"Hidup hanya menunda kekalahan,
tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah."
Seperti sajak Chairil Anwar di kumpulan Derai-Derai Cemara itu, sepak bola di negara macam Indonesia adalah romantisme sejarah kekalahan. Sialan.
Sial betul, peta negeri beribu pulau ini terpajang di Piala Dunia 1938. Bukan dengan nama Indonesia atau nusantara, melainkan Dutch East Indies atau Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sialnya lagi itu jadi sejarah monumental. Usai proklamasi pada 17 Agustus 1945 hingga 1 Januari 2022, jangankan ikut Piala Dunia, main di ajang kontinental Piala Asia pun baru empat kali.
Sungguh sial, trofi piala bergengsi tak ada. Dua emas SEA Games jadi logam paling mulia.
Namun kesialan sejati adalah mantra 'Macan Asia' ketika berdiskusi di grup WhatsApp sepak bola. Ini azimat tiada tara. Seolah-olah, dulu sepak bola Indonesia pernah sangat berjaya di Benua Kuning. Kapan? Entah.
Indonesia itu 'gila bola' pun cuma narasi masturbasi. Indonesia tak bola-bola banget. Nielsen Sports DNA dalam laporan pada 2018 misalnya, tak memasukkan Indonesia sebagai 20 besar negara penonton sepak bola.
![]() |
Dari total populasi penduduk Indonesia, persentasenya tak sampai 30 persen yang menonton Piala Dunia. Indonesia kalah dari Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Kurang valid? Rating penonton Piala AFF 2020 antara Indonesia versus Malaysia yang digadang-gadang sebagai El Clasico Asia Tenggara, masih kalah dengan sinema elektronik (sinetron) 'Ikatan Cinta'.
Namanya juga romansa, ia penghibur lara, juga teman cerita putus asa. Begitu pula romantisme Timnas Indonesia. Gagal juara sudah biasa, yang penting heroisme menyala-nyala. Merdeka!
***
Saat PSSI disanksi FIFA pada 30 Mei 2015 dan dicabut pada 13 Mei 2016, optimisme menggelora. Ini reinkarnasi titik nol sepak bola Indonesia. Meminjam judul buku Armijn Pane, ini 'Habis gelap terbitlah terang'.
Edy Rahmayadi, seorang tentara yang menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) jadi Gatot Kaca reinkarnasi tersebut. Ia terpilih jadi Ketua Umum PSSI lewat suara mayoritas.
Dengan 'tangan besinya' Edy diharapkan bisa mengarahkan moncong meriam ke wajah pengurus PSSI yang tidak becus. Benar saja, Edy berkali-kali mengeluarkan istilah tentara untuk menakuti stakeholder sepak bola.
Lelaki yang kini menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara itu lantas memilih Luis Milla Aspas, eks-Barcelona dan Real Madrid, sebagai nahkoda skuad Garuda. Racikan Milla membuat suporter terkesima. Jatuh cinta.
Nahas, Milla memilih kontraknya tidak diperpanjang setelah Asian Games 2018. Dikabarkan ada persoalan gaji dan profesionalisme yang melatarbelakangi. Suporter dibuat patah hati.
Pada saat yang sama syahwat politik Edy menyeruak. Meminjam bahasa program televisi Mata Najwa: sepak bola dikendalikan para bebal. Berawal dari mosi tidak percaya, pada 20 Januari 2019 akhirnya Edy mundur dari PSSI.
Delapan bulan setelah itu Mochamad Iriawan, seorang purnawirawan polisi bintang tiga, terpilih jadi Ketua Umum PSSI yang baru. Reinkarnasi jilid dua.
Iriawan lantas mengumumkan Shin Tae Yong, pelatih Korea Selatan yang tampil di Piala Dunia 2018, menjadi juru taktik Timnas Indonesia. Ia dikontrak hingga Desember 2023. Ini rekor baru dalam sejarah PSSI.
![]() |
Belum juga Shin mengeluarkan kesaktiannya, pandemi Covid-19 menyerang. Sepak bola nasional dipaksa hibernasi.
Shin baru bisa mengeluarkan sepuhannya terhadap pemain Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2022 pada Juni 2021. Hasilnya mengecewakan. Beruntung permainan Evan Dimas dan kawan-kawan membaik di playoff Kualifikasi Piala Asia 2023 melawan Taiwan.
Puncaknya di Piala AFF 2020 (2021). Didominasi pemain muda, rerata 23,8 tahun, Evan Dimas dan kolega yang tak diunggulkan malah menembus final. Permainan tim Merah Putih jauh dari memuaskan, tetapi progresif.
Shin, mengutip ucapan Proximo kepada Maximus Aurelius dalam salah satu adegan film 'Gladiator', berhasil mencuri hati penonton seperti yang dilakukan Luis Milla.
Kalimat 'Win the crowd and you will win your freedom' yang kira-kira berarti 'Rebut hati penonton dan kau akan mendapatkan kemerdekaan' berhasil dilakukan Shin. Simpati dari penghuni Colosseum (suporter Timnas) telah didapat. Kini Shin pun merdeka untuk bergaya.
Masalahnya noktah merah Edy di PSSI sumir terdengar mulai diikuti Iriawan. Kabarnya lelaki yang disapa Iwan Bule itu akan terjun ke politik. Mukanya pun dipajang besar-besar di atas pamflet agenda Timnas Indonesia.
Dan, Shin Tae Yong sungguh bukan dewa. Tetap saja pria Korea Selatan ini perlu dikritisi dengan sungguh. Jalan regenerasi yang diambil untuk Timnas Indonesia sejatinya langkah wajar, biasa saja, atau sudah sepantasnya.
Pada 1961 PSSI telah melakukan itu lewat Antun Pogacnic. Anatoli Polosin pun demikian pada 1991, seperti juga yang dilakukan Danurwindo pada 1997, yang lantas bereinkarnasi lagi pada 2017 melalui Luis Milla.
Kisah regenerasi ini hampir sama dengan repetisi misi PSSI. Nurdin Halid pada 2010 dengan menulis buku: 'Visi 2020 Membangun Sepak Bola Indonesia Modern'. Nurdin seolah merevisi slogan yang digaungkan Azwar Anas pada 1994: Tekad Indonesia Menuju Pentas Dunia 2022.
Kini sudah memasuki 2022 tetapi pentas dunia masih jauh. 2020 sudah lewat, dengan sepak bola Indonesia yang masih jalan di tempat.
![]() |
Alkisah, sebelum final Piala AFF 2020 yang berlangsung pada 2021, sebuah video call masuk ke handphone kapten Timnas Indonesia. Usai panggilan itu, Iriawan menulis: 'Let Timnas do the best and God do the rest'. Lantas PSSI ngapain? Berserah pada Tuhan. Religius!
***
Kiamat mungkin masih lama. Kegagalan di final Piala AFF 2000, 2002, 2004, 2010, 2016, dan terbaru 2020, masih bisa ditebus pada 2022. Kalau masih gagal, bisa ditebus lagi pada edisi berikutnya. Begitu seterusnya.
Untungnya PSSI sudah akur dengan Kemenpora. Jadi tak akan ada intervensi yang bisa membuat federasi sepak bola ini kembali diembargo FIFA.
Masih untung juga Timnas Indonesia punya Shin Tae Yong dan generasi muda sepak bola yang ingin berkarier di luar negeri. Perjuangan mereka setidaknya meneduhkan hati.
Untung betul Indonesia. Punya legenda-legenda dan orang kaya yang mau memperjuangkan sepak bola maju dan modern. Toh, masih untung juga kalau itu cuma mimpi.
Seorang bijak pernah berkata, jarak antara sial dan untung itu hanya sehembusan angin. Bagai takdir, ia bisa membawa sial sekaligus untung. Takdir, kata sang bijaksana, sering kali dipengaruhi libido: nafsu.
Jika pemimpin, dalam hal ini tentu saja Iriawan, mengontrol libidonya untuk menjadi politisi, setidaknya sampai akhir masa jabatan di PSSI hingga 2023, kiranya jalan emas Timnas segera merekah. Sastrawan berjuluk Si Kuda Binal dari Yogyakarta, WS Rendra, mengingatkan soal itu pada 1962.
"Hati lelaki yang terbagi,
adalah daging dibajak sangsi.
Hati yang hidup untuk dua bunga,
adalah kali tersobek dua."
Demikianlah puisi Rendra dalam judul 'Lagu Sangsi' di kumpulan 'Stanza dan Blues' itu. Timnas Indonesia pun tak pantas diasuh dengan dua muka: libido emas dan gairah politik. Camkan itu PSSI!
(har)