Saat bermain di FC Luzern, saya kenal banyak orang-orang baru karena saya datang seorang diri. Saya pun mulai sering keluar malam dan pergi ke kelab malam. Bukan hanya dengan mahasiswa Indonesia yang ada di sana tetapi juga dengan pemain-pemain Luzern.
Kami minum-minum tetapi bagi pemain Luzern hal itu tidak aneh karena mereka sudah terbiasa. Baru saat saya memutuskan berkarier di Indonesia apa yang saya lakukan di sana jadi sesuatu yang luar biasa. Saya bahkan sampai mengkonsumsi obat-obatan dan itu salah satu kebodohan terbesar dalam karier saya.
Hampir setiap pertandingan PSM, di hampir setiap stadion ada teriakan-teriakan suporter yang meneror saya. Teriakan-teriakan yang identik dengan obatan-obatan semuanya diarahkan ke saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun saat itu saya tidak pernah sekalipun menolak bermain meski suporter lawan menyudutkan saya. Sejak dulu saya salah satu pesepakbola yang paling suka dengan tekanan, biarpun itu bermain di kandang lawan dan suporter lawan meneror saya.
Saya malah lebih suka dan lebih bersemangat diperlakukan seperti itu.
Masa-masa kelam saya itu berlangsung sekitar tiga sampai empat tahun, usia saya waktu itu seingat saya 23.
 Kurniawan Dwi Yulianto sempat akrab dengan obat-obatan terlarang tetapi bisa bangkit kembali . (REUTERS) |
Masa yang benar-benar berat dan saya hampir depresi meski sebenarnya orang-orang sudah menasihati saya. Tapi, saya cuek karena saya pikir risiko ini yang saya tanggung sendiri.
Saya ingat waktu di PSM Makassar, Pak Nurdin Halid [manajer PSM] yang ingin menyelamatkan karier sepak bola saya. Saya makin terpuruk karena dicoret dari Timnas Indonesia dan kemudian gagal tes doping.
Bahkan suatu ketika, PSM beruji coba dengan Timnas Indonesia dan saya sangat kecewa karena seharusnya bisa masuk tim Merah Putih. Usai pertandingan, saya hanya diam di pojok ruang ganti dan kemudian didatangi Pak Syamsudin Umar [pelatih PSM].
Beliau khawatir kalau saya depresi dan mengganggu kinerja saya di PSM. Hampir tiap malam beliau mengajak saya keluar untuk sekadar makan malam dan berbincang.
Namun saya bilang ke beliau bahwa saya baik-baik saja karena saya selalu ingat pesan ibu saya. Di masa sulit saya itu, ibu saya bilang: "Enggak usah diladenin. Tutup mulut mereka dengan prestasi."
 Kurniawan Dwi Yulianto merupakan salah satu pemain terbaik yang pernah berseragam Timnas Indonesia. (REUTERS) |
Saya pun coba berpikir lebih jernih, melihat perjalanan karier sejauh ini, dan merenungkan soal apa yang saya cari di sepak bola. Satu yang pasti saya tidak ingin menghancurkan karier dengan terus berkutat dengan masalah yang saya alami.
Pada akhirnya, alhamdulillah saya bisa keluar dari masa kelam tersebut. Saya bisa juara bersama PSM [Liga Indonesia 2000] dan kembali dipanggil Timnas Indonesia.
Sampai pada akhirnya tidak ada lagi teriakan yang menyudutkan saya lagi. Sepertinya Tuhan masih sayang dengan saya sehingga saya bisa melewati masa sulit tersebut.
Buat saya pribadi juara bersama PSM tidak akan bisa dilupakan, sama halnya dengan gelar juara yang saya raih bersama Persebaya Surabaya [2004]. Momen waktu mencetak gol bersama Luzern lawan FC Basel juga akan selalu saya kenang karena saya orang Indonesia pertama yang mencetak gol di kompetisi resmi Eropa.
Jelek-jelek begini kalau dicek datanya itu ada nama saya..he..he..he..
Saya juga masih ingat dengan baik momen sebelum gol itu terjadi saat pelatih bilang saya akan main di pertandingan sehari sebelumnya. Gol itu berawal dari sepak pojok di tiang dekat dan saya sundul bola ke belakang tanpa melihat. Kami pun mengalahkan Basel 2-1.
Saya juga merasa gol ke Malaysia di semifinal Piala Tiger 2004 paling berkesan selama memperkuat timnas Indonesia. Kami datang ke sana dengan situasi kalah 1-2 di leg pertama dan tertinggal lebih dulu 0-1 di leg kedua.
 Kurniawan Dwi Yulianto merasa tidak pantas disebut pemain legendaris. (AFP PHOTO/Pornchai KITTIWONGSAKUL) |
Saya mencetak gol penyama kedudukan jadi 1-1 dan akhirnya kami lolos ke final karena menang 4-1. Setelah turnamen, kontrak saya di klub juga naik..ha..ha..ha..
Kendati demikian saya tetap merasa sebagai generasi gagal di Timnas Indonesia karena faktanya saya tidak pernah bisa mengantarkan Indonesia juara. Catatan saya hanya dua kali tampil di final Piala Tiger dan kalah adu penalti dari Thailand di SEA Games 1997.
Kalau ada yang bilang saya legenda, saya kira buat saya pribadi itu tidak tepat. Legenda itu untuk pemain yang sudah mendapatkan semuanya, sementara saya tidak begitu.
Jika bicara ukuran sukses untuk diri saya sendiri saya bisa bilang lebih dari sukses karena saya sudah naik pesawat gratis, bisa beli rumah, mobil, dan yang lainnya. Jauh melebihi mimpi masa kecil saya saat mengenal sepak bola di usia enam tahun.
Tetapi bicara prestasi tim hanya dua kali juara liga dan di Timnas Indonesia tidak satupun gelar bergengsi saya raih.
Jadi saya jauh dari kata legenda. Buat saya seperti itu. Terkadang orang bilang saya legenda, jujur buat saya tidak nyaman. Legenda itu buat saya lebih pas diberikan ke atlet seperti Ricky Subagja, Susy Susanti. Mereka itu yang sudah berbuat banyak.
Jangan juga labeli saya sebagai striker top Indonesia di masanya. Cukup saja sebut saya salah satu pemain yang pernah membela Timnas Indonesia.
(bac)