Liong Chiu Shia lahir di Cirebon tahun 1949. Sejak kecil, ia senang bermain badminton di area gedung perkawinan tempat orang tuanya menjadi pengurus. Setiap malam, di gedung itu banyak aktivitas warga dilakukan mulai dari badminton, tenis meja, catur, hingga sekadar kumpul-kumpul.
"Marga saya Liong tetapi di bahasa mandarin jadi Liang," ucap Chiu Shia.
Sebagai atlet badminton, Liong Chiu Shia ters meniti karier hingga bisa jadi wakil Jawa barat dan tampil di sejumlah kejuaraan level nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat Tim dari China datang ke Indonesia, Chiu Shia mendapat ajakan untuk berlatih dan melanjutkan sekolah di China. Chiu Shia lalu mengiyakan ajakan tersebut dan ia pergi ke China.
"Saya bercita-cita mau jadi pemain hebat. Dari keluarga saya, bebas saja yang terpenting jalannya tetap lurus. Mungkin orang tua keberatan juga saya pergi karena saya anak perempuan satu-satunya. Mereka sedih tetapi tidak mau membatasi," ucap Chiu Shia.
Chiu Shia lalu melanjutkan karier badminton di China. Saat itu China masih belum tergabung dengan International Badminton Federation (IBF) sehingga ia tidak berpartisipasi di kejuaraan-kejuaraan internasional di bawah naungan IBF.
Namun Chiu Shia bisa membuktikan kehebatannya lewat prestasi di ajang Asian Games saat China bisa bertarung bersama negara-negara kuat badminton lainnya.
"Pikiran saya saat itu ingin melanjutkan cita-cita jadi pemain hebat. Saya bisa juara di China dan juga ikut sejumlah pertandingan di berbagai negara."
"Saya juara Asia 1976 dan bisa berprestasi di Asian Games," kata Chiu Shia.
Setelah pensiun sebagai pemain, Chiu Shia mendapat tawaran dari Menteri Pemuda dan Olahraga Abdul Gafur untuk pulang ke Indonesia. Chiu Shia menyetujui tawaran itu karena selama di China ia juga tidak pernah bisa bertemu dengan keluarganya di Indonesia.
![]() |
"Saya berbeda dengan Tong Sin Fu soal kembali ke Indonesia. Dia masuk lebih dulu untuk melatih di Pelita punya Pak [Aburizal] Bakrie. Kalau saya, saya datang karena diminta oleh Pak Abdul Gafur."
"Mungkin sebelum itu beliau lebih dulu berbicara dengan adik saya yang juga mantan pemain nasional [Tjun Tjun]," tutur Chiu Shia.
Di pelatnas PBSI, Chiu Shia diserahi tugas untuk menggembleng Susy dan kawan-kawan yang saat itu masih belia sejak 1985.
"Saat saya mulai pegang, masih pada belum apa-apa, masih belum bagus. Setelah saya pegang beberapa lama, baru juara dunia junior, lalu 1989 baru mulai muncul tahun 1989 saat ikut membawa Indonesia juara Piala Sudirman," ujar Chiu Shia mengenang.
Salah satu kehebatan Susy adalah footwork dan kakinya yang lincah di lapangan. Chiu Shia punya peran besar di balik hal itu namun ia menekankan bahwa footwork hanyalah salah satu dari banyak hal yang diperhatikan dalam dunia badminton.
"Melatih kaki itu penting, kalau tidak bisa mengejar shuttlecock bagaimana bisa menang. Bagi saya, main itu mesti menang dan saat latihan adalah cara melatih bagaimana bisa menang."
"Badminton terus berkembang. Selain footwork, pukulan juga harus matang, akurasi bagus. Bahkan jari-jari saat memegang raket pun harus terkendali. Bila miring sedikit, pukulan yang dilakukan tidak tepat jatuh di garis tetapi out."
Berhasil memunculkan deretan pebulutangkis tunggal putri berprestasi di era 90-an, Chiu Shia mengaku dirinya bukanlah pelatih yang galak. Chiu Shia menyebut dirinya adalah pelatih yang suka berbicara terbuka kepada pemain.
"Misal saya bilang begini,'PBSI ini bukan rumah kamu. Ini masa depan kamu. Latihan yang benar. Kalau gak benar, pulang saja. Kalau sudah gak mau latihan, pulang saja'. Saya ngomong blak-blakan tetapi mereka ngerti maksud saya saat ngomong itu," ujar Chiu Shia.
Bertahun-tahun mendampingi dan membangun kekuatan Tim Indonesia, Liong Chiu Shia butuh proses panjang sampai akhirnya ia bisa mendapatkan status sebagai WNI. Ia sempat merasakan menggunakan paspor sekali jalan sebelum status WNI terbit bagi dirinya.
Kini di usia jelang 73 tahun, Liong Chiu Shia masih belum meninggalkan dunia badminton. Ia masih menjadi pelatih karena masih banyak yang ingin merasakan tangan dinginnya.
Liong Chiu Shia berharap pemain-pemain Indonesia tidak lupa untuk terus punya tekad dan cita-cita yang tinggi serta tidak terlena dengan kejayaan Indonesia di masa lalu.
"Orang hidup itu mesti ada cita-cita, bukan makan tidur saja Kalau tekadnya bulat, bisa sukses. Sebagai pemain, harus terus belajar. Bahkan dari pelatih yang tidak bagus pun, mungkin ada sesuatu yang bisa diambil dijadikan pelajaran."
"Belajar, belajar, dan terus belajar, Jangan merasa paling hebat karena persaingan sekarang makin merata," tutur Liong Chiu Shia berpesan.