Soal penembakan gas air mata yang jelas dilarang FIFA, Nugroho menilai polisi Indonesia tak bisa disalahkan sepenuhnya.
"Kita tidak bisa langsung menyalahkan aparatnya karena peraturan FIFA ini kan dibuat senetral mungkin, segenerik mungkin untuk mengakomodasi seluruh kepentingan anggota asosiasi."
"Ada 200 lebih sekarang anggotanya, setiap negara pasti berbeda pendekatannya. Nah, kita bicara kewenangan public authority, dalam hal ini kepolisian, yang punya landasan hukum sendiri," tutur Nugroho.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara FIFA, lanjut Nugroho, juga punya batasan sendiri. Persepsi FIFA dalam penanganan massa di stadion harus disamakan dengan polisi.
"Mungkin komunikasi ini, kesamaan persepsi yang saya sampaikan tadi belum tercapai dengan baik," ujarnya.
Nugroho mendukung pemerintah dalam membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD.
"Tentu saja badan independen ya. Bisa saja minta bantuan dari induk organisasi kita, kan ada AFC dan FIFA yang punya komite disiplin dan bisa juga membuat komite darurat karena ini fatality."
"Bagi saya satu orang [tewas] saja sudah luar biasa apalagi ini sampai 100 orang lebih. Jadi harus badan yang lebih tinggi atau independen," ujar Nugroho.
![]() |
Kini, TGIPF sudah mulai bekerja. Mahfud MD menargetkan tiga minggu ke depan sudah bisa menyampaikan hasil kerjanya ke Presiden Joko Widodo.
"Insyaallah dalam tiga minggu tim ini sudah dapat menyampaikan hasil kerjanya kepada Presiden, dan diharapkan bisa bisa lebih cepat dari target itu," kata Ketua TGIPF sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD dalam keterangannya, Rabu (5/10).
Mahfud mengatakan TGIPF bakal mencari akar masalah serta memberi rekomendasi untuk menghentikan masalah yang kerap terjadi di dunia sepak bola Indonesia.
"Sehingga akar masalahnya harus dikemukakan oleh tim ini, untuk kemudian direkomendasikan apa yang harus dilakukan agar tidak terulang di masa yang akan datang," kata Mahfud.
"Tim akan merekomendasikan penjatuhan sanksi bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran," tegasnya.
Sebanyak 131 korban jiwa bukan angka yang sedikit. Ini menjadi angka kematian terbesar dalam sejarah kelam sepak bola Indonesia.
Selain itu, Tragedi Kanjuruhan juga tercatat di urutan kedua peristiwa paling mematikan dalam sejarah sepak bola dunia.
Jumlah korban meninggal akibat kerusuhan sepak bola saat ini yang terbanyak terjadi di Estadio Nacional Disaster, Lima, Peru. Tragedi tersebut terjadi pada 24 Mei 1964 dengan menewaskan 328 korban jiwa.
Peristiwa ini membuktikan bahwa penyelenggaraan kompetisi sepak bola Indonesia jauh dari kata maksimal. Sebagian besar suporter belum dewasa menerima kekalahan sementara aparat juga tak memahami cara pengendalian massa di stadion yang sejatinya bukan pelaku kriminal.
Tragedi luar biasa ini diharapkan bisa jadi momen perbaikan sepak bola Indonesia. Jangan ada lagi korban nyawa melayang sia-sia karena kelalaian panpel dan kesalahan aparat dalam penanganan keamanan.
(har)