Jakarta, CNN Indonesia --
Insiden sepak bola gajah PSS vs PSIS 2014 menjadi kenangan yang tidak bisa saya lupakan sepanjang karier di sepak bola.
Suasana sebelum lawan PSIS itu secara umum normal saja. Cuma yang saya heran kenapa pertandingan itu dipindah dari Stadion Maguwoharjo ke lapangan Sasana Krida Akademi Angkatan Udara, padahal kami tidak dalam hukuman apa-apa.
Sebelumnya kami main di Wamena dan menang di sana. Harus diingat bahwa saat itu tidak ada tim yang mampu menang di Wamena selain kami [PSS].
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi ceritanya itu, sebelum kami lawan PSIS ada bentrokan suporter hingga ada yang meninggal dunia. Makanya kami dipindah pertandingannya.
Dari situ saya agak curiga kenapa dipindah dan digelar tanpa penonton. Ya sudah, seperti biasa kami briefing sebelum pertandingan. Tapi waktu pertandingan itu kok semuanya berantakan.
Saya marah-marah di pinggir lapangan saat itu, "Main bola kok kayak begini, yang satu enggak mau menyerang, sedangkan yang satu juga begitu."
Karena saya marah-marah terus, saya diminta salat oleh teman-teman ofisial. "Sudah Mas Herry salat saja dulu!"
 Herry Kiswanto saat bermain dalam laga ekshibisi. (Arsip Pribadi Hery Kiswanto) |
Ternyata waktu saya tinggal salat, kejadianlah empat gol bunuh diri. Skor 2-2 untuk PSS dan PSIS. Saya waktu itu salat di babak kedua. Waktu di babak pertama saya masih lihat anak-anak main. Dan itu saya lihat masih normal.
Sewaktu saya salat ada satu pemain lari ke saya. Namanya Waluyo. Saya masih salat saat itu, tapi saya dengar dia menangis.
Kemudian dia banting sepatunya ke lantai. Pas selesai salat saya tanya: "Kamu kenapa? ", dia bilang, "Mas Herry, saya disuruh main tapi cetak gol bunuh diri."
Begitu saya keluar sama dia, ternyata skor sudah 2-2. Terus enggak lama satu gol bunuh diri lagi terjadi. Saya marah-marah sama asisten. Lho, itu kenapa pemain pada diganti? Asisten saya ketakutan tuh.
Lalu kiper saya juga diganti dan berdirinya itu ke tengah terus. Ah, sudah janggal saja semuanya. Itu sudah di luar kuasa saya, saya merasa diri saya itu sudah tidak ada apa-apanya di situ.
Pertandingan kemudian diselesaikan sebelum 90 menit. Saya juga marah sama wasit.
Anehnya itu setelah peluit akhir dibunyikan sekejap semua orang bubar semua. PSIS bubar entah ke mana, para pengurus juga bubar. Tinggal saya dengan para pemain saja merunduk. Saat itu saya sudah berpikir ini pasti akan ada sanksi berat.
Itu benar-benar sepak bola yang merusak. Itu pengecut. Itu banci. Jelas saya malu sekali, nama saya tercoreng. Apalagi seharusnya kami bisa promosi, tetapi kok kenapa akhirnya begini.
Kita sudah rancang dari awal dari persiapan kok akhirnya begitu. Itu saya sangat kecewa berat dan marah. Semua perasaan campur aduk. Saya pun saat itu hanya ingin pulang untuk menenangkan pikiran bersama keluarga.
Akibat skandal itu saya mendapatkan hukuman larangan berkecimpung di sepak bola Indonesia seumur hidup. Saat itu Komdis PSSI-nya pak Hinca (Panjaitan) dan anehnya ketika itu sanksinya PSIS dan PSS degradasi ke Liga Nusantara.
Saya pun langsung melawan karena tidak merasa melakukan hal yang tidak benar. Saya juga bilang ke pemain kalian jangan takut untuk ceritakan semuanya ke Komdis.
Akhirnya pemain itu cerita kalau mereka disuruh pengurus. Tapi pemain tidak mau menyebutkan nama karena mereka takut gajinya tidak dibayar.
Makanya saya waktu itu kejar-kejar Hinca Pandjaitan, saya bilang, "Kamu ini pengacara apa, untuk menentukan seseorang jadi tersangka itu kan ini minimal harus ada dua alat bukti. Ini satu alat bukti pun tidak ada."
Ya akhirnya memang karena pengaruh politik akhirnya kita yang dihukum.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Tapi saat Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi terpilih, saya dipanggil lagi oleh semua Exco PSSI, termasuk ada Joko Driyono. Akhirnya Pak Edy dengan hak prerogatifnya meminta Exco untuk rapat lagi untuk memutuskan pemutihan pada sanksi saya.
Itu saya salut sama Pak Edy karena ketegasannya. Mungkin kalau bukan Pak Edy, tidak akan setegas itu. Bahkan beberapa Exco PSSI juga mengakui kalau saya itu tidak tahu apa-apa soal kejadian di balik layar sepak bola gajah itu.
Akhirnya saya bebas dan sebagian pemain juga diputihkan dari sanksi. Padahal sebelumnya, saya sudah niat mau lapor ke Presiden Jokowi. Cuma kata pejabat-pejabat tidak usah sampai ke presiden.
Kemudian saya bilang ke penyidik Bareskrim Polri saat pemeriksaan. Saya ini sangat mencintai sepak bola jadi tidak mungkin saya mencederai sepak bola yang sudah saya perjuangkan untuk bendera Merah Putih.
Bahkan kalau boleh disobek badan ini, darah saya ini darah bola dan darah Merah Putih. Saya tidak bakal ingkar di sini. Kalau saya berbuat seperti itu lebih baik saya ditembak saja pak.
Dalam prosesnya saya itu sering dipanggil untuk menghadap Pak Edy di Kostrad. Terus di Bareskrim Polri, saya dua kali dipanggil untuk memberikan keterangan.
Bahkan salah satu penyidiknya bilang keterangan saya ini paling bagus. Keterangan yang lain ini palsu semua. Keterangan saya itu nilainya delapan, kalau yang lain itu nol.
Istri saya juga selalu mengingatkan saat kasus itu bergulir. "Pah, hati-hati di jalan takut ada yang mencelakai."
Aah, kata saya tidak apa-apa mati di sepak bola yang penting tegakkan kebenaran. Karena memang saat itu dikabarkan banyak preman-premain yang ditugaskan agar orang-orang ini tutup mulut.
Namun, akhirnya saya bersyukur sudah tidak ada masalah dan sanksi sudah dicabut. Alhamdulillah setelah itu saya langsung dapat tawaran dari Persela dan saya langsung menerimanya.
Jadi tidak mungkin saya melakukan hal kotor seperti itu. Sepanjang karier saya di sepak bola pun saya hanya dapat satu kartu kuning.
Karena saya itu tidak pernah menjegal lawan. Kartu kuning itu saya dapat karena protes waktu jadi kapten. Padahal saya lindungi wasit dari amarah rekan-rekan saya saat itu.
Tapi saya dengar-dengar wasit tersebut setelah itu dihukum tidak ditugaskan 3 bulan karena salah dalam ambil keputusan. Selang tiga bulan kemudian saya kembali bertemu dengan wasit tersebut dan dia datang kepada saya untuk minta maaf karena salah mengambil keputusan saat itu.
Selain momen tidak mengenakan, saya juga punya beberapa kenangan indah di sepak bola. Seperti saat saya membawa Timnas Indonesia juara SEA Games untuk kali pertama pada 1987.
Selain itu saya juga pernah menjadi penentu lolos ke fase-fase akhir Kualifikasi Piala Dunia 1986 Zona Asia. Saat itu kami berhasil keluar sebagai juara grup dan lolos ke subgrup. Tapi, di partai penentuan kami kalah dari Korea Selatan. Padahal kalau kami menang dari Korsel kita berangkat ke Piala Dunia Meksiko itu.
Jadi ada cerita lucu jelang pertandingan lawan Korsel itu. Sewaktu itu pengurus tim memanggil dukun tanpa sepengetahuan pelatih Timnas Indonesia Sinyo Aliandoe.
Waktu itu kami main malam, nah di siang harinya itu empat pemain pilar tim yaitu kiper, belakang, tengah, dan pemain depan dipanggil ke sebuah ruangan untuk mendapat sentuhan magis yang macam-macan sesuai posisi bermain.
Kalau saya itu dikarate atau dipukul di perut karena saya bek. Perut saya dielus-elus, dijampe-jampe, disemprot air, lalu dikarate kayak orang karate membelah batu bata gitu. Habis itu bukannya perut saya tambah kuat, malah sakit seharian dan tidak bisa istirahat sampai pertandingan.
Itu cerita yang paling tidak bisa saya dilupakan. Setiap berkumpul sesama teman-teman mantan pemain, cerita itu selalu mengundang gelak tawa.
[Gambas:Video CNN]