Pino Bahari: Legenda Emas Asian Games yang Belum Terulang
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa itu kiranya tepat untuk menggambarkan keluarga Bahari yang semua puteranya jadi petinju.
Ayah saya almarhum Daniel Bahari. Beliau adalah sosok legenda tinju yang menginspirasi banyak orang. Pernah aktif sebagai pelatih, manajer, dan promotor tinju profesional. Tak ayal darah tinju mengalir ke anak-anaknya, termasuk saya Pino Bahari.
Bisa dibilang dia sudah mempersiapkan saya jadi petinju sejak dalam kandungan lewat doa-doa dan harapan yang dipanjatkan setiap hari.
Ibu saya cerita, ternyata ayah sudah mulai melatih kami sejak bayi. Caranya adalah dengan menjatuhkan apel ke perut saya pelan-pelan.
Menurut ayah metode itu diberikan agar otot perut saya mulai bereaksi bertahan. Mungkin maksudnya agar terbiasa dengan kontak fisik di area badan. Saya enggak tahu teori ini didapat dari mana.
Setelah saya bisa berjalan, ayah mulai melatih fisik tanpa saya sadari. Misalnya diajak wisata ke pantai, ternyata di sana bukan tidur-tiduran. Saya disuruh lari dan latihan fisik juga.
Jujur ada kalanya saya merasa terpaksa, tapi enggak berani bantah karena masih kecil. Hal yang sama juga ternyata diajarkan ke adik-adik saya, Nemo Bahari, Champ Bahari, Daudy Bahari, dan Tiovillo Bahari.
Kala itu didikan ayah sangat keras. Kalau bikin kesalahan, siap-siap sendal melayang atau rotan menyasar ke pantat.
Sedari kecil saya dan adik-adik sudah dipersiapkan jadi petinju. Belum juga sekolah, kami sudah mulai dicekoki teknik dasar tinju. Mulai cara memukul, menangkis, dan menghindar di Sasana Satria Sakti milik ayah.
Sekitar usia 10 tahun, kami sudah sparing lawan anak-anak yang posturnya jauh lebih besar. Rata-rata mereka dari luar daerah yang ingin belajar tinju di sasana kami. Ada jagoan kampung sampai tukang berkelahi.
Calon anak didik dari luar daerah itu dites dulu lawan kami. Yang pasti posturnya lebih besar dan lebih dewasa dari kami.
Beratnya lagi kami harus bertahan di ronde pertama tanpa boleh melepaskan satu pukulan pun untuk membalas. Saya dipaksa bertahan terhadap serangan untuk melatih cara menghindar dan menangkis sambil mengamati celah kosong dari lawan.
Tujuannya untuk menggembleng mental dan terbiasa menghadapi pukulan lawan di awal. Tapi kami juga diminta mempelajari gerakan lawan. Jadi saya bisa melihat bagian mana yang terbuka dan bisa diserang nanti.
Di ronde kedua saya baru boleh menyerang. Pola ini terus diajarkan hampir setiap hari sampai saya terbiasa menghadapi lawan-lawan lebih besar.
Ketika duduk di bangku SMP, badan saya jadi bongsor. Kelas 3 SMP berat saya mencapai 88 kilogram. Lawan latih tanding di sasana yang saya hadapi mulai dari juara tinju profesional level nasional sampai Asia Pasifik, minimal 15 ronde. Ini dilakukan setiap hari.
Metode itu mungkin yang membentuk saya jadi petinju tangguh sebelum dewasa. Di situlah saya menemukan jati diri sebagai petinju.
Kali pertama turun di Kejurnas tinju junior kelas 3 SMP atau sekitar usia 15 tahun. Masalahnya kelas terberat yang dipertandingkan kelas 75kg. Jadi saya harus menurunkan berat badan 13kg agar bisa naik ring lebih cepat.
Karena sudah terbiasa sparing dengan petinju level Asia Pasifik, saya berhasil menjadi juara di Kejurnas Junior 88. Prestasi itu membuat saya bisa terjun ke Kejuaraan Nasional level senior.
Setahun kemudian saya masuk Kontingen Bali untuk PON 1989. Medali emas berhasil saya rebut hingga masuk timnas tinju di SEA Games 1989. Sayangnya saya hanya sukses meraih medali perunggu kelas 81kg.
Setahun kemudian, saya masuk Kontingen Indonesia di Asian Games Beijing 1990. Inilah momen tak terlupakan dalam karier tinju saya. Soalnya saya berhasil merebut medali emas di usia muda, belum genap 18 tahun.
Namun kemenangan di Asian Games 1990 bukan perkara mudah. Saya harus menahan rasa sakit tak terkira di babak semifinal sebelum berhasil memenangi laga final.
Di babak awal saya menang bye sebelum melawan petinju Taiwan di babak kedua. Di situ langkah saya masih mulus dan menang angka.
Jalan terjal terjadi di semifinal. Saya harus bertemu petinju tuan rumah, Liu Xinjun, yang saat itu difavoritkan meraih emas.
Melawan Xinjun benar-benar jadi momen tak terlupakan dalam hidup saya. Pasalnya saya nyaris kehilangan kesadaran setelah terkena pukulan di pipi. Mungkin kalau arah pukulannya turun sedikit ke dagu, saya sudah ambruk.
Pukulan Xinjun yang mendarat di pipi terasa seperti setrum. Kaki saya mati rasa dan tangan saya kebas beberapa detik. Ibaratnya tinggal 'toyor' saja sudah pasti jatuh.
Tapi Tuhan sangat baik. Saya bisa sadar cepat dan bereaksi cepat dengan menggertak dia dengan pukulan. Dia mundur dan saya juga atur langkah dan napas ke belakang. Mungkin dia tidak sadar efek pukulan itu ke saya sebenarnya sangat dahsyat.
Puji Tuhan saya masih bisa berdiri dan menyelesaikan pertarungan dengan baik. Tuan rumah juga sangat fair hingga saya bisa menang angka. Sebab tak dimungkiri seringkali juri berpihak kepada tuan rumah. Kali ini mereka bertindak adil.
Perjuangan saya belum berakhir. Ternyata saya mengalami cedera parah setelah menang lawan Xinjun. Jari telunjuk kanan dan kiri sakit sekali sampai-sampai tidak bisa menggenggam sendok garpu. Bahkan saya harus minta tolong asisten pelatih untuk memotongkan daging saat makan.
Saya hanya punya waktu sehari istirahat untuk kembali bertanding di final. Tangan saya masih sakit sekali. Pasang sarung tinju saja sudah setengah mati.
Saya berdoa: "Tuhan bagaimana ini? Saya sudah lolos ke final tapi sakit sekali. Tolong saya!" kata saya dalam hati.
Baca lanjutan kisah Pino Bahari di halaman berikutnya>>>