Sebelum jadi pelatih, bagaimana perjalanan karier Anda?
Saya lahir tahun 1974. Rumah saya di Binjai, 45 menit dari Medan. Tujuan awal saya main badminton, itu supaya bisa cari kerja di Sumatera Utara dan membantu orang tua.
Setelah berkarier di Medan, saya gabung Bimantara Tangkas pada 1991 hingga 1996 lalu dipanggil PBSI bulan November tahun 1996.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya masuk PBSI bersama Rony Agustinus, adiknya Alan Budikusuma yaitu Yohan Hadikusuma, dan Taufik Hidayat.
Karena masuk bersamaan, berarti sama Taufik akrab?
Teman baik, sampai sekarang pun tetap baik. Tidak ada masalah antara saya dengan Taufik, sejak di pelatnas kami sudah akrab. Sampai sekarang pun tidak ada masalah.
Jadi jangan salah pengertian bahwa saya dan Taufik ada masalah. Yang terjadi saat ini itu merupakan pendapat masing-masing saja kan, tidak ada masalah kok.
Saya memberi tahu atlet juga tidak boleh sakit hati dan dendam terhadap kritikan. Saya didik mereka supaya bagus dari pikiran dan tidak ada rasa pesimis sama orang.
![]() |
Bagaimana karier Anda sebagai pemain?
Saya banyak cedera. Pernah ada syaraf kejepit di pinggang, pernah dirawat di rumah sakit. Lutut juga harus operasi karena sobek. Akhirnya tahun 2000, saya keluar dari pelatnas.
Usia Anda masih 26 tahun saat itu. Sudah langsung memutuskan tak lanjut karier di badminton?
Iya, karena cedera. Jadi waktu itu Rexy Mainaky ada di Inggris, dan saya dapat tawaran dari Wales untuk jadi sparring partner.
Jadi saya coba saja ke luar negeri karena saya sebenarnya masih mau jadi pemain lagi. Saya lalu jadi sparring partner di sana, tetapi juga ikut kompetisi dengan membawa nama Wales. Saya sering juara di sirkuit Eropa dan sempat masuk Top 12 dunia saat membawa nama Wales.
Lalu bagaimana awal mula karier kepelatihan?
Karena di Wales sering juara, saat itu sambil main saya juga mengajar privat untuk mencari pemasukan tambahan. Atlet-atlet yang saya latih banyak yang maju. Orang tua mereka pun meminta saya buka akademi.
Bahkan saat itu ada orang dari Swiss minta privat ke saya, begitu juga ada orang Inggris yang butuh enam jam perjalanan untuk mencapai tempat saya.
Akhirnya saya buka akademi, modal sendiri. Sewa lapangan, bayar per bulan. Lama-lama pemain yang berlatih banyak yang jadi fokus.
Saya lalu fokus memutuskan untuk jadi pelatih karena capek juga bila terus menjadi pemain, mungkin sekitar tahun 2008 atau 2009.
Bagaimana perkembangan akademi yang dibuat saat itu?
Dalam diri saya, ada rasa ingin melatih tim nasional. Saat itu saya berpikir bahwa saya sudah mau menikah, tunangan saya orang Wales. Jadi sebelum memutuskan ke Siprus, saya lamar dia.
Saya juga mengajukan lamaran jadi pelatih ke Siprus dan diterima jadi pelatih Siprus. Saya dua tahun di sana, istri saya lalu juga ikut saya pindah ke Siprus.
Akademi di Wales saya tutup karena bila saya tidak ada di tempat belum tentu jalan. Bila ada yang bantu juga belum tentu bisa jalan dengan benar.
Dua tahun di Siprus, saya bisa meningkatkan standard mereka. Namun saya ingin melatih negara yang lebih kuat karena butuh tantangan.
Akhirnya saya melamar kerja ke Irlandia dan diterima. Di Irlandia, kualitas pemain lebih bagus dibanding di Siprus. Saya bisa mengantar pemain Irlandia, Nhat Nguyen juara Eropa U-17 dan membawa Scott Evans masuk 16 besar di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
![]() |
Kemudian kapan tawaran untuk melatih Indonesia itu datang?
Di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Pak Gita Wirjawan, lewat Rexy Mainaky, memberikan tawaran langsung. Saat itu Koh Hendry Saputra sedang mencari asisten pelatih.
Ya sudah, saya juga punya keinginan bantu adik-adik di Indonesia. Irlandia sebenarnya mau perpanjang kontrak saya, tetapi begitu saya dapat tawaran dari Indonesia, saya minta maaf pada Irlandia dan memutuskan pulang ke Indonesia.
Apakah perlu waktu lama untuk berpikir saat tawaran dari Indonesia datang?
Tidak. Saya bilang siap. Saya mau memberi yang terbaik untuk Indonesia. Karena saat jadi pemain, saya tak sempat jadi juara dunia. Sebagai pelatih, saya ingin menaikkan kualitas tunggal putra.
Makanya, saya terima tawaran untuk kembali ke Indonesia. Setelah Olimpiade, saya pulang ke Indonesia.
Setelah enam tahun melatih di Indonesia, apa yang Anda rasakan?
Senang bisa membantu. Niat saya ingin meningkatkan kualitas tunggal putra, sebisa mungkin memajukan tunggal putra. Tidak ada capeknya.
Apa mimpi terbesar sebagai pelatih tunggal putra?
Saya ingin menjadikan pemain juara dunia, juara Olimpiade. Sebagai pelatih tentu ada keinginan seperti itu. Saya ingin membuat pemain andal.
Bisa atau tidaknya, memang Allah yang sudah mengatur. Jadi saya kerja saja sungguh-sungguh dan lihat hasilnya kemana.
Bagi saya, yang penting prosesnya dijalani dengan benar. Yang penting menunjukkan kerja keras untuk maju.