Jakarta, CNN Indonesia --
Eko Yuli Irawan harus berdamai dengan janjinya. Niat menjadikan Olimpiade Tokyo 2020 sebagai epilog ditunda. Lifter asal Lampung tersebut masih berhasrat tampil di Olimpiade Paris 2024.
Lifter 32 tahun itu berhasil meraih medali perak usai melakukan total angkatan 302 kg. Sementara medali emas direbut wakil China Li Fabin dan perunggu menjadi milik lifter Kazakhstan, Igor Son.
Di sepanjang lomba, Eko Yuli bersaing ketat dengan Li Fabin. Fabin yang lebih dulu melakukan angkatan pertama di nomor snatch, gagal mengangkat beban 137kg. Sementara Eko Yuli sukses mengangkat beban yang sama, yakni 137kg.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada kesempatan kedua, Li Fabin berhasil menyamai angkatan Eko Yuli 137kg. Namun, Eko Yuli yang berniat melesat lewat 141kg gagal melakukan angkatan tersebut.
Sementara Li Fabin sukses mengangkat 141kg di kesempatan ketiga. Eko Yuli masih punya peluang menyamakan catatan, namun ia kembali gagal melakukan angkatan ketiga.
Persaingan masih berlanjut di clean & jerk. Li Fabin sukses melakukan angkatan 166kg pada kesempatan pertama. Sementara Eko Yuli tak mau tergesa-gesa dan sukses melakukan angkatan 165kg, hanya berjarak 1kg dari beban yang dipilih Fabin Li.
Li Fabin kemudian berhasil menajamkan catatannya setelah berhasil melakukan angkatan 172kg di kesempatan kedua. Sementara Eko Yuli berusaha mengejar dengan menaikkan beban lebih berat 12kg dari sebelumnya, yakni 177kg. Sayang upaya tersebut gagal.
 Foto: (REUTERS/EDGARD GARRIDO) Eko Yuli Irawan mempersembahkan medali perak di Olimpiade Tokyo 2020. |
Pada kesempatan ketiga, Eko Yuli berusaha sekuat tenaga untuk menuntaskan angkatan 177kg namun upaya kembali gagal. Fabin Li yang berada di atas angin mencoba untuk mengangkat 178kg, namun usahanya kali ini gagal.
Meski demikian, Fabin Li tetap berhak mengantongi medali emas dengan total angkatan 313kg, sementara Eko Yuli harus puas membawa pulang medali perak dengan total angkatan 302kg.
Selepas lomba, Eko dengan segala kerendahan hatinya meminta maaf lantaran belum mampu mencapai target pribadi di Olimpiade Tokyo 2020.
"Halo masyarakat Indonesia, terima kasih atas dukungan dan doanya selama ini. Mohon maaf gagal meraih medali emas, mungkin ini rejeki terbaik buat saya," kata Eko Yuli lewat video singkat di Instagram pribadinya.
Eko belum berniat pensiun dan masih menyimpan ambisi untuk meraih medali tertinggi di edisi berikutnya. Namun, ia tak mau muluk-muluk mengucap target.
"Kita akan lihat ke depan. Kalau masih diberi kesempatan dan bisa bersaing, mengapa tidak?" katanya saat ditemui wartawan Indonesia yang meliput Olimpiade Tokyo 2020 di mixed zone arena angkat besi, Tokyo International Forum, Minggu (25/7).
[Gambas:Video CNN]
Saat ini Eko Yuli Irawan sudah menginjak usia 32 tahun. Di Paris nanti usianya 35 dan tak menutup kemungkinan masih bisa bersaing di level tertinggi.
Dalam sejarah Olimpiade, 35 tahun bukan usia tertua, tetapi ada fakta untuk kelas 62 kilogram (kg) atau sekarang kelas 61 kg, peraih medali emas tertua berusia 33 tahun, yakni Oscar Figueroa dari Kolombia di Olimpiade Rio 2016.
Namun, tak ada yang mustahil. Kisah Rudolf Vladimirovich Plyukfelder, atlet angkat besi Uni Soviet yang meraih medali emas Olimpiade pertamanya untuk kelas 82,5 kg pada usia 36 tahun di Olimpiade Tokyo 1964, bisa jadi cerminan Eko.
Masalahnya dinamika angkat besi dunia telah berubah. Salah satu olahraga yang dipertandingkan sejak edisi perdana Olimpiade ini tak lagi sama dengan abad ke-19. Selama abad milenium, usia muda mendominasi kejuaraan angkat besi.
Penelitian Centro es Portivo Virtual yang dirilis pada 2004 menyimpulkan, dari 436 medali selama 1896 hingga 2000, rerata usia peraih medali adalah 25,7 tahun. Atlet berkepala tiga yang meraih medali cuma minoritas.
Dalam penelitian itu juga disimpulkan bahwa semakin dini usia awal latihan atlet angkat besi semakin besar kansnya meraih medali. Diprediksi pula jawara angkat besi pria Olimpiade akan didominasi mereka yang usianya antara 23-24 tahun.
Peta persaingan di kelas 61 kg pun kian berat. Selain Li Fabin (28 tahun), peraih medali emas kelas 61 kg putra Olimpiade 2020, ada beberapa nama yang diprediksi jadi calon raja baru di kelas ringan ini. Dua di antaranya Sergio Massida (19 tahun) dari Italia dan Alexey Drozdov (20 tahun) dari Kazakstan.
Untuk kelas ini Indonesia pun punya harapan baru: Muhammad Faathir (17 tahun). Dalam Kejuaran Dunia Angkat Besi Junior pada November 2020, Faathir meraih medali emas dengan total angkatan 263 kg: 113 kg snacth dan 150 kg clean and jerk.
 Eko Yuli dan Li Fabin jadi rival dalam beberapa tahun terakhir. (AP/Luca Bruno) |
Indonesia juga punya generasi harapan lainnya, seperti Rizki Juniansyah dan Rahmat Erwin Abdullah untuk kelas 73 kg putra. Rizki merupakan juara dunia junior angkat besi 2021. Ini mengingatkan pencapaian Eko pada 2007.
Prestasi Eko di Olimpiade Tokyo 2020 sejatinya sangat luar biasa. Aral dan rintang yang mengganjal sebelum tampil di pesta olahraga termegah sejagat ini tak menghalanginya untuk mencipta prestasi dan mengharumkan nama bangsa.
Dua kendala terbesar Eko sebelum Olimpiade Tokyo 2020 adalah perselisihan dengan PB PABSI yang berujung latihan mandiri dan sempat positif Covid-19 menjelang keberangkatan. Semua aral ini sedikit banyak mengganggu masa persiapan.
Jika pun nantinya Eko tak bisa tampil di Olimpiade Paris 2024, ia tetaplah legenda. Anak dari pasangan pengayuh becak dan pedagang sayur ini merupakan sedikit atlet yang konsisten menyumbang medali dalam empat edisi berturut-turut.
Dua medali perunggu untuk Olimpiade 2008 dan 2012 serta medali perak di Olimpiade 2016 dan 2020, bukan kebetulan. Medali ini diraih dengan pengorbanan besar dan perjuangan optimal dalam prosesnya tak kenal kata 'menyerah'.
Karenanya, sungguh, Eko Yuli tak perlu minta maaf. Meminta maaf itu mulia, tetapi itu 'kata' untuk mereka yang bersalah.
Sementara Eko Yuli sama sekali bukan orang bersalah, apalagi pecundang. Jika masih memiliki mimpi raih medali di Olimpiade Paris 2024, tegakkan kepalamu karena asa tersebut masih terbuka.
[Gambas:Video CNN]