Jakarta, CNN Indonesia --
Ole Gunnar Solskjaer pernah lekat dengan julukan 'The Baby Face Assassin' saat aktif bermain di
Manchester United. Kini, sang pembunuh berwajah bayi itu justru yang membuat MU mati suri.
Wajah Solskjaer yang imut namun dibekali dengan naluri membunuh yang sangat mengerikan di gawang lawan yang kemudian membuat lahirnya julukan tersebut. Naluri gol Solskjaer tetap menakutkan meski ia lebih akrab dengan bangku cadangan.
Solskjaer adalah salah satu pemain kesayangan suporter Manchester United. Karena besarnya cinta dari suporter, Solskjaer akhirnya pensiun di Manchester United pada tahun 2007 setelah bermain selama 11 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu alasan Solskjaer begitu dicintai oleh suporter MU tentu saja karena gol kemenangan atas Bayern Munchen yang ia cetak di masa injury time pada final Liga Champions 1999. Pada musim itu, MU berhasil meraih treble.
 Manchester United belum juga bangkit di era Ole Gunnar Solskjaer. (Martin Rickett/PA via AP) |
Status sebagai kesayangan suporter MU sejatinya dipertaruhkan di meja ketika Solskjaer menerima tawaran sebagai caretaker MU.
Saat Solskjaer setuju memegang MU, kondisi MU juga dalam kondisi memprihatinkan. Ruang ganti tengah terpecah belah, pemain-pemain kunci sempat bertikai dengan Jose Mourinho, dan hasil yang didapat tim sedang tidak bagus.
Memang, begitu Solskjaer memegang MU, perubahan besar terjadi. MU kembali bergairah dan meraih hasil positif. MU meraih 14 kemenangan, dua hasil imbang, dan tiga kekalahan. Catatan yang luar biasa untuk tim yang berada dalam kondisi tidak bagus.
Kehebatan Solskjaer sebagai caretaker ini yang kemudian justru jadi racun mematikan bagi perjalanan Solskjaer ke depan. MU langsung percaya dan memberikan kontrak permanen pada Solskjaer tanpa menunggu musim berakhir.
Keberhasilan Solskjaer jadi manajer MU melangkahi rekan-rekan sejawatnya saat ia aktif dulu. Dari sekian banyak nama mantan pemain, seperti Roy Keane yang merupakan mantan kapten dan Ryan Giggs yang punya durasi karier lebih lama, justru Solskjaer yang dipilih.
Beban yang dirasakan Solskjaer tentu jauh berbeda saat ia jadi manajer resmi. Dengan kontrak jangka panjang, nasib MU benar-benar ada di tangannya.
 Manchester United masih belum bisa masuk ke zona Liga Champions. (Martin Rickett/PA via AP) |
Beban berat itu terbukti langsung berpengaruh. MU babak belur di akhir musim dan harus puas hanya duduk di posisi keenam pada akhir musim.
Harapan Rendah Tidak KesampaianSolskjaer yang jadi arsitek MU bersiap menjalani musim penuh pertamanya. MU kehilangan Romelu Lukaku, Alexis Sanchez, Ander Herrera, Antonio Valencia, dan Matteo Darmian.
Pengganti yang masuk adalah Daniel James, Aaron Wan-Bissaka, dan Harry Maguire.
Meski titik lemah MU adalah lini belakang, bukan berarti langkah MU di bursa transfer sepenuhnya mendapat pujian. MU tidak memboyong pengganti sepadan saat Lukaku dan Sanchez hengkang.
Pembenahan yang tidak menyeluruh sempat tertutup oleh kemenangan sensasional 4-0 atas Chelsea di pekan pertama. Namun pujian atas penampilan MU cepat berubah jadi peristiwa masa lalu seiring pekan berjalan.
 Solskjaer sempat membuat MU tampil mengesankan saat masih berstatus caretaker. (AP Photo/Rui Vieira) |
MU mulai kepayahan dan kini masih susah payah bertahan di posisi kelima. Performa inkonsisten Chelsea dan Leicester City di zona Liga Champions tidak bisa dimanfaatkan Manchester United untuk mengejar karena kondisi mereka juga sama buruknya.
Zona Liga Champions yang sejatinya jadi harapan terendah untuk klub dengan level tinggi seperti MU, bahkan sulit dicapai oleh Anthony Martial dan kawan-kawan.
Sasaran Tembak UtamaBanyak yang memahami bahwa Solskjaer bukan satu-satunya sumber kesalahan di balik terpuruknya performa Manchester United musim ini.
[Gambas:Video CNN]Kebijakan transfer klub juga jadi hal yang patut disoroti. Selain tidak aktif memburu penyerang di awal musim padahal baru saja kehilangan Lukaku dan Sanchez, MU kembali mengulang kesalahan dalam perburuan Erling Haaland. Padahal dari segi usia, Haaland bisa jadi investasi masa depan.
Karena itu ketika MU dihantam badai cedera, kondisi mereka makin parah. Saat Marcus Rashford harus absen karena cedera punggung, MU tidak bisa menemukan solusi untuk menempatkan penyerang lain sebagai ujung tombak karena minim penyerang.
Kesalahan transfer ini tentu juga menyeret nama Ed Woodward sebagai CEO Manchester United. Namun Solskjaer tetap jadi penanggung jawab utama karena dia adalah sosok yang hadir di pinggir lapangan.
Meski minim pemain bintang pun, Solskjaer tak sepatutnya membawa MU kalah dari tim macam Burnley pada laga di kandang sendiri.
Belum lagi bila melihat alur permainan MU yang kacau dan seringkali tanpa pola yang jelas. Dua laga terakhir tanpa gol membuktikan bahwa sistem permainan MU dalam masalah besar, baik dalam umpan krusial di kotak penalti maupun penyelesaian akhir ke gawang lawan.
Menarik untuk melihat sikap manajemen dan sikap Solskjaer menghadapi situasi ini. Manajemen harus bergerak menentukan masa depan Solskjaer di tim ini.
Solskjaer juga harus sadar diri. Nama baiknya sebagai legenda MU terus tergerus dengan kondisi saat ini. Ia harus bergerak dan bertindak mengubah MU jadi lebih baik, bukan seperti saat ini ketika MU seperti dalam kondisi mati suri, kehilangan gengsi dan reputasi.
(jal)