Empat tahun lalu, setelah Liverpool menghabiskan musim pertama bersama Jurgen Klopp, Sir Alex Ferguson melihat ada sesuatu yang 'tidak beres'. Padahal saat itu Liverpool hanya bertengger di urutan delapan klasemen akhir Premier League, tiga tangga di bawah Manchester United.
Sebagai orang yang pernah memenangi 13 gelar Premier League, lima Piala FA, empat Piala Liga, serta dua trofi Liga Champions selama 26 tahun di Old Trafford, ketajaman intuisi seorang Fergie tak perlu diragukan lagi.
"Dia telah bekerja dengan sangat baik dan mengembalikan antusiasme Liverpool. Kepribadian Klopp sangat kuat, itu berperan vital di sebuah klub besar."
"Saya mengkhawatirkannya [Klopp], karena satu hal yang tidak diinginkan United adalah Liverpool berada di atas kami," ucap Fergie kala itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dari kaca mata Sir Alex, Liverpool hanya gonta-ganti manajer tanpa membangun identitas selama dua dekade sebelum Klopp tiba.
Nyatanya sejak era Premier League, Liverpool hanya nyaris menjadi kampiun alias runner-up sebanyak empat kali, yaitu musim 2001-02 (era Gerard Houllier), 2008-09 (Rafael Benitez), 2013-14 (Brendan Rodgers), dan 2018-19 (Klopp).
Walau menjadi yang terbaik kedua dan berhak tampil di kompetisi tertinggi antarklub Eropa, tetap saja keempat musim itu gagal mengobati rasa lapar gelar Liga Inggris.
Bahkan di antara empat musim tadi, ada satu yang terasa amat pahit seperti janji manis yang ingkar, yaitu musim 2013-14 karena diwarnai kapten Steven Gerrard terpeleset.
Predikat top skor Luis Suarez (31 gol) kala itu pun terasa kurang sedap. Insiden Gerrard Slip kemudian menjadi bahan olok-olok fans klub lain hingga kini, sebuah fakta dan realita menohok yang harus ditelan pecinta klub berusia 128 tahun ini.
Padahal selama tiga dekade puasa gelar liga domestik, prestasi The Reds sebenarnya kurang tepat dipadankan dengan peribahasa jauh panggang dari api. Dalam periode itu Merseyside Merah berhasil menambah dua trofi Liga Champions dari tiga kesempatan menembus final, yang makin menegaskan status mereka sebagai Raja Eropa di tanah Inggris.
Selain trofi Si Kuping Besar, ada pula gelar-gelar bergengsi lain yang mampu mereka gapai. Walau memang tak bisa dipungkiri, gengsi domestik tetap bernilai tinggi dalam penentuan klub terhebat di Liga Inggris.
Ada satu hal yang membuat Klopp terasa berbeda sejak awal melatih The Reds. Di luar lapangan dia adalah seorang media darling. Rasanya pantas juga menyebut selama ini Klopp seorang humas yang baik bagi Liverpool karena punya kemampuan media handling di atas rata-rata ketimbang pelatih lain.
Dalam sesi jumpa pers pertamanya sebagai manajer Liverpool pada Oktober 2015, Klopp menegaskan bisa mempersembahkan trofi jika diberi kesempatan minimal empat tahun. Pelatih berpaspor Jerman ini pun membayar tuntas janjinya saat The Reds juara Liga Champions 2019.
![]() |
Sedikit cocokologi, Alex Ferguson juga membutuhkan empat tahun sebelum meraih gelar pertamanya bersama Setan Merah, yakni Piala FA musim 1989-90. Setelah itu, kita semua tahu apa yang terjadi.
Selama hampir tiga dekade, Fergie menyelesaikan begitu banyak pencapaian, yang membuatnya melegenda dan dipertimbangkan sebagai salah satu pelatih terhebat di dunia sepak bola.
Kembali ke Klopp. Salah satu kelebihannya adalah mengubah seorang pemain menjadi versi terbaiknya. Paling terlihat Jordan Henderson yang dulu hanya average player, kini menjadi aspek krusial di lini tengah Liverpool. Pelatih 53 tahun ini juga menciptakan peran unik yang sangat pas dibawakan Roberto Firmino.
Sementara perekrutan Sadio Mane, Mohamed Salah, Andy Robertson, Virgil van Dijk dan Alisson, jelas tak perlu dipertanyakan dampaknya. Jangan dilupakan soal pasokan materi tim data science Liverpool yang memanjakan Klopp saat melihat potensi seorang pemain.
Dalam meracik taktik, mantan pelatih Mainz dan Borussia Dortmund ini sangat cermat dalam menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan tim. Para pemain Liverpool menjadi lebih mudah dalam menerjemahkan teori saat praktik di lapangan.
Pada awal kariernya di Anfield, Klopp cukup sering menggunakan skema 4-2-3-1 dengan penerapan counter-press. Empat pemain lini serang di depan double pivot, wajib langsung menekan secara agresif setelah kehilangan bola. Ini membuat Liverpool sangat unggul dalam transisi menyerang ke bertahan dan sebaliknya.
Peraih gelar diploma Sports Science di Universitas Goethe, Frankfurt, ini juga membuat kemampuan Liverpool dalam mendominasi penguasaan bola meningkat tajam. Sejak musim 2018-19, Klopp mematenkan formasi 4-3-3 sebagai variasi dalam possession play mereka. Sedangkan counter-press hanya dilakukan secara ketat saat main kandang.
Efektivitas transisi serta kombinasi dan akurasi umpan-umpan diagonal sangat memanjakan mata saat menonton pertandingan Liverpool saat ini. Tak sekedar mengantar ke podium tertinggi, lebih jauh Klopp telah mentransformasi permainan Si Merah ke level berikutnya.
Setelah membangun fondasi yang kuat, Klopp membuat Liverpool menjadi sangat dominan. Bahkan jumlah poin mereka sebelum juara Liga Inggris musim ini, sudah melebihi koleksi angka semusim penuh Arsenal ketika invicible dan Manchester United saat treble.
Pada akhirnya suporter Liverpool rasanya tak perlu berlebihan dalam merayakan gelar juara Premier League meski telah lama dinanti. Pasalnya, boleh jadi ini hanya satu dari banyak trofi bergengsi lain yang akan diraih ke depan.
Lebih baik simpan tenaga untuk selebrasi-selebrasi berikutnya. Sekali lagi, kapasitas seorang Alex Ferguson membuat analisisnya soal Klopp sangat patut dipercaya.
Raihan gelar Liga Champions disusul dengan Liga Inggris, agaknya hanya awal dari sebuah era emas. Itu mencerminkan penggalan kalimat dalam lirik lagu You'll Never Walk Alone: "At the end of a storm, there's a golden sky."
Jadi, tetap tenang dan yakinlah hegemoni baru itu bernama Liverpool Football Club.
Danke, Jurgen!