Agus Prayogo: Cerita Demam Demi Emas Ketujuh SEA Games
Medali emas marathon di SEA Games 2023 jadi yang ketujuh sepanjang saya ambil bagian di cabang olahraga atletik.
Sulit buat saya memilih medali emas mana yang paling berkesan. Buat saya setiap medali emas memiliki kesan tersendiri, memiliki ceritanya sendiri.
Namun memang medali emas yang ketujuh ini paling berbeda. Saya bertanding dengan kondisi cuaca yang paling ekstrem.
SEA Games Kamboja menjadi salah satu SEA Games terberat jika dibandingkan SEA Games 2021 di Vietnam. Di Vietnam cuacanya lebih enak, temperaturnya di kisaran 17-18 derajat celcius, lebih dingin dari Kota Bandung, tempat saya tinggal.
Di Kamboja temperatur di pagi hari saja bisa mencapai 27 derajat celsius. Suhunya bisa terus meningkat, paling panas di 40 derajat celcius, seperti yang terjadi saat lomba.
Mempertimbangkan kondisi cuaca yang tergolong ekstrem, nomor maraton dan jalan cepat berangkat lebih awal dibandingkan kontingen utama Indonesia. Kami sudah berangkat ke Kamboja tanggal 2 Mei untuk melakukan aklimatisasi cuaca.
Ketika sampai di sana saya sempat sakit. Saya mengalami demam dan batuk pilek karena perubahan cuaca yang cukup ekstrem. Saya kan sehari-hari berlatih di Bandung, dari tempat yang suhunya biasa 22 derajat celsius menuju ke tempat yang panas sekali. Alhasil saya sempat mengalami demam tinggi.
Saat itu saya enggak berani konsultasi ke dokter dan enggak berani minum obat apapun. Ini saya lakukan untuk jaga-jaga. Takutnya saat tes doping saya dianggap positif doping karena mengonsumsi obat-obatan.
Saya memilih menggunakan strategi makan yang banyak dan istirahat yang cukup saja agar bisa secepatnya pulih. Alhamdulillah dua hari di sana saya sudah bisa menyesuaikan diri, melakukan pemulihan. Memasuki H-2, saya sudah mulai jogging-jogging menyesuaikan dengan kondisi cuaca, terutama di jam bertanding saya.
Waktu latihan pertama saya mencoba berlari keliling sekitaran hotel saja. Saya jogging sekitar 60 menit. Begitu selesai keringat yang saya keluarkan banyak sekali. Dari jogging satu jam itu, baju dan celana sudah basah semua.
Ini berbeda berbeda saat latihan di Bandung karena latihan satu jam pun nggak sampai seperti itu. Sehingga dari situ saya menyusun strategi pas hari H saya harus banyak mengkonsumsi air.
Begitu sudah pulih dari sakit, rasa khawatir saya tidak lantas hilang. Ada rasa cemas mengingat kondisi badan saya yang sempat demam tinggi.
Seiring berjalannya waktu, saya coba meyakinkan diri sendiri. Dalam hati saya katakan, apapun yang terjadi besok musuhnya sama-sama bertanding di lokasi yang sama dan dalam kondisi cuaca yang sama. Dari situ saya agak bisa sedikit lebih tenang menatap perlombaan.
Saat berlomba, saya manfaatkan setiap water session yang ada. Saya selalu ambil air, selalu minum untuk menjaga agar tidak mengalami dehidrasi.
Selain minum, ada juga energy gel dan busa untuk meredam panas yang menyengat saat bertanding. Itu saya manfaatkan. Apa saja yang bisa dipegang saya ambil pada saat itu.
Temperatur cuaca sudah 27 derajat celcius saat start perlombaan jam enam pagi. Dan ketika lomba dimulai, ada beberapa atlet unggulan, baru lari lima kilometer memilih untuk tidak finis dan kembali ke garis start dibantu naik motor.
Mereka tidak terbiasa dengan cuacanya saking panasnya. Maklum mereka biasa berlatih di tempat-tempat yang dingin. Apalagi cukup banyak atlet datang baru H-2 sehingga minim waktu untuk aklimatisasi cuaca.
Kekhawatiran saya tidak lantas hilang begitu melihat pelari-pelari lain mulai tumbang. Sebelumnya saya sempat minder juga karena dari segi ranking, posisi saya berada di posisi empat atau lima besar.
Namun rasa khawatir itu perlahan semakin luntur. Ketika berjalan satu lap dengan lomba sistem looping (jarak 10 kilometer dalam satu putaran) kok sudah banyak yang bertumbangan. Terus dari situ makin percaya diri, apalagi atlet Vietnam itu terbiasa di cuaca dingin.
Saya menyimpulkan yang tidak benar-benar siap bisa tumbang karena faktor cuaca panas ekstrem. Makanya setiap water session saya manfaatkan betul.
Ketika jarak tempuh masuk 20 kilometer, saya spekulasi untuk mengambil alih jalannya lomba. Di awal kan saya berlari mengikuti pelari-pelari dari negara lain, saya memantau, lihat situasi dan baru masuk 20 kilometer langsung memimpin lomba. Dari situ saya berusaha kabur dari kejaran pembalap lain,
Memasuki jarak tempuh 30 kilometer, semakin banyak pelari yang bertumbangan. Ada yang tidak finis dan ada yang sudah mulai jalan kaki. Praktis hanya pelari Thailand dan Filipina yang masih ikut dengan saya. Di momen itu sudah terpikir minimal medali sudah dalam genggaman.
Menjelang garis finis, pelari Thailand sudah mulai tercecer. Persaingan memperebutkan medali emas tinggal saya dengan Filipina.
Atlet Vietnam yg diunggulkan juga jaraknya cukup jauh dari saya. Di sisa perlombaan, saya fokus menjaga kondisi saja jangan sampai pingsan atau dehidrasi.
Di momen itu sepatu saya sudah basah karena keringat. Kecepatan saya berlari pun sudah mulai turun.
Karena di depan tinggal berdua, saya semakin yakin meski ada ketakutan juga pingsan sebelum sampai garis finis. Namun, alhamdulillah saya bisa finis pertama dan merebut medali emas ketujuh saya sepanjang berpartisipasi di SEA Games.
Saya sangat bersyukur karena enggak kolaps. Saya masih sadar meski bertanding dalam cuaca ekstrem sampai 40 derajat celcius. Hanya saja memang cairan yang keluar dari badan saya banyak sekali. Alhamdulillah juga tidak sampai mendapatkan perawatan medis.