Jakarta, CNN Indonesia --
Polemik muncul usai Timnas Indonesia U-16 keluar sebagai juara Piala AFF U-16 2022 di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Jumat (12/8) malam WIB.
Dalam nuansa penuh euforia merayakan gelar kedua buat tim Garuda Asia, asisten pelatih Markus Horison meneriakkan kata-kata 'local pride campione' yang kira-kira artinya 'kebanggaan lokal juara'.
Pernyataan mantan kiper nomor satu Timnas Indonesia itu tertangkap kamera dan sontak viral di media sosial. Muncul anggapan dari netizen kata-kata yang dilontarkan oleh Markus menyindir pelatih tim Merah Putih, Shin Tae Yong.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anggapan tersebut muncul karena Shin Tae Yong merupakan pelatih yang terbilang aktif menyodorkan nama-nama pemain untuk dinaturalisasi memperkuat Timnas Indonesia.
Maka dari itu pemain seperti Shandy Walsh, Shayne Pattynama, dan Jordi Amat kini tinggal menunggu waktu untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Selain di level senior, pencarian pemain naturalisasi juga dilakukan untuk proyeksi skuad Timnas Indonesia U-20 meski belum ada yang kualitasnya memuaskan.
Alasan Shin Tae Yong jelas, naturalisasi pemain dilakukan demi menaikkan level kompetitif tim. Kehadiran pemain naturalisasi dan juga pemain keturunan diharapkan bisa memberi dampak signifikan yang tentu ujung-ujungnya adalah prestasi buat Timnas Indonesia.
[Gambas:Video CNN]
Soal sindir-menyindir ini sudah dengan tegas dibantah oleh Markus. Pelatih kiper berusia 41 itu memastikan kata-kata 'local pride' itu khusus ditujukan sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan Muhammad Kafiatur Rizky dan kawan-kawan karena mampu keluar sebagai juara.
Markus jelas tak ingin polemik semakin melebar dengan kata-kata 'local pride' tersebut. Apalagi baik Markus dan Shin Tae Yong bekerja di tempat yang sama yakni PSSI sebagai pelatih tim nasional.
Sinergi jelas diperlukan di antara setiap jajaran pelatih mulai dari Timnas U-16 hingga senior. Sinergi juga perlu dibangun rapih karena pembinaan yang berkesinambungan niscaya akan melahirkan talenta-talenta pemain Indonesia yang hebat, yang nantinya bisa membawa tim Garuda berkibar lebih tinggi lagi.
Bukan hanya di kancah Asia Tenggara tetapi juga di pentas Asia. Sebuah tugas yang saat ini tentu sedang dipikul oleh seluruh pelatih timnas, apapun levelnya.
Baik itu oleh Bima Sakti dan staf dan juga Shin Tae Yong bersama para koleganya.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>
Lantas apa yang salah dengan 'local pride' dan keinginan melakukan naturalisasi pemain? Karena sebenarnya dua hal ini bisa berjalan bersamaan, berdampingan, tanpa merugikan satu dengan yang lain.
Punya segudang pemain hebat yang benar-benar datang dari akar rumput pembinaan sepak bola di tanah air tentu akan memberikan kebanggaan buat kita semua. Talenta-talenta muda ini akan menebalkan kepercayaan kita bahwa Indonesia tak pernah kehabisan bakat luar biasa.
Namun melakukan naturalisasi pemain juga bukan sesuatu yang haram. Asalkan naturalisasi yang dilakukan sudah diukur dengan matang, tepat sasaran, dan tidak terkesan murahan.
PSSI harapannya sudah belajar soal ini. Terutama setelah banyaknya pemain naturalisasi gagal macam Jhonny Van Beukering yang jelas tidak memberikan dampak apapun buat Timnas Indonesia.
Markus saat masih berseragam Timnas Indonesia juga tak asing dengan kata naturalisasi. Mantan pemain PSMS Medan itu pernah bermain di tim Merah Putih bersama penyerang naturalisasi berdarah Uruguay, Cristian Gonzales.
Toh, di negara-negara lain yang sepak bolanya sudah maju, naturalisasi bukan hal yang tabu. Contoh kecil seperti Jerman yang pernah diperkuat Cacau dan Gerald Asamoah, begitu pula dengan Jepang yang menaturalisasi pemain asal Brasil, Alex dos Santos.
Tujuan dari naturalisasi pemain ini jelas, demi prestasi timnas di negara tersebut tanpa bermaksud menepikan pemain lokal yang memiliki kualitas. Ini juga yang seyogyanya jadi fokus seluruh pihak, tanpa perlu ribut-ribut pemain lokal atau naturalisasi.
Karena harus diakui untuk saat ini Indonesia, di level Asia Tenggara saja tertinggal beberapa langkah dari Thailand dan Vietnam. Bukan hanya dari segi prestasi tetapi juga bagaimana serius membangun tata kelola sepak bola yang baik.
Ketertinggalan itu tidak sepantasnya menjadi salah pemain. Sorotan justru harus diarahkan kepada PSSI yang memang diberikan tanggung jawab untuk mengelola dan menjalankan amanah dalam memajukan sepak bola Indonesia.
Perkara mencetak pemain muda berkualitas bukan semudah membalikkan telapak tangan. Bukan pula pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam hitungan sebentar.
Ada banyak hal yang harus dikerjakan, ada pengorbanan yang harus dilakukan. Sedikitnya mulai dari pembinaan yang berjenjang dari level kelompok umur, infrastruktur yang mendukung, kehadiran pelatih-pelatih usia muda yang mumpuni, dan tentunya kompetisi yang berkualitas serta berjenjang.
Jika ini bisa dilakukan secara konsisten maka talenta-talenta pemain lokal niscaya akan banyak muncul. Berlimpahnya pemain berkualitas akan memudahkan kerja pelatih, termasuk timnas senior untuk membangun kerangka tim yang kuat dan bisa bersaing di Asia.
[Gambas:Video CNN]