hanya itu, di sirkuit yang tidak memiliki tribune seperti di Yon Armed Purwakarta, penonton menyaksikan balapan dari rerumputan di pinggir sirkuit. Mereka bercengkrama satu sama lain. Terkadang kaki-kaki para penonton ini masuk ke dalam trek, yang tentu saja bisa mengganggu konsentrasi balap.
Tidak ada rasa takut dari para penonton tersebut meski bahaya tengah mengancam. Padahal, tanpa batas pengaman yang sesuai standar, bukan tidak mungkin penonton bisa tersambar pebalap yang tengah memacu motornya di atas trek.
Hal ini diakui oleh Razo Zulkarnaen, penonton asal Bekasi saat menyaksikan road race K-28 di Purwakarta, Februari lalu.
"Keamanan pengunjung terkadang kurang diperhatikan. Penonton sering ada di titik rawan untuk kena lemparan [benda dari trek] atau sambaran motor," ujarnya.
 Suasana salah satu road race di Indonesia. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H) |
Melihat potensi
road race di Indonesia, pemerintah melalui Kemenpora berharap bisa duduk bareng dengan IMI selaku pemangku kepentingan. Sesmenpora Gatot S. Dewa Broto juga meyakini road race sebagai ajang yang populer.
Dalam pengamatan Gatot, setiap kali ada balapan
road race, pengunjung yang datang selalu ramai. Begitu juga dengan sponsor yang banyak memajang merek mereka di pinggir lintasan.
Kendati begitu, satu yang diamati Kemenpora dalam penyelenggaraan road race, banyak penyelenggara yang tidak patuh terhadap aturan dari FIM (Federasi Internasional Olahraga Motor).
"Kami ingin duduk bareng, tapi tidak untuk membuat regulasi, melainkan bagaimana membenahi masalah ini dengan lebih baik: minimalkan korban, patuh dengan aturan FIM, lalu ada situasi kondusif dari pihak sponsor. Yang terakhir, menciptakan atlet yang berkualitas dari Road Race," kata Gatot.