Jakarta, CNN Indonesia -- Saya mendapat julukan Smash 100 Watt dalam perjalanan karier saya. Sebelumnya saya lebih dulu mendapat julukan 'Jumping Jack' oleh media luar negeri berkat penampilan saya yang sering melakukan smes.
Soal julukan 'Smash 100 Watt' hal itu lahir dari obrolan iseng saya dengan Ardy B. Wiranata di Malaysia. Saat itu saya bersiap menghadapi Rashid Sidek yang sebelumnya mengalahkan Ardy.
Saya bergurau pada Ardy dan berkata, "Smes kamu cuma 5 watt sih, coba nih nanti malam, nih smes 100 watt."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Malamnya saya bisa mengalahkan Rashid Sidek di Malaysia, sesuatu yang sulit dilakukan oleh banyak pebulutangkis dunia. Obrolan ringan itu ternyata didengar wartawan dan akhirnya julukan 'Smash 100 Watt' itu mulai melekat pada saya.
Gaya main saya yang terus melakukan smes tak lepas dari didikan di PB Djarum. Di PB Djarum, Liem Swie King selalu jadi patokan. Kami sering menonton video permainan Liem Swie King dari situ kami mempelajari posisi dan gaya smes, kaki harus begini, kami belajar dari situ.
 Hariyanto Arbi mendapat julukan 'Smash 100 Watt' dari wartawan. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar Idaman) |
Saat di pelatnas Pak Indra Gunawan memacu saya dengan berkata bahwa saya harus bisa mengikuti lompatan kakak saya, Hastomo. "Kakak kamu lompatnya bagus, kamu juga harus bisa lebih bagus". Begitu kata Pak Indra.
Untuk bisa bermain seperti itu saya terus latihan skipping, drilling smes, terus shadow badminton. Melihat perjalanan karier saya, saya merasa puas. Saya merasa diberkati.
Saya anak paling kecil. Ketika masih anak-anak, Hastomo Arbi dan Eddy Hartono sudah masuk pelatnas. Keluarga kami baru bisa pindah rumah meninggalkan rumah kontrakan di Wergu Kulon, Kota Kudus, dan punya rumah sendiri saat Hastomo membelikan rumah. Ia mengumpulkan uang dan membeli rumah yang sampai saat ini ditempati orang tua saya.
Sebagai anak kecil saya bermain badminton bersama teman-teman dengan menggunakan papan. Net terbuat dari tali rafia dan lapangannya adalah petak antara gang. Saya punya raket di rumah, tetapi karena teman-teman tidak punya, jadi saya memilih main pakai papan.
Saya baru benar-benar serius menjadikan badminton sebagai jalan hidup setelah Piala Thomas 1984. Saat itu Indonesia juara dan Hastomo dianggap sebagai pahlawan. Saya ikut orang tua menjemput di Semarang.
Saat melihat ada arak-arakan saya melihat bapak saya terharu sampai menangis di sana. Saya merasa ada gairah dan semangat. Saya berpikir 'Oh, begini caranya kalau mau membanggakan orang tua dan Indonesia. Ternyata caranya seperti ini.'
Setelah itu saya makin terpacu untuk bisa jadi atlet badminton. Beberapa tahun sebelumnya, saya sempat berhenti main badminton.
Ayah saya meminta berhenti setelah melihat saya kalau pulang latihan selalu mengeluh badan sakit. Ibu saat itu sering memijat saya selain juga mengantar latihan dengan menggunakan becak. 'Kalau sakit terus, ya sudah tidak usah badminton.'
Ketika mendapat motivasi dari kemenangan Hastomo di Piala Thomas 1984, saya berlatih lebih keras. Saya bahkan berlatih dengan orang-orang dewasa dan karyawan yang juga sering main di PB Djarum.
 Hariyanto Arbi sempat ditentang masuk pelatnas PBSI. (AFP/TEKEE TANWAR) |
Saya juga sering bolos sekolah demi menambah waktu latihan. PB Djarum menerapkan aturan ketat dengan melarang latihan untuk pemain yang tidak sekolah. Jadi biasanya pagi hari pembina bakal melihat ke kelas dan memantau anak yang masuk. Karena saya pagi ada di kelas jadi tidak dicurigai.
Setelah berlatih dan berprestasi di tingkat junior, saya akhirnya mendapat panggilan dari pelatnas PBSI pada 1990 ketika saya 18 tahun. Saat itu pelatnas masih ditempatkan di Ladogi Senayan.
Perpindahan saya ke pelatnas cukup menyulut pertentangan. Ketua PB Djarum Goei Po Thay tidak mengizinkan saya untuk bergabung ke pelatnas.
PB Djarum menganggap potensi saya bakal lebih keluar bila terus dipegang oleh mereka. PB Djarum yakin saya bisa jadi juara dunia. Mereka juga khawatir bila saya malah gagal dengan bergabung ke pelatnas.
Tetapi pelatih PB Djarum Pak Anwari justru khawatir saya tidak berkembang bila tak bergabung dengan pelatnas. Saya dianggap butuh sparring partner yang bagus sehingga harus masuk pelatnas.
Karena itu ketika Ketua PB Djarum sedang pergi ke Sydney, saya langsung disuruh cepat berangkat ke Jakarta. Setelah itu sempat marah sekali namun akhirnya bisa tenang.
Awal-awal tahun di pelatnas prestasi saya jeblok. Bahkan prestasi saya sebelum masuk pelatnas lebih bagus dari itu karena saya masuk perempat final All England ketika dikirim secara independen oleh PB Djarum.
[Gambas:Video CNN]Mungkin karena saya masih penyesuaian di pelatnas. Di PB Djarum saya selalu diperhatikan sedangkan di pelatnas tidak, karena ada banyak pemain yang juga bagus-bagus.
Di tahun-tahun pertama saya banyak menganggur ketika latihan. Di Hall C tempat latihan lapangan hanya ada tiga. Bagaimana mau bagus karena harus menunggu satu jam sebelum latihan. Pada saat saya masuk, pelatnas PBSI tengah fokus pada Alan Budikusuma, Ardy B. Wiranata, dan Hermawan Susanto.
Saat dua tahun pertama saya cuma jadi kayak seperti pelengkap. Saya bagian jadi sparring mereka dulu. Setelah mereka capek, baru saya latihan. Dalam kondisi seperti itu, saya terus berusaha semangat dan menunjukkan kemampuan.
Penampilan saya mulai naik di akhir 1992 dan akhirnya mampu jadi juara di Taiwan pada awal 1993. Dari momen itu kepercayaan diri saya menjadi naik. Saya langsung bisa jadi juara di Jepang dan kemudian All England.
Saya melihat jalan saya terbuka ketika bisa jadi juara di Taiwan. Lawan-lawan yang biasa menyulitkan saya kalah lebih dulu.
Pelatih saya Indra Gunawan bilang saya bisa juara lagi di Jepang. Saya tidak langsung mengiyakan karena saya lihat di Jepang lawan yang ada lebih kuat. Tetapi akhirnya saya bisa juara.
Di All England saya tampil di partai final melawan Joko Suprianto. Saya ingat pergelangan kaki saya bengkak karena salah lompat waktu melakukan smash. Saya lalu bermain dengan disemprot penahan rasa sakit.
 Hariyanto Arbi terinspirasi kakak untuk menjadi atlet badminton. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar Idaman) |
Saya paksa terus untuk bermain dan akhirnya menang. Begitu selesai main pergelangan kaki bengkak besar, sakit buat jalan.
Perjalanan saya di 1993 dan 1994 banyak gelar. Pada 1994 tunggal putra Indonesia mencetak sejarah di All England. Pada babak semifinal, semuanya diisi oleh pemain-pemain Indonesia. Saya, Ardy, Alan, dan Hermawan.
Saya mengalahkan Alan Budikusuma di semifinal kemudian mengalahkan Ardy di babak final. Di 1995 saya berhasil jadi juara dunia. Padahal waktu itu saya dalam kekecewaan luar biasa karena gagal membawa Indonesia juara Piala Sudirman.
Indonesia punya ambisi besar untuk jadi juara Piala Sudirman namun gagal di partai final. Dalam kekecewaan itu, ditambah kondisi badan lelah, saya malah bisa tampil lepas dan akhirnya jadi juara. Tentu hal itu jadi salah satu pencapaian terbaik saya.
Bila berbicara kekecewaan, kekecewaan terbesar saya tentu adalah gagal meraih medali di Olimpiade Atlanta 1996. Saya kalah dari Poul Erik Hoyer Larsen.
Dalam rekor pertemuan lawan Poul Erik saya hanya dua kali kalah dan lebih banyak menang. Namun dua kali kekalahan itu terjadi di momen penting, final All England 1995 ketika saya gagal hattrick dan semifinal Olimpiade 1996.
Saya terinspirasi kemenangan Hastomo di
Piala Thomas 1984 dan akhirnya mampu ikut membawa Indonesia juara Piala Thomas empat kali. Salah satu yang saya ingat adalah final Piala Thomas 1994 ketika saya pertama kali masuk sebagai bagian dari tim Indonesia.
Saat itu Indonesia punya materi tim yang kuat dan sudah lama tidak juara Piala Thomas. Sebelum turnamen digelar tim pelatih sudah menyiapkan skema susunan pemain berdasarkan rekor pertemuan yang ada.
Dari urutan peringkat Joko Suprianto jadi tunggal pertama, saya tunggal kedua, Ardy B. Wiranata, dan Hermawan Susanto. Perjalanan kami lancar di babak penyisihan grup namun saat menghadapi Korea Selatan di babak semifinal, saya kalah. Indonesia menang 4-1 tetapi saya kalah dari Park Sung-woo.
Momen penentuan pemain menuju partai final lawan Malaysia jadi menegangkan. Berdasarkan urutan awal yang ditetapkan sebelum turnamen, saya adalah pemain yang bakal turun sebagai tunggal pertama lawan Malaysia.
 Hariyanto Arbi sempat diragukan di Piala Thomas 1994. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar Idaman) |
Kemudian sebagian besar tidak setuju bila saya bermain di partai final. Alasannya tentu karena saya baru kalah di semifinal sedangkan Joko selalu menang.
Bila saya dimajukan jadi tunggal pertama lawan Rashid Sidek, Joko otomatis tidak bisa diturunkan.
Bahkan kakak saya, Eddy Hartono, juga menolak dan berharap saya tidak main di final. Saya tidak pernah membahas ini sama dia tetapi mungkin dia ingin menjaga kondisi mental saya. Dia takut saya kenapa-kenapa kalau sampai kalah, padahal karier masih panjang karena saat itu masih 22 tahun.
Dari banyak yang tidak setuju, Profesor Singgih Gunarsa dan Pelatih Indra Gunawan jadi sosok yang mendukung saya. Pak Indra bertanya pada saya soal kesiapan tampil di partai final.
Sebelumnya saya dievaluasi dan didapat kesimpulan bahwa kekalahan saya di semifinal karena terlalu terbawa suasana penonton. Jadi saya terus melakukan smes tanpa perhitungan.
Ketika saya menyatakan siap, Pak Indra dan Profesor Singgih yang akhirnya meyakinkan saya untuk tetap masuk susunan pemain.
Tampil sebagai tunggal pertama, saya berhasil menang dua set langsung lawan Rashid Sidek. Tekanan saat itu berat sekali. Baru sekali itu saya mengalami badan serasa terbang setelah selesai menang. Andai saya kalah, bisa jadi saya, Pak Indra, dan Profesor Singgih dibully. karena dari awal banyak yang tidak setuju.
Setelah juara Piala Thomas 1994, saya juga ikut ambil bagian dalam Tim Indonesia yang jadi juara Piala Thomas 1996, 1998, dan 2000.