Jakarta, CNN Indonesia -- Saya kali pertama berkenalan dengan sepak bola saat enam tahun, tepatnya saat menyaksikan
Piala Dunia 1982. Saya tidak ingat pertandingannya tetapi waktu itu yang saya tahu saya menonton
Diego Armando Maradona.
Berawal dari sana, saya tertarik jadi pemain bola. Namanya anak-anak, mimpi saya waktu itu tidak muluk. Saya hanya ingin ditonton orang di televisi dan naik pesawat gratis. Hanya dua itu mimpi saya.
Ayah saya PNS sehingga kami sering berpindah tempat tinggal. Baru saat pindah rumah ke Kalinegoro, saya rutin main bola karena kebetulan di sana ada lapangan yang bisa digunakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hampir setiap hari saya main bola sampai akhirnya saat masuk kelas 1 Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Kota Magelang orang tua melarang saya main bola.
Orang tua saya lebih senang saya jadi atlet bulutangkis. Pada zaman itu di daerah saya tidak ada klub bola yang berprestasi. Pilihannya hanya jadi atlet bulutangkis atau tentara.
Dulu ada nama Liem Swie King, saya lantas dipaksa masuk sekolah bulutangkis. Tetapi entah kebetulan atau memang sudah jalan saya jadi pemain bola, waktu mau daftar, sekolah bulutangkis pada hari itu malah tutup.
Saat perjalanan pulang naik angkot ke rumah, saya tidak sengaja melihat sebuah spanduk pengumuman. Tulisannya masih terekam jelas dalam memori saya 'Dibuka sekolah sepak bola di Magelang' dan itu SSB pertama di daerah saya.
 Kurniawan mengaku saat masih kanak-kanak diarahkan untuk jadi pemain bulutangkis. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
Saya menangis minta turun dari angkot agar bisa masuk SSB di sana. Kedua orang tua saya mengalah dan saya akhirnya dimasukkan ke SSB, meski terpaksa karena sebenarnya orang tua tidak mendukung.
Di SSB saya juga tidak lantas main sebagai penyerang.
Awalnya saya malah main sebagai libero karena waktu itu mungkin kemampuan saya paling lumayan dibandingkan teman yang lain.
Jelang sebuah turnamen SSB, ada anak yang masuk sebagai stopper dan saya dipindah ke gelandang. Posisi itu pula yang terus saya tempati selama bermain di SSB.
Tak lama masuk SSB, saya mengukir prestasi dengan jadi juara dalam sebuah kejuaraan. Nama saya mulai masuk koran lokal di Magelang dan orang tua mulai melihat potensi besar saya. Waktu itu umur saya kalau tidak salah 13 tahun.
Begitu naik kelas tiga SMP saya dapat panggilan seleksi di Diklat Salatiga, sekitar tahun 1989. Saya sangat antusias karena sudah sejak lama saya bermimpi jadi pesepakbola profesional. Namun, kepala sekolah saya di SMP Negeri 7 Magelang melarang untuk pindah ke Salatiga.
 Kurniawan Dwi Yulianto memiliki prestasi akademis yang bagus saat masih duduk di bangku sekolah. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Beliau ingin saya masuk Sekolah Menengah Atas Taruna Nusantara karena prestasi akademis saya cukup bagus. Saya menolak permintaan beliau karena saya ingin mengejar mimpi saya.
Saat berada di Diklat Salatiga, saya masih menempati posisi semasa saya di SSB sebagai gelandang selama satu tahun. Setelah itu saya dipindahkan ke posisi sayap kiri.
Posisi saya baru berubah jadi penyerang saat angkatan di atas saya lulus dari Diklat Salatiga. Ketika itu pelatih saya Pak John Osok dan Pak Hariyadi melihat potensi yang saya miliki. Sejak itu saya terus jadi penyerang dan dipercaya sebagai kapten tim.
Lucunya saat masuk Diklat Salatiga keinginan saya sudah berubah.
Target saya di Salatiga itu bukan lagi jadi pemain bola. Saya ingin kuliah, masuk Universitas Gadjah Mada.
Peluang kuliah UGM terbuka karena banyak lulusan Diklat Salatiga yang dapat beasiswa masuk ke sana. Saya pikir dengan masuk UGM bisa meringankan beban orang tua karena tidak harus keluar biaya untuk kuliah. Namun, lagi-lagi keinginan saya berubah setelah masuk Primavera.
Proses saya bisa terpilih masuk Primavera juga cukup unik. Waktu itu saya belum dikenal oleh siapapun. Berbeda dengan pemain lulusan kompetisi Soeratin seperti Bima Sakti, Indriyanto Nugroho, dan pemain muda top yang lain.
 Kurniawan Dwi Yulianto sudah menunjukkan bakat besarnya sejak masih berusia muda. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Seleksi hari pertama, pagi harinya kami semua ikut tes fisik dan baru ada game internal sore harinya. Saat itu pemain seperti Bima Sakti, Indriyanto gabung dalam satu tim. Sedangkan saya ada di tim lawan dan lebih dulu duduk di bangku cadangan.
Saya baru masuk di babak kedua lawan Bima Sakti dan kawan-kawan, namun langsung bisa mencetak empat gol dan tim kami menang 4-0. Hari itu juga saya dipanggil Om Danur [Danurwindo, pelatih PSSI Primavera].
Om Danur bertanya, "Kamu anak mana?", dan saya bilang anak Diklat Ragunan dari Salatiga.
Setelah itu, om Danur bertanya apakah saya merokok dan saya jawab dengan tegas 'Tidak'.
Pernyataan berikutnya dari Om Danur bikin saya kaget. Dia bilang "Jangan sampai cedera kamu. Kamu pemain pertama yang saya panggil".
Jadi baru hari pertama seleksi saya sudah masuk tim.
Saya kemudian berangkat ke Italia bersama tim Primavera untuk menimba ilmu di sana pada 1993.
Dari segudang pengalaman di sana yang paling berkesan saat masa awal beruji coba dengan Sampdoria Barretti. Kami dan Sampdoria Baretti sempat makan siang bareng dan ada menu steak di sana. Para pemain PSSI Primavera dengan lahap makan steak sementara pemain lawan yang usianya di bawah kami sama sekali tidak memakannya.
Saat saya tanya, mereka bilang terlalu dekat makan steak jelang pertandingan. Usia para pemain ini baru 15 tahun, tetapi tanpa diingatkan mereka sudah tahu harus menjaga pola makan yang benar agar bisa jadi pemain profesional.
Saya lantas ingat bahwa saya sudah mengorbankan banyak hal untuk sampai di Italia. Saya sudah sejak kelas tiga SMP terpisah dari orang tua dan tinggal di asrama. Oleh karena itu, saya harus dapatkan sesuatu di sepak bola. Pikiran saya sederhana waktu itu minimal sepak bola ini bisa untuk menyambung hidup.
Dua tahun berlatih di Italia, saya memutuskan untuk bermain di Swiss bersama FC Luzern. Persaingan di sana lebih ketat karena saya dianggap sebagai pemain asing. Saingan saya waktu itu penyerang dari Zimbabwe dan juga pemain asing dari Bulgaria. Meski sebentar saya merasa beruntung bisa bermain di sana.
Saat bermain di FC Luzern, saya kenal banyak orang-orang baru karena saya datang seorang diri. Saya pun mulai sering keluar malam dan pergi ke kelab malam. Bukan hanya dengan mahasiswa Indonesia yang ada di sana tetapi juga dengan pemain-pemain Luzern.
Kami minum-minum tetapi bagi pemain Luzern hal itu tidak aneh karena mereka sudah terbiasa. Baru saat saya memutuskan berkarier di Indonesia apa yang saya lakukan di sana jadi sesuatu yang luar biasa. Saya bahkan sampai mengkonsumsi obat-obatan dan itu salah satu kebodohan terbesar dalam karier saya.
Hampir setiap pertandingan PSM, di hampir setiap stadion ada teriakan-teriakan suporter yang meneror saya. Teriakan-teriakan yang identik dengan obatan-obatan semuanya diarahkan ke saya.
Namun saat itu saya tidak pernah sekalipun menolak bermain meski suporter lawan menyudutkan saya. Sejak dulu saya salah satu pesepakbola yang paling suka dengan tekanan, biarpun itu bermain di kandang lawan dan suporter lawan meneror saya.
Saya malah lebih suka dan lebih bersemangat diperlakukan seperti itu.
Masa-masa kelam saya itu berlangsung sekitar tiga sampai empat tahun, usia saya waktu itu seingat saya 23.
 Kurniawan Dwi Yulianto sempat akrab dengan obat-obatan terlarang tetapi bisa bangkit kembali . (REUTERS) |
Masa yang benar-benar berat dan saya hampir depresi meski sebenarnya orang-orang sudah menasihati saya. Tapi, saya cuek karena saya pikir risiko ini yang saya tanggung sendiri.
Saya ingat waktu di PSM Makassar, Pak Nurdin Halid [manajer PSM] yang ingin menyelamatkan karier sepak bola saya. Saya makin terpuruk karena dicoret dari Timnas Indonesia dan kemudian gagal tes doping.
Bahkan suatu ketika, PSM beruji coba dengan Timnas Indonesia dan saya sangat kecewa karena seharusnya bisa masuk tim Merah Putih. Usai pertandingan, saya hanya diam di pojok ruang ganti dan kemudian didatangi Pak Syamsudin Umar [pelatih PSM].
Beliau khawatir kalau saya depresi dan mengganggu kinerja saya di PSM. Hampir tiap malam beliau mengajak saya keluar untuk sekadar makan malam dan berbincang.
Namun saya bilang ke beliau bahwa saya baik-baik saja karena saya selalu ingat pesan ibu saya. Di masa sulit saya itu, ibu saya bilang: "Enggak usah diladenin. Tutup mulut mereka dengan prestasi."
 Kurniawan Dwi Yulianto merupakan salah satu pemain terbaik yang pernah berseragam Timnas Indonesia. (REUTERS) |
Saya pun coba berpikir lebih jernih, melihat perjalanan karier sejauh ini, dan merenungkan soal apa yang saya cari di sepak bola. Satu yang pasti saya tidak ingin menghancurkan karier dengan terus berkutat dengan masalah yang saya alami.
Pada akhirnya, alhamdulillah saya bisa keluar dari masa kelam tersebut. Saya bisa juara bersama PSM [Liga Indonesia 2000] dan kembali dipanggil Timnas Indonesia.
Sampai pada akhirnya tidak ada lagi teriakan yang menyudutkan saya lagi. Sepertinya Tuhan masih sayang dengan saya sehingga saya bisa melewati masa sulit tersebut.
Buat saya pribadi juara bersama PSM tidak akan bisa dilupakan, sama halnya dengan gelar juara yang saya raih bersama Persebaya Surabaya [2004]. Momen waktu mencetak gol bersama Luzern lawan FC Basel juga akan selalu saya kenang karena saya orang Indonesia pertama yang mencetak gol di kompetisi resmi Eropa.
Jelek-jelek begini kalau dicek datanya itu ada nama saya..he..he..he..
Saya juga masih ingat dengan baik momen sebelum gol itu terjadi saat pelatih bilang saya akan main di pertandingan sehari sebelumnya. Gol itu berawal dari sepak pojok di tiang dekat dan saya sundul bola ke belakang tanpa melihat. Kami pun mengalahkan Basel 2-1.
Saya juga merasa gol ke Malaysia di semifinal Piala Tiger 2004 paling berkesan selama memperkuat timnas Indonesia. Kami datang ke sana dengan situasi kalah 1-2 di leg pertama dan tertinggal lebih dulu 0-1 di leg kedua.
 Kurniawan Dwi Yulianto merasa tidak pantas disebut pemain legendaris. (AFP PHOTO/Pornchai KITTIWONGSAKUL) |
Saya mencetak gol penyama kedudukan jadi 1-1 dan akhirnya kami lolos ke final karena menang 4-1. Setelah turnamen, kontrak saya di klub juga naik..ha..ha..ha..
Kendati demikian saya tetap merasa sebagai generasi gagal di Timnas Indonesia karena faktanya saya tidak pernah bisa mengantarkan Indonesia juara. Catatan saya hanya dua kali tampil di final Piala Tiger dan kalah adu penalti dari Thailand di SEA Games 1997.
Kalau ada yang bilang saya legenda, saya kira buat saya pribadi itu tidak tepat. Legenda itu untuk pemain yang sudah mendapatkan semuanya, sementara saya tidak begitu.
Jika bicara ukuran sukses untuk diri saya sendiri saya bisa bilang lebih dari sukses karena saya sudah naik pesawat gratis, bisa beli rumah, mobil, dan yang lainnya. Jauh melebihi mimpi masa kecil saya saat mengenal sepak bola di usia enam tahun.
Tetapi bicara prestasi tim hanya dua kali juara liga dan di Timnas Indonesia tidak satupun gelar bergengsi saya raih.
Jadi saya jauh dari kata legenda. Buat saya seperti itu. Terkadang orang bilang saya legenda, jujur buat saya tidak nyaman. Legenda itu buat saya lebih pas diberikan ke atlet seperti Ricky Subagja, Susy Susanti. Mereka itu yang sudah berbuat banyak.
Jangan juga labeli saya sebagai striker top Indonesia di masanya. Cukup saja sebut saya salah satu pemain yang pernah membela Timnas Indonesia.