Jakarta, CNN Indonesia -- Saya lahir 27 Januari 1971 di Bandung, anak keenam dari enam bersaudara. Bapak saya olahragawan, penjaga gawang
Persib Bandung, Juju Sukadar. Bisa dibilang memang keluarga olahraga.
Ibu saya tidak terlalu mendukung saya sepak bola. Keinginan untuk main sepak bola tidak didukung karena olahraga yang keras, banyak kontak fisik, bolanya zaman itu keras, sepatunya keras. Jadi hal itu yang membuat saya tidak didukung.
Keluarga saya bukan keluarga yang berlebih, tetapi juga bukan keluarga yang tidak mampu. Hanya sedang-sedang saja. Ayah saya meninggal saat saya kelas 2 SD karena sakit. Dengan enam bersaudara, tentu perjuangan keluarga saya tidak mudah. Otomatis karena sudah tidak ada Bapak, Ibu saya yang mengurusi anak-anak sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibu menunjukkan perjuangan yang luar biasa. Saat SD, Ibu berjualan es mambo, buka salon, jualan ke sana sini. Saya yang ikut mengantarkan es tersebut ke warung-warung dan mengambilnya saat sore.
Pada Porseni kelas 6 SD, saya berhasil jadi juara badminton, kemudian mewakili Jawa Barat untuk tingkat nasional yang kompetisinya di Ragunan. Saya dapat tiga emas di level nasional, tunggal juara, ganda putra juara, dan beregu juara.
 Ricky Soebagdja tidak mendapat dukungan untuk menjadi pesepakbola. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Masuk SMP, saya bisa masuk SMP 2 Bandung yang merupakan SMP favorit karena jalur prestasi. Tetapi karena sekolah masuk siang, saya bingung dengan latihan saya yang bakal terganggu. Dulu belum ada latihan pagi di klub-klub, sore dan malam saja.
Sampai akhirnya kelas dua SMP, ada panggilan dari pusat bahwa saya terpilih mewakili Indonesia di Kejuaraan Pelajar Asia di Hong Kong. Dari Jawa Barat ada nama Susy Susanti, Lilik Sudarwati.
Ini pertama kali saya naik pesawat ke luar negeri. Saya tak tahu apa yang mesti dipersiapkan. Akhirnya Pak Nara Sudjana, Pak Ueng Kohar, dan Pak Iie Sumirat membantu memberi tahu saya apa yang harus disiapkan. Saya bahkan dipinjami tas besar.
Saya berangkat ke Hong Kong deg-degan karena belum tahu urusan paspor segala macam. Tiba di Hong Kong, kami akhirnya bisa juara. Saya agak lupa detailnya, tetapi sepertinya kami tidak mengalami kesulitan untuk bisa jadi juara.
Di Pusdiklat Ardath, saya ikut berbagai kompetisi di berbagai daerah. Tetapi saya tidak ikut dalam beregu karena itu jatah pemain-pemain senior. Sampai akhirnya datang panggilan dari Pelatnas PBSI.
Panggilan Saat HajatanAda hal lucu dalam pemanggilan saya ke Pelatnas Cipayung di 1986. Panggilan datang saat sedang ada acara pernikahan kakak saya di rumah. Jadi saat itu saya pakai baju adat dan harus segera buru-buru ke Jakarta.
Saya pamitan dengan buru-buru ke Ibu saya. Saat itu saya baru saja kelas tiga SMP. Jadi saya tidak lulus sekolah di Bandung karena ada panggilan pelatnas. Bagi saya panggilan pelatnas itu jalan mewujudkan cita-cita, jadi atlet nasional, jadi saya harus segera bergegas ke Jakarta.
Akhirnya saya menjadi anggota pelatnas PBSI yang saat itu masih di Senayan. Saat itu di pelatnas masih ada pemain-pemain senior seperti Liem Swie King.
Masa-masa awal di pelatnas saya latihan pagi lalu pergi naik angkutan umum bersama teman-teman lain yang masih sekolah di Ragunan. Jadi pemain muda di pelatnas tidak mudah. Kami punya senior-senior yang sudah punya nama besar. Bila berjalan melewati mes pemain senior pun kami terus berharap tidak bertemu. Seram rasanya bertemu senior. Saat itu jarak antara pemain senior dengan junior sangat terasa.
 Ricky Soebagdja mulai masuk Pelatnas PBSI pada 1986. (AFP PHOTO/TOSHIFUMI KITAMURA) |
Sebagai pemain junior jadwal turnamen juga tidak mudah. Bayangkan saja, setahun penuh kami latihan, turnamen yang kami ikuti cuma dua, Indonesia Open karena tuan rumah dan Kejurnas. Jangan berharap bisa turnamen besar macam All England, masih kejauhan. Pernah turnamen lain baru mau dikirim, eh tidak jadi.
Akhirnya saya bilang ke teman-teman pemain muda:'Kalau kita sudah duduk di pesawat, baru itu kita sudah pasti berangkat."
Masa-masa awal pelatnas memang berat. Latihan bisa sampai muntah-muntah, tapi pertandingan hanya dua kali. Saya capek. Bosan. Tetapi saya terus ingat saya harus bertahan, tidak degradasi dan tidak dikeluarkan. Pemikiran saya bila saya mendapat kesempatan bertanding, saya harus pergunakan sebaik mungkin karena kesempatan bertanding itu memang sangat susah.
Setelah momen lepas dari kategori junior, saya mulai fokus di nomor ganda, awalnya masih ganda putra dan ganda campuran sesuai instruksi pelatih.
Sejak masuk usia senior, saya berganti-ganti pasangan. Salah satu pasangan yang menurut saya sudah mulai pas adalah Richard Mainaky. Namun kabar mengejutkan justru saya terima ketika saya dan Richard baru saja juara di Polandia tahun 1991.
Begitu pulang ke Jakarta, saya dikabari bahwa saya akan dipisah dengan Richard dan bakal dipasangkan dengan
Rexy Mainaky. Saya menolak meskipun tidak bisa sepenuhnya menolak.
Sebagai pemain tentu saya tak bisa menolak namun saya coba menyampaikan ke pelatih, Christian Hadinata dan Atik Djauhari. Saya berkata "Saya dan Richard sudah lumayan, sudah pernah menang, saya ingin masuk Olimpiade. Kalau sama Rexy, berarti saya harus dari nol lagi. Tetapi apapun keputusan pelatih, saya bakal ikut."
Koh Chris bilang usia saya dengan Richard sudah beda cukup jauh, kalau Richard pensiun saya tidak lagi punya pasangan. Tetapi bila sama Rexy usia saya tidak terlalu jauh. Selain itu Koh Chris minta saya untuk tidak fokus ke Olimpiade Barcelona 1992, tapi Olimpiade 1996.
Meski tidak ditargetkan di Olimpiade 1992, saya dan Rexy terus berusaha mengumpulkan poin untuk lolos ke Barcelona. Saya akhirnya lolos ke Olimpiade dan kalah di babak perempat final, lagi-lagi di tangan Park Joo Bong/Kim Moon Soo yang mengalahkan saya di Kejuaraan Dunia 1991.
Setahun berselang kami makin matang. Kami jadi pemain nomor satu dunia dan memenangkan banyak kejuaraan, termasuk Indonesia Open.
 Ricky Soebagdja meraih medali emas Olimpiade 1996 bersama Rexy Mainaky. (AFP PHOTO/TOSHIFUMI KITAMURA) |
Kami sangat percaya diri menuju Kejuaraan Dunia, tetapi Rexy sakit sebelum berangkat ke kejuaraan. Dulu, Kejuaraan Dunia dan Piala Sudirman digelar bersamaan. Jadi ketika Rexy sakit, masih ada harapan dia bisa menyusul setelah Piala Sudirman selesai dan kejuaraan perorangan dimulai.
Tetapi di tengah Piala Sudirman, saya dapat kabar Rexy tidak mungkin menyusul karena ia tidak bisa pulih meski saya tahu Rexy sangat ngotot untuk berangkat ke Birmingham. Saya sudah sempat pasrah tidak bisa bermain di Kejuaraan Dunia.
Di saat yang bersamaan, Bambang Suprianto juga jatuh sakit begitu tiba di Inggris. Ia seminggu di rumah sakit dan langsung dipulangkan ke Indonesia.
Akhirnya saya dipasangkan dengan Koh Gunawan yang merupakan pasangan Bambang. Saya tidak tahu persis sistemnya, tetapi saat itu saya dan Gunawan bisa langsung dipasangkan dan bermain di Kejuaraan Dunia.
Berpasangan dengan pemain senior, saya hanya berusaha tidak salah. Saya takut dimarahi sama Gunawan. Meski saya sudah nomor satu dunia, Gunawan sudah juara di banyak turnamen bersama Eddy Hartono dan dia adalah senior saya.
Akhirnya saya berusaha mati-matian untuk mengejar shuttlecock di tiap pertandingan. Kami bisa mengatasi tiap lawan dan sungguh tidak menyangka bisa jadi juara.
Sungguh saya sadar posisi saya serba sulit saat itu. Bila kalah, tentu saya yang disalahkan dan bila menang, maka pasti karena disebut karena Gunawan.
Selain kenangan juara dunia 1993, ada satu lagi momen kenangan bersama Gunawan yang sulit dilupakan. Saat itu final All England adalah All Indonesian Final. Ricky/Rexy menghadapi Bambang/Gunawan.
Saat saya dan Rexy duduk bersama Koh Chris dan Pak Atiek, Gunawan datang dan bilang kalau ada otot kakinya tertarik dan ada juga robek di bagian kaki satu lagi. Mendengar hal itu, dalam hati saya berucap 'Wah, bakalan saya incar di pertandingan nanti.'
[Gambas:Video CNN]Saat di lapangan Gunawan main dengan pelindung di dua kakinya. Kami langsung incar Gunawan sepanjang pertandingan, ternyata tidak mati-mati. Kami akhirnya kalah dan kami sadar bahwa kami dibohongi. Itulah yang namanya psy war yang berhasil.
Momen Emas Ricky/RexyTahun 1994-1996 merupakan tahun penuh prestasi bagi kami. Memang ada momen saat kami kalah namun bisa langsung naik di turnamen berikutnya. Misal seperti di tahun 1994 sempat turun jadi ganda kedua di Piala Thomas karena kalah peringkat dari Bambang/Gunawan, tetapi tak lama bisa kembali nomor satu.
Di Piala Thomas 1994, kami tak punya lawan sepadan di ganda kedua. Baik dari Korea Selatan atau negara lain, kami tidak ada lawan tangguh. Skuat kami di Piala Thomas 1994 saat itu memang kuat sekali.
Saat merebut juara dunia 1995, saya rasa kami juga tak punya lawan. Semua kalah jauh di bawah kami, termasuk saat kami menang di partai final lawan Jon Holst-Christensen/Thomas Lund.
Jujur saat itu saya merasa pemberitaan nomor ganda seperti dinomorduakan. Bila kami menang, kami hanya akan ada di bagian kecil dalam porsi berita. Misal di All England, Susy Susanti, lalu tunggal putra, kemudian di bawahnya hanya ada paragraf "diikuti Ricky/Rexy". Tetapi jika kalah, Ricky/Rexy tumbang, Ricky/Rexy gagal, itu bakal ada di bagian atas berita.
 Ricky Soebagdja mengaku tidak terlalu akrab dengan Rexy Mainaky. (AFP PHOTO/Robyn BECK) |
Setelah jadi juara dunia, latihan jelang Olimpiade 1996 lebih gila. Pagi, siang, sore, total tiga kali latihan. Saya tidak merasa punya beban sebagai pemain nomor satu dunia. Bagi saya, tanpa diberi target dan disuruh, saya juga ingin menang. Jadi beban seperti itu tidak saya rasakan.
Namun memang misalnya kami jadi juara di Jepang, di ruang ganti kami sering berkata "Coba saja ini Olimpiade". Kami memang terus berjuang menuju Olimpiade dan hal itu tidak boleh lepas.
Meski sangat yakin dalam perjalanan menuju Olimpiade, rasa takut gagal tetap muncul. Begitu bisa masuk final, saya tetap main dengan tegang. Malam sebelum final saya juga tak bisa tidur nyenyak. Ada rasa khawatir. Saya tak tahu bagaimana perasaan Rexy saat itu karena kami tidak satu kamar.
Saking tegangnya, saya hanya berkata "siap" dan "tahan" ke Rexy saat permainan berlangsung. Saya rasa saat itu permainan Ricky/Rexy sungguh 'gila'. Saya bukan takut karena beban PBSI, tetapi saya takut kesempatan ini lepas. Rasa takut itu yang mendorong permainan luar biasa.
Setelah memenangkan emas Olimpiade, perasaan saya sangat lega. Sudah ‘plong’ rasanya. Jujur, saya tak berpikir soal bonus dan lainnya. Saya hanya berpikir ini gelar tertinggi di olahraga. Kami sudah berhasil membuat bendera Merah-Putih berkibar dan lagu Indonesia Raya berkumandang.
Tak Akrab Bukan Berarti Tak KompakMeski duet Ricky/Rexy terlihat kompak di lapangan, saya akui di luar lapangan kami tidak sekompak di lapangan. Namun kami berdua memegang komitmen sejak awal berpasangan. Saya percaya Rexy, Rexy percaya saya.
Hubungan kami di luar lapangan biasa-biasa saja. Sepertinya memang tidak bisa akrab, baik dari segi hobi, segi musik. Misal dari segi makan, Rexy orang yang tertib sedangkan saya termasuk kacau. Rexy disiplin dalam waktu tidur, saya sering telat tidur. Memang sulit akrab di luar lapangan.
 Ricky Soebagdja bersyukur mampu meraih banyak sukses di badminton. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat) |
Tetapi ketika latihan, komitmen kami sama. Di dalam lapangan, komunikasi kami juga lancar.
Kami tidak satu kamar dan jarang sekali sekamar saat pergi mengikuti turnamen. Pernah kami satu kamar dan kemudian kebetulan kami kalah di turnamen itu, yang terjadi malah kami jadi saling diam dan tegur sapa. Saya sampai menunggu Rexy tidur sebelum akhirnya masuk kamar.
Saya diam sebetulnya bukan karena marah, justru saya takut Rexy marah. Saat itu pelatih sampai harus turun tangan. Kami berdua dipanggil gantian. Setelah saling mendengar, ternyata kekhawatiran saya berlebihan. Rexy juga ternyata tidak enak mau berbicara dengan saya sebab alasan yang sama.
Meski tidak akrab, kami juga tak pernah terlibat dalam masalah yang serius. Tidak ada pertengkaran fatal dalam perjalanan kami. Karena itu kami bisa saling mengerti satu sama lain di lapangan.
Saya bersyukur menjalani karier sebagai pebulutangkis. Saya bisa memberikan sesuatu kepada Indonesia lewat olahraga ini.
Tidak ada sedikit pun saya menyesal. Saya berterima kasih dibesarkan di dunia badminton dan bersyukur karena saya bisa mendapatkan kesempatan, sesuatu yang tidak semua orang bisa mendapatkannya.
Saya berterima kasih kepada kedua orang tua dan keluarga besar atas dukungan luar biasa yang saya dapatkan, pelatih, dan semua pihak yang membentuk saya hingga memiliki karier sebagai atlet badminton.