Konflik antara PSSI dengan pelatih Timnas Indonesia Shin Tae Yong membuat publik kembali 'gaduh'.
Shin Tae Yong jadi pihak yang disayang, PSSI kembali diserang. Di media sosial banyak netizen yang merundung PSSI.
Direktur Teknik PSSI Indra Sjafri, yang juga ikut merespons pernyataan Shin Tae Yong, tak bisa lolos dari cemoohan netizen ke akun media sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski jika dilihat lagi, kesalahan mendasar dan utama terjadi hanyalah masalah komunikasi dan koordinasi.
Shin Tae Yong menandatangani kontrak dengan PSSI untuk menjadi pelatih Timnas Indonesia pada Desember 2019 dan memulai debut kepelatihan di Jakarta awal Januari 2020. Awal Februari, pelatih asal Korea Selatan itu sudah memboyong Timnas Indonesia U-19 untuk pemusatan latihan (TC) di Chiang Mei, Thailand.
Beberapa hari terakhir, publik sepak bola Indonesia dikagetkan dengan pernyataan Shin Tae Yong di media Korea Selatan yang secara gamblang mengungkapkan ketidaknyamanan terhadap PSSI. Dilansir media Korea Selatan, News Join dan Naver Sports, Shin Tae Yong mengatakan banyak hal janggal yang terjadi selepas ia menerima pinangan PSSI untuk menjadi pelatih Timnas Indonesia.
Tanpa menyebut nama, Shin Tae Yong menyoroti sikap seorang staf pelatih lokal yang tidak bertegur sapa dengannya setelah latihan di Thailand. Bahkan pelatih tersebut meninggalkan posisinya, dan dua bulan kemudian diangkat menjadi Direktur Teknik PSSI. Jelas pernyataan Shin Tae Yong itu merujuk ke sosok Indra Sjafri.
Sikap Shin Tae Yong yang berbicara di luar urusan teknis kepelatihan di hadapan media dianggap pengamat sepak bola nasional Mohamad Kusnaeni bukan hal yang baik.
"Kita tidak tahu isi kontrak PSSI dengan Shin Tae Yong. Kalau di kontrak ada poin-poin kewajiban sebagai pekerja, seharusnya salah satunya ada larangan menyampaikan ke publik hal di luar teknis. Seharusnya ia cuma boleh bicara terkait teknis kepelatihan."
"Kalau pelatih bicara di luar isi kontrak itu boleh ditegur, dihukum. Tapi bukan berarti dipecat atau diancam dipecat. Tapi hukumannya, misalnya pengurangan gaji atau tidak diperpanjang kontrak dan itu ada di kontrak," kata Kusnaeni kepda CNNIndonesia.com.
Kusnaeni menilai ancaman yang diberikan PSSI melalui Ketua Satgas Timnas Indonesia Syarif Bastaman memberikan kesan arogan. Kesan itu yang melekat di mata publik ketika merespons sikap PSSI atas polemik yang terjadi.
Meski sebenarnya diyakini Kusnaeni Satgas hanya ingin menunjukkan hak dan kewajiban antara PSSI dan Shin Tae Yong. Di mana PSSI sebagai pemberi kerja berhak meminta Shin Tae Yong untuk memenuhi kewajiban sesuai yang tertera di kontrak kerja.
"Karena cara komunikasi publik yang salah itu menunjukkan karakter PSSI yang arogan. Komunikasi publik PSSI dalam kasus Shin Tae Yong ini tidak bagus, sehingga publik menangkapnya keliru. Padahal, maksudnya tidak begitu," ujar Kusnaeni.
![]() |
Kusnaeni menilai PSSI punya hak untuk menolak program kerja yang disodorkan Shin Tae Yong untuk Timnas Indonesia.
Shin Tae Yong juga dianggap Kusnaeni sangat mengerti dan memahami kondisi hampir di semua federasi sepak bola di dunia yang mengalami masalah finansial akibat covid-19.
Persoalan-persoalan tersebut sebenarnya bisa diselesaikan dengan sederhana jika komunikasi yang terjalin antara PSSI melalui unit yang membawahi Timnas Indonesia dengan Shin Tae Yong bisa berjalan dengan baik.
PSSI di mata Kusnaeni harusnya membangun komunikasi yang intensif dengan Shin Tae Yong. Komunikasi itu tidak perlu lewat Ketua Umum, tapi melalui unit yang menangani Timnas atau kalau sekarang di Direktur Teknik terkait pemain, program, rencana TC, dan sebagainya.
"Masalah utama hanya komunikasi dan koordinasi, sesederhana itu. Komunikasi personal unit PSSI dengan Shin Tae Yong tidak bagus, komunikasi publik PSSI juga tidak bagus. Saya menduga aliran komunikasi dan koordinasi Shin Tae Yong dengan unit di PSSI ini tidak jalan. Dan, Ketua Umum PSSI harus segera benahi struktur organisasi dan tata kelola," ucap Kusnaeni.
Sayangnya, polemik ini kadung terjadi dan menambah rentetan reputasi buruk PSSI di mata publik. Parahnya, dalam kasus ini publik melihat seolah-olah PSSI tengah menzalimi Shin Tae Yong.
Reaksinya publik pun tajam. Komentar-komentar kritis hingga sinis netizen meramaikan laman komentar di Instagram Dirtek PSSI Indra Sjafri.
"Maka saya menyarankan Indra Sjafri sebagai Dirtek harus menempatkan diri untuk mengayomi Shin Tae Yong sebagai manajer pelatih Timnas Indonesia. Lepas dari latar belakang [permasalahan] mereka, Indra Sjafri harus berkomunikasi dengan baik, bisa mendengar dan mendukung program yang diberikan Shin Tae Yong."
"Apalagi Piala Dunia U-20 2021 itu tentang harga diri bangsa. Sebab itu semua pihak harus mengurangi ego dan mengedepankan kepentingan nasional. Semua harus bergandengan tangan. Masyarakat tidak mau kita gagal di Piala Dunia [U-20]. Ini bisa diselesaikan hanya dengan komunikasi dan koordinasi," sebut Kusnaeni.
Anggota kelompok suporter dari Forza Indonesia Arival menilai publik yang cenderung membela Shin Tae Yong lantaran reputasi PSSI yang dinilai telanjur buruk. Bahkan, harapan prestasi tinggi Skuat Garuda masih ibarat mimpi. Jauh api dari pada panggang.
Pada akhirnya pun prestasi buruk Timnas Indonesia selalu ditimpakan kepada PSSI. Kondisi ini menurut Arival juga tidak lepas dari semakin minim kepercayaan publik terhadap PSSI.
"Saya prihatin PSSI jadi di-bully orang, padahal tidak semua kesalahan ada di PSSI. Cuma gara-gara komunikasi publik dan komunikasi personal yang tidak bagus. Dalam kondisi ini Sekjen PSSI harusnya bisa menenangkan kedua pihak."
"PSSI harus sadar, jangan berpikir untuk menciptakan situasi yang membuat Shin Tae Yong tidak betah. Kalau bisa, jangan ada perubahan mendasar yang bisa buat persiapan berantakan jelang Piala Dunia U-20. Cari situasi di mana semua pihak nyaman bekerja. Jangan sampai Presiden tidak nyaman melihat keadaan di PSSI ini," pintanya.
Sementara itu Ketua Program Studi Korea Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia Eva Latifah mengatakan publik melihat Shin Tae Yong seolah merepresentasikan kemajuan Korea Selatan, terutama di sepak bola. Mulai dari kemapanan sistem manajemen, kedisiplinan serta kerja keras yang dilakukan, khususnya di bidang sepak bola.
Padahal, kinerja Shin Tae Yong sendiri di Timnas Indonesia belum terlihat. Namun, reputasi pelatih yang pernah menangani Timnas Korea Selatan di Piala Dunia 2018 itu membuat publik Indonesia silau.
![]() |
Hal itu dibenturkan dengan PSSI sebagai federasi yang kerap kacau, selalu berkonflik dan kontroversial. Hal itu yang dipercaya Eva menjadi salah satu faktor Shin Tae Yong sampai dibela publik.
"Orang-orang Korea itu sangat disiplin. Latihannya kejam, maksudnya mereka harus kerja keras sejak dini untuk bisa mendapatkan target hasil seperti yang diharapkan. Untuk bisa menjadi seorang profesional itu tidak bisa sembarangan," kata Eva melalui sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com.
Eva mencontohkan Son Heung Min, pesepakbola Korea Selatan yang saat ini sukses menjadi pemain Asia yang tampil di kasta tertinggi kompetisi sepak bola Inggris bersama Tottenham Hotspur. Heung Min menjadi salah satu produk dari pelatihan luar biasa melalui disiplin tinggi yang dilakukan Korea Selatan.
Eva menilai budaya senioritas antar pemain maupun pelatih masih amat dipertahankan di Korea Selatan. Orang yang usianya lebih tua atau memiliki jabatan tinggi biasanya harus mendapat respek dan ucapannya harus didengar bawahan atau juniornya.
"Mungkin yang terjadi saat ini budaya Korea yang dibawa Shin Tae Yong itu berbeda dengan di Indonesia. Menurut Shin Tae Yong, dia adalah kepala pelatih, sedangkan Indra Sjafri [sebelumnya] bawahan. Jadi di mata budaya Korea, Indra Sjafri harus mendengarkan Shin Tae Yong," ucap Eva.
Tak hanya itu, sebenarnya di Korea ada budaya di mana orang yang posisinya di bawah tidak berani menolak atau membantah ketika terjadi perbedaan pendapat. Beda dengan budaya di Indonesia yang lebih ceplas-ceplos jika dirasa ada yang tidak sesuai.
Lihat juga:Lionel Messi, Keabadian Sebuah Kejeniusan |
"Menurut saya konflik ini juga ada gesekan budayanya. Shin Tae Yong tidak tahu, budaya Indonesia yang cenderung egaliter. Gesekan itu akhirnya berimbas pada putusnya komunikasi."
"Shin tidak punya kemampuan bahasa Indonesia, begitu juga orang-orang di PSSI yang tidak bisa bahasa Korea. Peran penerjemah bahasa di sini jadi sangat penting. Kalau tidak bisa menerjemahkan dengan benar sesuai bahasa dan istilah sepak bola, makna yang ingin disampaikan jadi berbeda. Alhasil, terjadi salah komunikasi dan kesalahan jadi makin besar," ucap Eva.
(bac/har)