Federasi Atletik Internasional (IAAF) kemudian mengubah regulasi terkait batas testosteron untuk atlet putri dengan perbedaan perkembangan seks (DSD) pada Mei 2019.
Regulasi tersebut mengharuskan atlet putri dengan DSD mengurangi level testosteron menjadi kurang dari 5 nanomol/liter jika ingin tampil di nomor 400m, 800m, dan 1500m.
Regulasi itu dianggap IAAF sebagai kebijakan yang adil, karena mengklaim lebih dari 99 persen wanita di dunia memiliki sekitar kadar testosteron antara 0,12 hingga 1,79 nmol/liter. Sementara di laki-laki ada di rentang 7,7 hingga 29,4 nmol/liter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak disebutkan berapa level testosteron Semenya, namun banyak pihak mengklaim IAAF membuat regulasi itu untuk mengakhiri karier Semenya. Padahal Semenya masih berambisi mempertahankan gelar medali emas nomor 800 meter di Olimpiade Tokyo tahun ini.
Regulasi baru tersebut juga membuat Semenya tidak bisa tampil di nomor favoritnya, 800 meter, sejak 2019. Padahal Semenya sangat dominan di nomor tersebut, bahkan bisa unggul hingga dua putaran.
Semenya sudah dua kali gagal mengajukan banding terhadap regulasi IAAF, pertama di Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) pada 2019 dan Pengadilan Federal Swiss tahun lalu. Kini, Semenya akan melakukan usaha ketiga dengan mengajukan banding ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dalam usaha bisa tampil di Olimpiade Tokyo.
"Saya berharap pengadilan Eropa akan mengakhiri pelanggaran HAM yang telah berlangsung lama oleh Atletik Dunia [IAAF] terhadap atlet wanita. Kami hanya minta diizinkan untuk berlari, sebagai wanita yang kuat dan tak kenal takut seperti sebelumnya," ucap Semenya dikutip dari The Guardian.
Olimpiade Tokyo dijadwalkan berlangsung pada 23 Juli hingga 8 Agustus 2021.
(har/har)