Kalau tidak salah saat itu saya sudah menginjak 32 tahun. Usia yang tak lagi muda lagi dan sudah hampir setahun tak lagi memperkuat Timnas.
Jujur saya terkejut sekali masih mendapat kesempatan membela Timnas Indonesia. Ternyata, pelatih Anatoli Polosin memilih saya sebagai pengganti Mustaqim yang cedera.
Saya yang masuk di pertengahan persiapan ikut merasakan kerasnya gemblengan fisik dari Polosin. Salah satu pelatih top yang sangat disiplin. Bahkan beberapa pemain memilih mundur karena tak sanggup mengikuti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jujur, saya juga kedodoran saat berlatih. Tapi, saya tetap berjuang untuk memberikan sumbangsih untuk negara. Kerja keras saya tak sia-sia karena akhirnya kami berhasil juara di Manila!
Saya memang tak banyak mendapat kesempatan bermain karena cedera juga di menit-menit akhir. Padahal Polosin panggil saya sebagai striker senior yang siap main di level internasional.
Beruntung kami masih memiliki beberapa penyerang muda berbakat yang sedang naik daun. Ada Widodo C Putro, Hanafing, dan Rochy Putiray.
Bagi saya Polosin adalah salah satu pelatih pintar. Dia jeli menganalisa kekurangan dan kelebihan pemainnya sebelum menyusun program latihan.
Dia sengaja menggembleng fisik bukan berarti untuk bermain barbar di lapangan. Tujuannya agar pemain bisa melakukan permainan yang diinginkan tanpa gampang kelelahan.
Intinya jika fisik oke, dia bisa menerapkan banyak strategi di lapangan. Mau pakai sitem apa pun permainan bisa berjalan sesuai dengan tujuan Polosin.
Buktinya anak-anak berhasil menghajar Malaysia 2-0, Vietnam 1-0, dan Filipina 2-1 di fase grup. Selanjutnya, kami sukses mengalahkan Singapura di semifinal dan Thailand di final.
Semua pemain tampil bersemangat di lapangan dan siap menghadapi situasi krisis berkat Polosin. Ini terbukti ketika kami menang lawan Thailand di final. Jika tidak siap secara fisik dan mental, Indonesia tidak bisa juara saat itu.
Saya turut bangga bisa jadi bagian tim juara di SEA Games 1991. Itulah persembahan terakhir sekaligus terindah di tim Merah Putih.
Mengabdi sebagai Pelatih
Setelah pensiun dari timnas saya memutuskan jadi pelatih karena memang tak bisa lepas dari dunia sepak bola. Sempat mencoba bekerja sebagai wakil manajer promosi di salah satu produsen olahraga ternama, tapi akhirnya saya tinggalkan dan memilih terjun sebagai pelatih.
Harus diakui karier saya sebagai pelatih tidak sementereng sebagai pemain yang bergelimang gelar juara. Tapi bagi saya yang terpenting adalah melakukan suatu hal yang jadi passion saya sejak dulu.
Saya pernah menangani PSIS Semarang, Pelita Jaya, Arema Malang, Persiram Raja Ampat, Cilegon United, dan Persija Jakarta. Tak ada satu pun klub itu yang sukses menjadi juara.
Perlu diingat tak semua pelatih hebat mampu mempersembahkan gelar juara. Banyak faktor yang mendukung sebuah klub bisa menjadi juara. Finansial dan kualitas pemain juga cukup menentukan.
Prestasi terbaik saya di klub mungkin terjadi ketika membawa PSIS Semarang peringkat ketiga di Liga Indonesia 2005. Saya lumayan punya banyak kenangan di PSIS karena tiga kali bolak-balik jadi pelatih di sana karena berteman baik dengan manajer klub Yoyok Sukawi.
Terakhir saya diminta menjadi direktur teknik PSIS pada 2019 lalu sekaligus mengisi kekosongan jabatan pelatih. Kontrak saya selesai di 2020 setelah mereka mendapat pelatih baru.
Saya pernah menangani Timnas Indonesia U-23 pada 2002 dan berhasil menjadi juara di kejuaraan Sultan Hassanal Bolkiah di Brunei Darussalam. Hamka Hamzah dkk tampil solid dengan menumbangkan Malaysia di semifinal dan menumbangkan Thailand di final.
Juara di Brunei jadi prestasi tertinggi saya saat menangani Timnas. Tapi, setidaknya berhasil menelurkan para pemain muda seperti Hamka Hamzah, Eka Ramdani, Syamsul Chaerudin, dan lain-lain yang akhirnya menjadi langganan timnas di masanya.
Saya pernah dipercaya sebagai asisten pelatih Timnas Indonesia di Kualifikasi Asian Games 2006 di Doha, Qatar. Pelatih utamanya saat itu berasal dari Belanda Foppe de Haan. Kami gagal lolos fase grup karena kalah bersaing dari Irak dan Suriah.
Itu jadi karier terakhir saya di Timnas.
Tapi, langkah saya tak berhenti sampai di situ. Saat ini saya fokus jadi instruktur pelatih yang diminta PSSI. Saya juga menjadi salah satu perumus kompetisi Pro Elite Academy U-16 dan U-18.
Saya masih menyimpan mimpi Timnas Indonesia berprestasi di ajang internasional dan sistem pembinaan usia dunia dini bisa berjalan sesuai program.
Untuk itu saya tidak mau berhenti belajar karena sepak bola terus berkembang. Saya juga tak letih untuk mengambil lisensi kepelatihan agar bisa dibagikan ke generasi penerus. Saat ini saya menjadi satu dari sedikit pelatih Indonesia yang mengantongi UEFA Pro License.
Kami punya moto bahwa instruktur yang bagus akan menghasilkan pelatih bagus. Sementara pelatih bagus juga akan melahirkan pemain bagus. Jadi, tiga elemen ini harus berjalan linear.
Lihat juga:4 Calon Pengganti Mikel Arteta di Arsenal |
Jika ada orang yang bilang sepak bola Indonesia mundur atau jalan di tempat itu salah besar. Sepak bola Indonesia juga terus berlari, hanya saja tetangga-tetangga kita larinya lebih kencang. Hehehe...
Tapi menurut saya Indonesia juga bisa mengejar ketinggalan jika punya sistem pembinaan yang tepat dan dipimpin orang-orang yang tepat. Mungkin mimpi saya ini adalah mimpi kalian juga. Mari kita bergandengan tangan untuk merealisasikan mimpi kita bersama.
(jun/har)