Jakarta, CNN Indonesia --
Yang saya ingat dari Asian Games 1982 di New Delhi itu pendukungnya antusias banget, suporter mereka itu.
Tapi saat itu kami kan masa bodoh. Kami tidak peduli dengan tekanan suporter mereka. Malah ingin kami tunjukkan, Indonesia mesti melawan.
Tujuannya apa? Supaya dapat simpatik, dari yang tadinya mendukung pemain India berbalik jadi mendukung Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu bisa seperti itu lho, dukungan berbalik ke pemain lawan itu bisa. Karena suporter mereka akan berpikir: "Lho kok yang didukung jadi grogi". Mereka itu grogi, pemain-pemain India itu grogi.
Sebagai pemain memang harus merasakan tekanan itu. Suporter mereka itu teriak-teriak, satu stadion itu suporter mereka semua. Memang kita gak ngerti bahasa mereka, tapi sorak soraknya itu kita paham.
Tetapi Bu Mien Gondowijoyo yang jadi pelatih saat itu bilang, "Sudah main saja nothing to lose karena main lawan tuan rumah, berusaha saja."
Ya sudah kita ikuti instruksi pelatih. Walaupun kita melihat suporter India itu ganasnya sudah seperti apa. Jadi kami nothing to lose, orang sudah di final.
Indonesia itu saat di final komposisi pemain-pemainnya lumayan bagus saat itu, karena musuh kita itu sebenarnya (selevel) Korea Selatan.
 Tintus Arianto Wibowo mengaku bermain lepas di final Asian games 1982 meski dalam tekanan suporter tuan rumah. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Waktu itu pemain-pemain India juga bagus-bagus, mereka mengalahkan Jepang, kita mengalahkan Korea di semifinal.
Pemain-pemain India di final 1982 waktu itu mereka yang juara Kejuaraan Asia di Thailand, sebelum Asian Games. India juara single, Indonesia juara double.
Di final kami bermain lepas. Kan waktu itu mainnya dua single satu double. Begitu dua single menang, langsung dapat emas. Yang pertama main itu Yustedjo Tarik, lalu saya di single kedua.
Kita bermain bebas, nothing to lose. Bukan berarti enggak percaya diri menang sejak awal, tapi kami bermain tanpa beban, main enak aja. Orang menangnya straight set semua.
Akan tetapi ada satu momen yang tidak begitu enak juga di Asian Games New Delhi itu. Mereka itu curang.
India itu curangnya apa? Saya sama Yustedjo Tarik untuk nomor single ditaruh di satu pool. Harusnya kan ditaruh di pool berbeda, atas bawah.
Mestinya ada aturannya soal pembagian pool itu. Kami juga sudah protes waktu itu, tapi sama India tidak digubris.
Lalu saat pertandingan, yang seharusnya tidak pelanggaran dianggap pelanggaran sama linesman. Di Asian Games New Delhi itu umpire dari internasional, tapi linesman nya itu dari India. Kalau linesman bilang out, umpire ikut out.
Namun lagi-lagi kami tidak pernah terbebani dengan yang begitu-begitu. Main saja terus. Paling kita berpikir, oke next point.
Tapi sayangnya saya tidak ingat dengan poin kemenangan yang kami dapat hingga akhirnya meraih emas. Yang pasti saat itu kami tidak ditarget mendapatkan medali emas, meskipun pada Asian Games sebelumnya, tahun 1978 beregu putra juga mendapatkan emas. Karena pada Asian Games berikutnya setelah kami dapat emas di New Delhi juga tidak dipatok mendapat emas di Korea.
Saya rasa medali emas Asian Games 1982 di New Delhi itu jadi salah satu momen terbaik dalam karier saya dibanding medali-medali emas lain, selain mencapai 16 besar Davis Cup.
Di Davis Cup saya dua kali sampai 16 besar atau babak dunia. Pertama tahun 1982 dan kedua tahun 1989.
Setelah itu Indonesia tidak bisa lagi sampai ke babak 16 besar atau grup dunia. Medali emas Asian Games 1982 itu saja yang terakhir untuk beregu putra. Selanjutnya tidak ada lagi medali emas di nomor tim.
Pada era 1980-an itu tenis putra Indonesia hitungannya merajai Asia Tenggara. Indonesia itu selevelnya dengan Jepang, Korea Selatan, China.
Waktu SEA Games 1983 di Singapura saja saya masuk final di semua nomor, single, double, campuran. Pada SEA Games 1985 di Bangkok, saya dapat tiga medali emas dari nomor single, double, dan beregu.
Bagi saya, bermain di nomor tim atau beregu dan nomor perorangan itu punya rasa yang berbeda. Kalau kita lagi bermain untuk tim itu dipanggilnya pakai nama negara, dan kalau di nomor perorangan dipanggilnya pakai nama sendiri.
Misalnya kalau sudah dipanggil pakai nama negara 'Indonesia leading 1-0'. Kita kalau dipanggil pakai nama Indonesia kan lain suasananya, tekanannya lain.
Di Sea Games atau Asian Games kan ada nomor beregu atau perorangan, nah nomor beregu itu dipanggilnya pakai nama negara, kalau perorangan pakai nama kita.
Bedanya itu auranya. Dipanggil pakai nama negara dengan dipanggil nama sendiri beda sekali. Saya bisa merasakan perbedaan itu waktu mulai main beregu.
Kalau main di nomor perorangan, begitu kalah masih ada turnamen berikutnya. Tapi main untuk nomor beregu jarang.
Baca kelanjutan berita ini di halaman berikutnya>>>
Salah satu cita-cita yang membuat saya kepingin sukses di tenis adalah mensejahterakan keluarga.
Karena sejak dulu itu turnamen tenis hadiahnya besar-besar, baik di nasional maupun internasional. Kamu mesti juara. Kalau juara juga bakal didekati sponsor.
Kalau tidak juara siapa yang mau memberikan sponsor. Saya itu dulu pakai raket dibayar, baju dibayar, sepatu dibayar sama sponsor.
Saya itu dulu hidupnya prihatin, susah. Bapak saya cuma PNS (pegawai negeri sipil), guru olahraga pula. Bapak saya guru olahraga di Sekolah Tinggi Olahraga (STO), kalau di sini namanya UNJ.
Tahu sendiri kan PNS seperti apa. Sedangkan kebutuhan kita itu sepatu cepat habis, senar raket sering putus. Raket saya itu berapa kali senarnya putus.
Akhirnya dari situ saya bertekad mau berhasil di tenis. Maka dari itu saya punya daya juang yang lebih bagus daripada anak-anak yang orang tuanya lebih mampu kehidupannya.
Saya kenal tenis usia sembilan tahun, karena bapak saya guru olahraga. Kalau buat sekarang umur sembilan itu sudah terlambat. Karena banyak anak umur 10 tahun sudah punya ranking bagus-bagus.
Bapak saya itu atlet senam, orang latihannya saja pernah sampai ke China, ada fotonya. Jadi karena bapak saya itu guru olahraga, saya bisa beberapa cabang olahraga.
 Tintus Arianto Wibowo menekankan kegigihan dan mental yang kuat harus dimiliki atlet tenis. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Waktu SD itu saya multisport. Saya karate disuruh latihan, tenis meja saya juga bagus. Atletik juga bisa. Tapi saya merasa di tenis saya juga bagus.
Lalu di Jawa Timur itu ada klub sepak bola Yanuar Pribadi. Nah istri Yanuar Pribadi itu atlet tolak peluru nasional, karena saya di atletik juga akhirnya dikasih saran.
"Kamu tuh main tenis saja. Saya lihat bakat kamu ada di tenis," katanya. Jadinya saya menekuni tenis.
Lalu saya dapat panggilan ke Ragunan usia 18, sekitar tahun 1978. Padahal saya belum dapat gelar juara juga di daerah, masih kalahan. Cuma masuk semifinal-semifinal saja. Orang tua saya akhirnya mengizinkan saya ke Ragunan. Katanya karena bakat saya di olahraga, ya sudah tekuni olahraga.
Sementara adik-adik saya bakatnya di akademik, karena akhirnya dua adik saya masuk ITS dan satu lagi di Universitas Airlangga. Sedangkan saya cuma lulusan Ragunan.
Tapi di tenis itu yang penting mesti punya impian, punya tekad yang besar, dan mental yang kuat. Mental kuat karena fisik kuat, mental lemah karena fisik lembek.
Dulu ke mana-mana saya naik bus atau naik opletnya Si Doel itu lho, naik Mayasari, naik PPD. Dari Ragunan ke Monas, ke Senayan naik bus turun di Pintu I jalan kaki.
Anak sekarang mana ada jalan kaki nenteng raket. Zamannya memang beda, tapi mentalnya juga beda. Aduh dulu itu saya mau makan mie di pinggir jalan saja susahnya minta ampun.
Dari Ragunan, karena prestasi saya bagus, akhirnya dipanggil ke Pelatnas. Atlet zaman dulu juga sebenarnya godaannya banyak.
Bagus sedikit, banyak Wags-nya, ya sudah jangan diladenin, kita karier dulu. Kita mesti susah-susah dulu baru sukses, jangan senang-senang dulu nanti lupa daratan, sudah hancur, fokusnya gak ada. Dulu saya lihat atlet-atlet lain pacaran, saya enggak.
Tahun 1978 masuk pelatnas, tahun 1979 saya tidak masuk skuad SEA Games, baru tahun 1981 saya masuk tim SEA Games 1981 di Manila. Tahun 1981 itu kami dapat medali emas beregu SEA Games.
Keluarga saya senang sekali waktu itu, bangga mereka. Kan karena mereka juga yang bikin kita berhasil. Nama orang tua di kampus sekolah di kampus mengajarnya itu (Sekolah Tinggi Olahraga Surabaya) ikut terangkat.
Pokoknya dari tenis, kalau prestasi kita bagus, keluarga sejahtera. Selama hasil dari tenis saya bisa belikan baju adik-adik saya yang bagus-bagus, belikan sepeda motor.
Semua itu yang penting kita bisa mengatur diri ini dengan baik. Manajemen hidup saya itu selama jadi atlet tenis bagus, di dalam maupun di luar lapangan. Makanya saya enggak pernah kalah konyol.
Dan satu orang yang punya peran penting dalam karier saya adalah Bu Mien Gondowijoyo itu. Bu Mien itu pelatih saya di Ragunan. Dia yang memilih saya ke Jakarta.
Lalu saya dipanggil ke Pelatnas Pelti, tapi pelatihnya Bu Mien. Saya tidak bakal lupa sama jasa-jasanya Bu Mien. Kita gak boleh melupakan jasa-jasa pelatih kita.
Bu Mien itu bagus dalam disiplin. Beliau selalu on time. Kalau latihan memang Bu Mien biasa-biasa saja. Karena kalau latihan itu tergantung atletnya. Kalau atletnya malas prestasinya biasa-biasa saja.
[Gambas:Video CNN]