Jakarta, CNN Indonesia --
Tragedi Kanjuruhan yang menelan korban hingga ratusan jiwa adalah insiden luar biasa. Maka, jangan sia-siakan nyawa Aremania dengan debat kusir tak berujung.
Sejauh ini, data resmi pemerintah menyebut korban meninggal dunia usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya mencapai 131 orang.
Pemuda, ibu-ibu, dan anak-anak di bawah umur pun termasuk di dalamnya. Dua aparat kepolisian pun jadi korban. Sungguh peristiwa yang memilukan bagi bangsa ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nyawa-nyawa itu melayang bukan karena bentrok antarsuporter. Hampir sebagian besar dari mereka meninggal karena berdesak-desakkan dan sesak napas. Tak sedikit pula yang terinjak-injak.
Insiden ini dipicu segelintir fans Arema yang masuk ke lapangan. Aparat TNI dan Polisi bereaksi keras untuk mengadang pergerakan massa hingga melepaskan tembakan gas air mata.
Tak hanya menyasar ke massa di lapangan, gas air mata juga ditembakkan ke arah tribune. Inilah yang membuat massa panik dan berdesakkan hingga merenggut ratusan nyawa.
Aksi fan Arema turun ke lapangan memang tak bisa dibenarkan apapun motifnya. Namun, reaksi berlebihan dari aparat pun jadi sorotan tajam. Terlebih polemik penggunaan gas air mata merupakan barang haram di stadion.
 Fans Arema FC turun ke lapangan usa laga Arema vs Persebaya. (AP/Yudha Prabowo) |
Pintu 13 menjadi saksi bisu tragedi mengerikan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Sejumlah saksi mata mengatakan tembakan gas air mata jadi pemicu penumpukkan penonton di pintu keluar. Lokasi ini bahkan digambarkan bak kuburan massal.
Banyak pihak menuding aparat keamanan jadi pihak paling bersalah dalam kasus ini. Polisi dianggap gagal menjalankan crowd control hingga mengakibatkan ratusan korban jiwa.
Beberapa pihak juga menyebut aksi Aremania turun ke lapangan tak bisa dibenarkan. PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) juga didesak bertanggung jawab karena dinilai gagal menyelenggarakan pertandingan sepak bola yang aman buat semua kalangan.
Keputusan PT LIB untuk menggelar sejumlah pertandingan di malam hari juga dipertanyakan. Kebijakan ini dianggap melanggengkan pesanan dari pemegang hak siar.
Security Officer Asian Football Confederation (AFC) Nugroho Setiawan kepada ABC News menerangkan, ada tiga poin penting dalam penyelenggaraan pertandingan.
"Poin yang kesatu adalah kesamaan persepsi pengamanan di antara semua stakeholder. Yang kedua adalah kondisi infrastruktur, ini harus dilakukan assessment. Yang ketiga adalah supporter behaviour itu sendiri yang harus kita engineering," ujar Nugroho.
"Ketiga aspek ini harus tersinkronisasi, dan ketika kita melakukan penilaian risiko atau risk assessment, kita akan akan menghasilkan sebuah rencana pengamanan yang disetujui bersama, jadi suatu agreed behaviour and procedure. Nah, sinkronisasi ini mungkin yang tidak terjadi," terangnya.
Baca lanjutan artikel ini di halaman berikutnya>>>
Soal penembakan gas air mata yang jelas dilarang FIFA, Nugroho menilai polisi Indonesia tak bisa disalahkan sepenuhnya.
"Kita tidak bisa langsung menyalahkan aparatnya karena peraturan FIFA ini kan dibuat senetral mungkin, segenerik mungkin untuk mengakomodasi seluruh kepentingan anggota asosiasi."
"Ada 200 lebih sekarang anggotanya, setiap negara pasti berbeda pendekatannya. Nah, kita bicara kewenangan public authority, dalam hal ini kepolisian, yang punya landasan hukum sendiri," tutur Nugroho.
Sementara FIFA, lanjut Nugroho, juga punya batasan sendiri. Persepsi FIFA dalam penanganan massa di stadion harus disamakan dengan polisi.
"Mungkin komunikasi ini, kesamaan persepsi yang saya sampaikan tadi belum tercapai dengan baik," ujarnya.
Nugroho mendukung pemerintah dalam membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD.
"Tentu saja badan independen ya. Bisa saja minta bantuan dari induk organisasi kita, kan ada AFC dan FIFA yang punya komite disiplin dan bisa juga membuat komite darurat karena ini fatality."
"Bagi saya satu orang [tewas] saja sudah luar biasa apalagi ini sampai 100 orang lebih. Jadi harus badan yang lebih tinggi atau independen," ujar Nugroho.
Menkopolhukam Mahfud MD target investigasi rampung tiga minggu. (ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT) |
Kini, TGIPF sudah mulai bekerja. Mahfud MD menargetkan tiga minggu ke depan sudah bisa menyampaikan hasil kerjanya ke Presiden Joko Widodo.
"Insyaallah dalam tiga minggu tim ini sudah dapat menyampaikan hasil kerjanya kepada Presiden, dan diharapkan bisa bisa lebih cepat dari target itu," kata Ketua TGIPF sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD dalam keterangannya, Rabu (5/10).
Mahfud mengatakan TGIPF bakal mencari akar masalah serta memberi rekomendasi untuk menghentikan masalah yang kerap terjadi di dunia sepak bola Indonesia.
"Sehingga akar masalahnya harus dikemukakan oleh tim ini, untuk kemudian direkomendasikan apa yang harus dilakukan agar tidak terulang di masa yang akan datang," kata Mahfud.
"Tim akan merekomendasikan penjatuhan sanksi bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran," tegasnya.
[Gambas:Photo CNN]
Sebanyak 131 korban jiwa bukan angka yang sedikit. Ini menjadi angka kematian terbesar dalam sejarah kelam sepak bola Indonesia.
Selain itu, Tragedi Kanjuruhan juga tercatat di urutan kedua peristiwa paling mematikan dalam sejarah sepak bola dunia.
Jumlah korban meninggal akibat kerusuhan sepak bola saat ini yang terbanyak terjadi di Estadio Nacional Disaster, Lima, Peru. Tragedi tersebut terjadi pada 24 Mei 1964 dengan menewaskan 328 korban jiwa.
Peristiwa ini membuktikan bahwa penyelenggaraan kompetisi sepak bola Indonesia jauh dari kata maksimal. Sebagian besar suporter belum dewasa menerima kekalahan sementara aparat juga tak memahami cara pengendalian massa di stadion yang sejatinya bukan pelaku kriminal.
Tragedi luar biasa ini diharapkan bisa jadi momen perbaikan sepak bola Indonesia. Jangan ada lagi korban nyawa melayang sia-sia karena kelalaian panpel dan kesalahan aparat dalam penanganan keamanan.
[Gambas:Video CNN]