Awal perkenalan saya dengan badminton lantaran Papa saya memang senang bermain badminton. Papa senang namun sekadar untuk main-main saja. Saya pun begitu, hanya untuk main-main.
Saya berlatih di klub Sangkuriang, saat itu belum ada SGS. Di sana ada lapangan badminton, kolam renang, seperti sports club. Jadi saat saya diantar Papa ke sana, saya bisa main badminton atau berenang. Memang masih main-main.
Setiap tahun, Sangkuriang mengadakan kejuaraan internal. Walaupun saya masih main-main, saya juga ikut kejuaraan itu. Lalu saya kalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai anak kecil, kalah tentu tidak mengenakkan. Karena saya tentu tidak mau kalah. Saya sampai menangis.
Papa lalu tanya sama saya,"Kamu kenapa menangis?"
"Saya ingin dapat piala," itu jawaban saya.
Papa saya lalu kembali berkata, "Kalau mau piala, beli saja."
"Saya enggak mau beli. Saya mau dapatin piala sendiri."
Itu kata saya. Dari situ, saya mulai ada motivasi untuk menang. Saya masih usia 9-10 tahun saat itu.
Setahun berselang, ada kejuaraan lagi di Sangkuriang dan saya bisa menang.
![]() |
Setelah menang, motivasi saya untuk terus menang, mendapatkan lebih banyak piala dan juara semakin lebih. Dalam pertandingan antarkota madya, saya sempat ditanya wartawan.
Beliau tanya tujuan saya di badminton apa. Lalu saya bilang waktu itu bahwa saya mau jadi juara dunia.
Dari situ saya rasa motivasi untuk menang terus bertambah.
Saya masih main di nomor tunggal dan baru pindah ke ganda pada 1992. Waktu itu saya terlalu banyak latihan sehingga cedera dan harus istirahat selama tiga bulan. Setelah sembuh, saya pindah ke ganda.
Saya masuk Pelatnas di tahun 1995 bersama Davis Efraim. Kami mampu jadi juara nasional tingkat Taruna di tahun sebelumnya. Angkatan saya yang masuk bersamaan adalah Eng Hian, Harmono, Sigit Budiarto, dan Ade Lukas. Ketika masuk Pelatnas Cipayung, nomor ganda putra sudah diisi oleh banyak pemain senior yang hebat.
Ricky/Rexy, Gunawan/Bambang, hingga Antonius/Denny Kantono. Mereka sebagai senior memotivasi kami bahwa kami harus latihan yang bagus.
![]() |
Saya pun merasa termotivasi tiap latihan, apalagi kami latihan dengan Ricky/Rexy dan pemain lain yang masuk kategori best in the world.
Kebersamaan di nomor ganda putra itu ada karena kami latihan sama-sama walaupun saat itu nomor ganda putra dipegang oleh tiga pelatih. Di tim utama ada Koh Chris (Christian Hadinata) dan Pak Atik (Djauhari) sedangkan kami di pratama dipegang oleh Herry IP.
Walaupun dibagi tiga grup, tetapi banyak latihan dilakukan bersama-sama, main game sama-sama, drilling sama-sama. Keseharian bareng terus.
Karena kebersamaan itu kami langsung termotivasi. Berlatih dengan ganda terbaik, dalam latihan kami merasa bahwa kami bisa jadi penerus.
Soal rasa minder berlatih bersama senior, pasti terkadang ada. Misal kami mau ajak main senior tentu juga tidak enak. Tetapi senior-senior sering mengajak kami. Saat latihan teknik 2 vs 1.
Kami membantu mereka, dengan begitu kebersamaan terbangun. Memang sungkan karena kami punya respek terhadap para senior. Karena di tahun pertama saya di Pelatnas, nomor ganda putra sedang mempersiapkan diri untuk Olimpiade Atlanta 1996.
Saya berpasangan dengan Davis sampai tahun 1998. Kami juga punya sejumlah prestasi, masuk final di Brunei pada 1995 dan 1996 lalu Indonesia Open. Kami juga pernah juara di Australia.
Kami cukup ada hasil. Saya lupa peringkat berapa tetapi saya yakin kami ada di 20 besar.
Namun pelatih tentu lebih tahu. Dalam latihan, kami sudah biasa berlatih digabung dan dicampur. Karena itu pelatih memutuskan mencoba saya dengan Tony.
Kami tampil di Malaysia dan Brunei lalu bisa juara di pertandingan tersebut dan terus dipasangkan. Saya dan Tony sempat menduduki posisi nomor satu dunia sampai akhirnya dipecah usai Denmark Open.
Karier saya banyak halangan. Sempat nomor satu, lalu tidak lagi, terus kemudian bisa juara lagi, lalu tidak lagi.
Namanya juga hidup, jalannya seperti ini disyukuri saja. Saya bersyukur masih diberi rezeki bisa juara.