Saya terinspirasi kemenangan Hastomo di
Piala Thomas 1984 dan akhirnya mampu ikut membawa Indonesia juara Piala Thomas empat kali. Salah satu yang saya ingat adalah final Piala Thomas 1994 ketika saya pertama kali masuk sebagai bagian dari tim Indonesia.
Saat itu Indonesia punya materi tim yang kuat dan sudah lama tidak juara Piala Thomas. Sebelum turnamen digelar tim pelatih sudah menyiapkan skema susunan pemain berdasarkan rekor pertemuan yang ada.
Dari urutan peringkat Joko Suprianto jadi tunggal pertama, saya tunggal kedua, Ardy B. Wiranata, dan Hermawan Susanto. Perjalanan kami lancar di babak penyisihan grup namun saat menghadapi Korea Selatan di babak semifinal, saya kalah. Indonesia menang 4-1 tetapi saya kalah dari Park Sung-woo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Momen penentuan pemain menuju partai final lawan Malaysia jadi menegangkan. Berdasarkan urutan awal yang ditetapkan sebelum turnamen, saya adalah pemain yang bakal turun sebagai tunggal pertama lawan Malaysia.
 Hariyanto Arbi sempat diragukan di Piala Thomas 1994. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar Idaman) |
Kemudian sebagian besar tidak setuju bila saya bermain di partai final. Alasannya tentu karena saya baru kalah di semifinal sedangkan Joko selalu menang.
Bila saya dimajukan jadi tunggal pertama lawan Rashid Sidek, Joko otomatis tidak bisa diturunkan.
Bahkan kakak saya, Eddy Hartono, juga menolak dan berharap saya tidak main di final. Saya tidak pernah membahas ini sama dia tetapi mungkin dia ingin menjaga kondisi mental saya. Dia takut saya kenapa-kenapa kalau sampai kalah, padahal karier masih panjang karena saat itu masih 22 tahun.
Dari banyak yang tidak setuju, Profesor Singgih Gunarsa dan Pelatih Indra Gunawan jadi sosok yang mendukung saya. Pak Indra bertanya pada saya soal kesiapan tampil di partai final.
Sebelumnya saya dievaluasi dan didapat kesimpulan bahwa kekalahan saya di semifinal karena terlalu terbawa suasana penonton. Jadi saya terus melakukan smes tanpa perhitungan.
Ketika saya menyatakan siap, Pak Indra dan Profesor Singgih yang akhirnya meyakinkan saya untuk tetap masuk susunan pemain.
Tampil sebagai tunggal pertama, saya berhasil menang dua set langsung lawan Rashid Sidek. Tekanan saat itu berat sekali. Baru sekali itu saya mengalami badan serasa terbang setelah selesai menang. Andai saya kalah, bisa jadi saya, Pak Indra, dan Profesor Singgih dibully. karena dari awal banyak yang tidak setuju.
Setelah juara Piala Thomas 1994, saya juga ikut ambil bagian dalam Tim Indonesia yang jadi juara Piala Thomas 1996, 1998, dan 2000.
(har)