Jakarta, CNN Indonesia -- Para pemain
Premier League melakukan perlawanan terhadap kapitalisme yang 'memaksa' mereka menjalani pertandingan penuh risiko di tengah pandemi
virus corona.
Bundesliga memang jadi contoh keberhasilan sepak bola melawan 'ketakutan' terhadap bahaya penularan virus corona yang sulit diterka.
Dengan protokol kesehatan yang ketat, kompetisi kasta tertinggi Liga Jerman itu sukses menggelar pertandingan selama dua pekan terakhir. Digelar tertutup dari penonton dan mewajibkan tes Covid-19 beberapa saat sebelum bertanding.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sambutan positif datang dari belahan dunia. Di mana kompetisi sepak bola bisa kembali digelar di tengah 'hantu' virus corona yang masih gentayangan.
Liga Spanyol juga sudah menetapkan bakal melanjutkan kompetisi pada 8 Juni mendatang. Liga Inggris juga tak mau ketinggalan mengikuti jejak liga-liga Eropa lainnya.
Italia, salah satu negara Eropa yang paling banyak jumlah kasus positif corona, juga ikutan 'gatal'. Sebagian besar klub bahkan sudah menggelar latihan internal.
Sejauh ini tak ada penolakan serius dari pesepakbola Liga Spanyol maupun Italia. Bahkan, pemain sekelas Cristiano Ronaldo pasrah mengekor kebijakan klubnya Juventus untuk menggelar latihan.
Sebelumnya, para pemain Liga Spanyol dan Liga Italia juga rela gajinya dipotong selama pandemi corona. Suara lantang Asosiasi Pemain Profesional Liga Italia (AIC) yang menolak pemotongan gaji pemain, perlahan redup dan tak lagi terdengar.
Terlebih para bintang Serie A nyaris tak ada yang lantang melakukan protes. Situasi yang membuat AIC juga tak mau lagi 'bawel' menyuarakan protes.
Namun, sebuah anomali terjadi di Inggris. Sejak awal para pemain Liga Inggris melalui Asosiasi Pesepakbola Profesional Inggris (PFA) dengan tegas menolak wacana pemangkasan gaji sebesar 30 persen.
Direktur Eksekutif PFA, Gordon Taylor, mengklaim sebagian klub mapan Premier League berencana memanfaatkan peraturan darurat pemerintah untuk memotong gaji para staf.
 Gelandang Chelsea N'Golo Kante menolak bermain di tengah pandemi. |
Beberapa klub berniat memanfaatkan Skema Retensi Pekerjaan selama pandemi virus corona. Skema itu adalah hanya membayar 80 persen gaji demi mencegah pemutusan hubungan kerja massal di Britania Raya.
"Memanfaatkan skema peraturan pemerintah dengan kondisi yang sebetulnya tak memerlukan bantuan keuangan akan merugikan masyarakat luas," ujar Taylor dikutip dari Mirror.
"Meski kami memiliki kewenangan melindungi anggota, sepanjang sejarah, kami juga telah melakukan yang terbaik untuk melindungi kepentingan yang lebih luas," sambungnya.
Sejumlah pihak termasuk Menteri Kesehatan Inggris, Matt Hancock, juga mengkritik pemain Liga Inggris yang tak mau berkontribusi dengan pemotongan gaji mereka.
Kritikan mencuat setelah klub Liga Inggris seperti Tottenham Hotspur, Newcastle United, dan Norwich memotong gaji staf mereka sebesar 20 persen, namun tidak dengan para pemainnya.
Para pemain beranggapan pemotongan gaji hanya akan membantu keuangan klub dan Premier League. Sementara masalah utama adalah kontribusi terhadap orang-orang terdampak corona.
Melalui gerakan #PlayersTogether, para pemain menggalang donasi untuk petugas medis nasional (National Health Service/NHS), sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19.
Hingga detik ini, diskusi antara Premier League dan PFA tak kunjung menemui kesepakatan. Perbedaan pendapat kembali muncul ketika Premier League berencana melanjutkan kompetisi di masa
lockdown.
Premier League berencana melanjutkan kompetisi pada pertengahan Juni mendatang. Langkah ini diambil untuk menekan potensi kerugian besar akibat penangguhan kompetisi sejak Maret.
Dilansir Sport Bible, penangguhan membuat Premier League rugi besar. Sejauh ini, total kerugian yang ditaksir mencapai belasan triliun.
Jumlah tersebut belum termasuk kerugian tiap klub terkait
refund tiket pertandingan. Manchester United saja dikabarkan sudah rugi Rp179 miliar.
Persiapan KacauNamun, persiapan bertajuk Project Restart tak berjalan mulus. Para pemain menjadi was-was setelah delapan orang kedapatan positif usai tes corona.
 Troy Deeney. (AP Photo/Petros Karadjias) |
Enam kasus terjadi pada tes virus corona massal di gelombang pertama. Tiga di antaranya berasal dari Watford.
Kapten Watford, Troy Deeney, menolak kembali bermain karena khawatir dengan kesehatan keluarganya. Terlebih Deeney memiliki bayi berusia lima bulan di rumahnya.
Deeney mengaku tak takut dihukum. Pengalamannya bangkrut membuatnya tak takut miskin jika harus membayar denda kepada klub karena menolak bermain.
Beberapa hari setelah penolakan Deeney, terjadi dua kasus positif usai tes corona gelombang kedua. Satu di antaranya adalah pemain Bournemouth yang tak disebut identitasnya.
Selain Deeney, bintang Chelsea N'Golo Kante juga telah meminta cuti hingga akhir musim. Gelandang Prancis itu mengkhawatirkan kesehatan fisik dan mentalnya di masa pandemi.
Yang jelas psikologis Kante terganggu akan potensi tertular corona. Apalagi ia punya pengalaman buruk soal kesehatan, yakni pernah pingsan di depan rekan setimnya dua tahun lalu.
Keputusan Deeney dan Kante cukup beralasan. Keduanya cemas dan tak mau mengambil risiko kesehatan. Sikap yang patut diteladani pemain lainnya.
Delapan kasus positif corona setelah menjalani tes corona harus dijadikan dasar penundaan Project Restart Premier League. Sebab, satu orang terpapar bisa menularkan seluruh tim.
Bergulirnya Premier League dipastikan bakal jadi hiburan di masa
lockdown corona. Namun, tontonan menarik tidak sebanding dengan risiko kesehatan atlet.
Kemanusiaan harus diutamakan ketimbang kepentingan kapitalisme. Di masa krisis corona, banyak pemilik modal yang hanya mementingkan keuntungan dan pemain yang akan jadi korbannya.
[Gambas:Video CNN] (har)