Kontestan Liga 1 2021/2022 kehilangan omzet terbesar karena tak ada penonton di stadion. Bagaimanakah kondisi finansial klub dalam kompetisi di tengah pandemi ini?
Selain tanpa penonton, klub dipastikan tak bisa menarik sponsor insidental di papan iklan pinggir lapangan. Dana puluhan miliar dipastikan melayang. Arema FC misalnya, mengklaim kehilangan potensi dana sebesar Rp22,3 miliar.
Itu belum termasuk kerugian karena ditinggal sponsor. Saat berlaga di Liga 1 2021/2022, Singo Edan hanya akan diperkuat dua sponsor: MS Glow for Men dan Indomie. Empat sponsor Arema lain musim lalu telah resmi menarik diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persik Kediri lebih parah. Jika pada musim 2020 Persik hanya punya satu sponsor utama, untuk musim ini tanpa sponsor. Macan Putih pun telah merilis kostum terbaru mereka, di mana tak ada logo sponsor di bagian dada.
Barito Putera bernasib sama, tetapi 'sedikit' lebih beruntung. Pada bagian dada jersey mereka musim ini masih ada logo perusahaan, walau itu masih bagian dari sang CEO, Hasnuryadi Sulaiman. Satu sponsor Barito dari musim 2020 telah lari.
Karena kesulitan yang hampir merata ini, terutama bagi tim-tim kecil yang setiap musimnya berjuang menghindar dari degradasi, penyesuaian dilakukan. PSIS Semarang yang baru kembali ke kasta tertinggi pada musim 2018, memilih mengunci dompet.
CEO PSIS, Yoyok Sukawi, mengatakan meski masih punya tiga sponsor utama, angka kerja sama pada musim ini turun drastis menyesuaikan pandemi. Tim berjulukan Laskar Mahesa Jenar ini tak berani belanja pemain di bursa transfer.
![]() |
"PSIS di 2021 ini mengatur keuangan dengan ketat. Semua belanja kita efisienkan, disesuaikan dengan pemasukan situasi pandemi. Kami tahun ini tidak banyak belanja pemain dari luar," kata Yoyok kepada CNNIndonesia.
"Kami banyak memaksimalkan hasil binaan sendiri dari EPA dan development. Walau penghematan dilakukan dan keuangan tetap minus, namun kami pemegang saham komitmen untuk tetap berjuang di masa sulit ini," ujar Yoyok.
Sudah begitu klub juga tidak menerima subsidi dari operator kompetisi, PT Liga Indonesia baru (LIB). PSSI dan PT LIB menghapus subsidi dan menggantinya dengan istilah hak komersial, yang itu diberikan per bulan.
Untuk Juli 2021 contohnya, klub mendapatkan dana Rp400 juta. Kasarnya, hingga Maret 2022 nanti, dengan asumsi dapat Rp400 juta per bulan, tiap klub minimal mengantongi dana sebesar Rp3,2 miliar dari PT LIB.
Ini angka yang lebih kecil dari subsidi musim 2020 sebesar Rp5,2 miliar. Juga lebih kecil dari musim 2019 sebesar Rp5 miliar, dan jauh lebih kecil dari subsidi musim 2018 yang mencapai Rp7,5 miliar, asal membentuk tim elite pro academy (EPA).
Direktur Utama PT LIB, Akhmad Hadian Lukita, mengatakan besaran hak komersial untuk klub tidak akan sama setiap bulannya. Pada Agustus, September, dan seterusnya akan meningkat. Soal angka pastinya Hadian mengaku tak hapal.
Adapun perbedaan musim ini dengan musim sebelumnya, transportasi dan akomodasi klub selama menjalani pertandingan dengan sistem bubble to bubble ditanggung operator. Artinya, klub mendapat 'subsidi' dalam bentuk lainnya.
Belum lagi LIB harus menanggung biaya tes kesehatan Covid-19 sebelum dan sesudah pertandingan. Ini bukan biaya yang kecil. Hal inilah yang jadi alasan klub rela pemasukannya dikurangi besar-besaran pada musim ini.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya...