Saya pikir saya beruntung. Saya hidup, bahkan jadi saksi sejarah, Timnas Indonesia menjadi juara, walau yang dimaksud hanya (baru) dari tim kelompok umur.
Setelah saya timbang pikir, keberuntungan ini ternyata kolektif. Bukan saya seorang yang merasa. Meski beruntung itu abu-abu, saya bangga. Dalam falsafah Jawa beruntung itu manifestasi luhur; syukur.
Ada empat emas sepak bola yang saya saksikan: Piala AFF U-19 2013, Piala AFF U-16 2018, Piala AFF U-23 2019, dan Piala AFF U-16 2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalahnya semua pencapaian ini, meminjam istilah pundit sepak bola media sosial, juara semu. Tak perlu bangga berlebih untuk gelar kategori usia. Juara level senior adalah pencapaian sesungguhnya. Anda tak salah!
Namun, saya ingin ajukan satu pertanyaan buat Anda. Pertanyaan ini persis seperti ditulis Paulo Coelho dalam novel 'Manuscrito Encrotado en Accra' yang mengutip perkataan Sang Guru ketika menjawab permintaan Yakob: "Ajari kami tentang kekalahan."
Begini pernyataannya: "Apakah daun yang gugur dari pohon di musim salju merasa dikalahkan oleh hawa dingin?"
***
Saya ingin berangkat dari satu cerita. Sabtu (13/8) pagi seusai final Piala AFF U-16 2022 di Sleman pada Jumat (12/8) malam, seorang kawan mengirim pesan: "Sepak bola kita ini kalah ribut, menang gelut."
Cusss, saya meluncur ke Twitter. Ada dua isu besar yang menggema, ucapan "local pride' Muhammad Haris Maulana (Markus Horison) dan Ketua Umum PSSI (Mochamad Iriawan) bersama Menpora (Zainudin Amali) ikut angkat trofi.
Namun bukan dua soal itu yang mengganggu. Ada soal lain. Ialah prediksi anak-anak Garuda Asia akan ranggas sebelum ranum. Kisah angkatan Evan Dimas (2013) dan Rendy Juliansyah (2018) studi kasusnya.
![]() |
Mengapa banyak talenta muda luruh sebelum masa emasnya? Pendalaman konteks perlu dilakukan. Analisis reportase adalah empiris yang lemah. Dampaknya tak ada kajian ilmiah yang mengupas persoalan inti sarinya.
Studi olahraga di Eropa, dari Sports Psychology and Peak Performance Tips dan National Library of Medicine, ada lima persoalan yang membuat talenta muda layu lebih dini, yaitu cedera, fisiologi, etos kerja, kelelahan emosional, dan ekosistem elite (support system).
Kualitas nomor satu hingga tiga bisa dilihat dengan kasat mata. Beda halnya dengan nomor empat dan lima.
Ciri-ciri pemain yang kelelahan emosional biasanya kena demam star syndrome. Sejumlah nama, jika tidak disebut banyak, bisa menjadi menjadi contoh konkret.
Adapun ekosistem elite terkait gaya hidup. Pola makan yang berkaitan nutrisi dan kadar gizi salah satunya. Soal gizi ini merupakan masalah akut di sepak bola Indonesia, selain infrastruktur dan wasit.
Salah satu bukti paling cetar membahana adalah pesepakbola papan atas Indonesia yang melalui media sosial Instagram sempat menulis: "Yang penting halal."
Rebel sekali. Kiri banget. Dalam istilah Albert Camus ini termasuk sikap pemberontak akut.
Perilaku itu bukan satu-satunya. Banyak. Bahkan banyak sekali, kalau tidak disebut mayoritas.
![]() |
Belum ada ekosistem elite di sepak bola Indonesia yang mendukung atlet untuk tumbuh menjadi bintang. Itu sebabnya harus ada revolusi kultural soal makanan ini. Revolusi yang digelorakan dan didemonstrasikan secara sadar oleh para pemain dan pelatih.
Seperti saat tampil di kejuaraan, semuanya sadar gizi, nutrisi, dan etos tinggi. Semuanya ingin memberikan yang terbaik, kebanggaan, dan gelar.
Mungkin Timnas Indonesia butuh 999 kejuaraan dan partai final, agar semuanya dalam kondisi dan kesadaran terbaik. Agar semuanya tampil layaknya atlet unggulan pada hari-hari biasa. Hidup dengan cara atlet.
Kalau cuma gelar juara, saya pikir, akan segera datang. Tidak akan lama lagi.
***
William Faulkner, novelis Amerika Serikat berkata: "Kita semua gagal mencapai impian mengenai karya yang sempurna. Maka rata-rata kita berada pada kegagalan indah untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin terjangkau."
Juara Piala AFF U-16 2022 di Sleman pun tak sempurna. Ada sedikit noda, yakni ucapan Markus Horison selepas laga final.
Ungkapan spontan nan emosional soal 'local pride' bisa ditafsir liar. Sangat bisa menjadi negatif atau sebaliknya. Tetapi kebanggaan Markus tak salah. 'Local pride' itu sebuah nasionalisme. Rasa ini pantas terus digelorakan.
![]() |
Namun bukan 'kelokalannya' yang perlu diagung-agungkan, melainkan kualitas lokalnya. Nasionalisme yang dibungkus dengan kesadaran dan etos untuk unggul dari bakat-bakat unggul mancanegara, seperti diperlihatkan atlet bulutangkis dan angkat besi. Etos jawara.
Timnas Indonesia kiranya tak butuh bualan semu 'local pride' yang hanya di bibir saja. Timnas Indonesia sangat membutuhkan bibit lokal yang bangga dengan kinerja keatletannya. Satu Timnas tanpa local pride pun bisa juara, kalau yang dicari adalah gelarnya.
Ini bulan merdeka. Agustus. Gelar juara Piala AFF U-16 2022 jadi kado indah kemerdekaan. Terima kasih Bima Sakti, staf pelatih, dan segenap pemain. Untuk Markus, mari kawal dan buktikan bersama 'local pride' itu gaya hidup bukan gaya-gayaan.
(har)