Saya lahir di Bontonompo, Gowa, Sulawesi Selatan. Saya mulai kenal dayung itu saat SMP ketika ada seleksi kejuaraan antarsekolah. Mungkin dilihatnya postur saya tinggi dan dianggap berpotensi jadi terpilih.
Saya lolos dan kemudian menekuni dayung. Sebelumnya, saya tak punya pengalaman sama sekali soal dayung. Di daerah saya, tidak ada sungai, laut, atau danau. Saya tidak tinggal di pinggir laut atau pinggir sungai sehingga terbiasa dengan olahraga dayung.
Tidak. Saya tidak berasal dari daerah seperti itu. Di daerah saya, ada air menggenang seperti sungai itu paling saat musim hujan, di bekas-bekas galian tambang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu SMP itu pun saya masih belum lancar berenang, padahal salah satu atlet dayung itu tentu persyaratannya bisa berenang. Saya hanya bisa berenang bermodal waktu kecil main-main di area bekas tambang itu.
Saat mengenal dayung, tinggi saya 170cm, paling tinggi dibanding yang lain. Saya melihat olahraga dayung sebagai sesuatu yang tak lazim. Kok ada olahraga seperti ini.
Itu pikiran saya. Tetapi saya merasa kayaknya saya bisa nih. Saya coba-coba saja barangkali bisa mengubah hidup.
Ya sudah terjunlah saya di titik itu. Saya latihan dua bulan langsung ikut Pekan Olahraga Daerah (Porda). Di sana langsung berhasil merebut peringkat kedua.
![]() |
Waktu mulai berprestasi, ada bonus sebesar Rp3 juta. Uang jajan saya saat itu Rp5 ribu. Wuih luar biasa ini, begitu pikiran saya waktu itu.
Saya lalu mengikuti berbagai kejuaraan junior hingga akhirnya bisa tampil di PON 2004. Setelah PON, atlet-atlet junior yang dianggap berpotensi lalu dikumpulkan. Saya pun mulai masuk tim nasional dan jadi anggota tim dayung.
Bila ditanya cita-cita, mungkin awalnya jadi tentara. Saya pernah daftar tiga kali jadi tentara tetapi tidak pernah diterima.
Begitu saya sampaikan keinginan untuk jadi atlet dayung, orang tua merestui. Mereka mendukung karena siapa tahu olahraga dayung bisa mengubah nasib.
Salah satu kenangan yang paling indah bersama tim dayung adalah Asian Games 2010 saat kami meraih tiga emas di nomor dragon boat alias perahu naga. Saat itu tim perahu naga hampir tidak diberangkatkan. Mungkin karena ini tim besar. Satu tim isinya 24 orang, dan ada dua tim putra-putri.
Lalu bertandingnya di China, lumayan jauh. Olahraga itu juga jadi andalan tuan rumah China.
Akhirnya kita berangkat dengan tekad memberikan yang terbaik. PODSI sendiri sebetulnya sudah optimistis sebelum berangkat. Target kami meraih satu emas, terpenting ada emas dari keikutsertaan kami.
Kami datang ke Asian Games tanpa beban. Kami menganggap kami memang bukan siapa-siapa dan tidak ada apa-apanya sama sekali. Dalam tim, belum ada atlet yang pernah merasakan bonus di atas Rp500 juta.
Lalu kami berhasil menang di nomor 1000 meter. Dari situ mulai muncul keyakinan kami bisa menang kembali di nomor 500 meter. Begitu menang lagi, kami makin yakin juga bisa menang di 250 meter.
![]() |
Dari titik itu, tim dayung Indonesia mulai diperhitungkan. Kemenpora dan KONI makin mendukung dayung jadi salah satu olahraga andalan Indonesia dan Alhamdulillah kita masih bisa jadi lumbung medali.
Soal bonus Asian Games 2010, hal itu juga jadi cerita menarik. Karena awalnya memang belum ada kejelasan, Rp400 juta itu untuk satu perahu atau per orang.
Karena itu, begitu menang di 1000 meter, kita bertekad untuk bisa meraih kemenangan lagi di 500 meter dan 250 meter. Biar bonusnya lumayan besar bila dibagi 24 orang. Karena waktu itu pikirannya Rp400 juta itu satu perahu.
Tetapi ternyata, begitu tiba di Jakarta, kami diberitahu bahwa Rp400 juta ini untuk per keping emas per orang. Pemerintah menyebut bahwa prestasi kami merupakan sebuah kebanggaan.
Kami pun langsung berpelukan.
Dayung ini mengubah hidup saya, dari orang yang tidak ada apa-apanya dan mungkin tidak dianggap orang lain, jadi orang yang bisa dikenal di kampung sendiri, bahkan di Indonesia.
Buat istri saya, Jumriani, terima kasih sudah mendukung saya selama perjalanan karier. Dari pacaran saat SMP hingga dikaruniai empat anak saat ini. Love you so much Istriku dan anak-anak tercinta yang selalu sabar ditinggal selama Pelatnas.
Pesan saya untuk depan, mudah-mudahan generasi selanjutnya terus bekerja keras. Negara lain tentu tidak akan tinggal diam. Indonesia tidak boleh berleha-leha. Harus meningkat dan harus lebih dari ini.
(ptr)