Jakarta, CNN Indonesia --
Saya empat kali meraih medali emas SEA Games yaitu pada 1991, 1993, 1997, dan 2003. Tetapi kalau ditanya yang mana yang paling berkesan, maka jawabannya SEA Games 1991 lalu kemudian SEA Games 1997.
Jelang SEA Games 1991, saya baru masuk ke tim senior pada 1990 setelah tahun-tahun sebelumnya berkiprah di tim junior. Di SEA Games 1989 sebenarnya saya dapat panggilan, namun kemudian karena saya dirasa masih dibutuhkan oleh tim junior dan di tim senior masih ada Chandra Halim, nama saya tidak ikut serta dalam SEA Games 1989.
Saya mulai menapak jejak karier di senior sejak 1990. Saat itu mulai banyak pembicaraan tentang pertarungan antara saya yang dianggap tosser masa depan melawan Chandra Halim yang merupakan tosser terbaik Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi Chandra Halim ternyata mengundurkan diri. Dia ingin usaha baru dan tidak mau masuk ke tim nasional lagi. Otomatis semua orang lalu mengarahkan sorotan pada saya.
Dalam bayangan saya, ini tim juara SEA Games loh. Berarti saya masuk tim juara, notabene saya harus bisa melayani mereka sebaik Chandra Halim dan jadi juara. Aduh itu bebannya berat.
Final SEA Games 1991 itu kita menang 3-2 lawan Thailand. Itu pertandingan terberat, paling membuat stres dalam sejarah voli saya. Sejak final itu, membuat saya tidak pernah lagi merasakan ketegangan lagi saat menghadapi pertandingan-pertandingan voli di tahun-tahun berikutnya.
 Loudry Maspaitella empat kali meraih medali emas SEA Games. (Dok. CNN Indonesia) |
Aduh final itu berat banget. Namanya Indonesia sebagai juara bertahan, Thailand pasti ingin mengalahkan Indonesia. Sejak awal 1991, beberapa kali kami try out bertemu Thailand, kami kalah. Mereka tentu juga ingin juara SEA Games. Jadi saat Indonesia bertemu Thailand di final SEA Games 1991, secara psikologis memang berat.
Kami unggul 1-0 lalu dikejar. Kemudian kami malah ketinggalan 1-2. Berat karena saat itu sistem juga masih menggunakan sistem pindah bola. Di set keempat kita juga sempat ketinggalan 7-8 dan 9-11.
Di set kelima, kejar-kejaran. Kalau gak salah, kami menang 16-14. Tetapi saat itu kami tidak ada yang melompat gembira. Karena terlalu stress. Semua penonton tidak ada yang lompat. Saya ingat kok, histerisnya penonton itu antiklimaks. Cuma peluk-pelukan sambil menangis.
Lalu kenapa yang berkesan berikutnya adalah SEA Games 1997? Karena di SEA Games 1995, Thailand melakukan perubahan besar-besaran sementara saat itu Indonesia sedang masa transisi. Indonesia jumpa Thailand, jauh kualitasnya.
Saya mulai berpikir bahwa ini adalah eranya Thailand. SEA Games 1997 kan di Jakarta, aduh kita malu ini. Gak bisa ngejar. Itu yang saya pikirkan.
Gak punya waktu. Dengan pola main dan teknik seperti itu. Kita sepertinya harus siap malu.
Lalu masuklah Li Qiujiang alias Mr.Li. Di tangan Mr. Li, teknik saya disempurnakan. Cara bermain voli saya, di tangan Mr. Li benar-benar berubah. Dia juga mengubah voli Indonesia.
Seperti yang saya bilang, awalnya di 1996 saya merasa kualitas Indonesia dengan Thailand sudah jauh. Namun setelah kedatangan Mr. Li, di beberapa kejuaraan sudah mulai imbang. Para pemain sudah bisa memahami permainan voli Thailand.
Mr. Li itu latihannya berat sekali. Baik dari segi fisik maupun mental. Namun semua alumni SEA Games 1997 pasti mengakui bahwa baru pada momen itu kami semua punya badan dan fisik yang ringan. Cara lompat, bergerak, memang enak banget saat itu.
Saat itu, kadang kalau saya dengar penonton bersorak dan tepuk tangan di gedung, saya seolah membatin, "Lu cuma lihat di Gedung, cuma liat ujungnya. Padahal pas latihan pemain banyak yang nangis karena tersiksa." Hahaha..
Setelah juara di SEA Games 1997, saya tidak ikut tim nasional di SEA Games 1999 dan 2001. Saya sudah diterima bekerja di BNI pada 1995. Saat itu jadi pegawai bank memang impian saya karena kakak dan kakak ipar saya kerja di bank. Lalu saya berharap bisa dapat kerja di bank melalui prestasi di voli dan akhirnya saya diterima di BNI.
Tahun 1999 saya juga menikah dan ada waktu untuk melanjutkan S2. Lulus S2 di 2001 dan saya sudah bersiap untuk pengembangan karier saya sebagai pegawai bank.
Saat itu, di SEA Games 1999 dan 2001, Indonesia tidak bisa berprestasi. Di SEA Games 2001 bahkan bisa dibilang Timnas Voli Indonesia hancur dari segi prestasi. Karena itulah, Mr. Li yang sudah pulang ke China dipanggil balik untuk kembali melatih Indonesia untuk SEA Games 2003.
Lalu Mr. Li bilang bahwa dia mau melatih Timnas Indonesia, asal tosser-nya Loudry. Padahal saat itu saya sudah berpikir saya sudah pensiun dari tim nasional.
Sudah dua SEA Games saya tak dipanggil. Begitu juga dengan sejumlah ajang internasional lainnya. Memang, saat itu saya masih ikut main di PON membela Jawa Timur dan berhasil jadi juara.
Saya juga pernah dengar ada omongan-omongan bahwa Loudry sudah menikah, punya anak, dan jarang main voli. Lalu Mr. Li bilang bahwa ke orang-orang itu bahwa Loudry tidak perlu latihan enam bulan. Cukup tiga bulan, yang penting latihannya sama Mr. Li.
Saya itu punya utang budi sama Mr. Li. Karena itu dia gak perlu minta sama saya untuk bergabung ke tim nasional. Padahal saat itu saya sudah mulai melupakan tim nasional, bukan dalam artian kecewa, melainkan karena sudah mulai komitmen berkarier di BNI.
Akhirnya tiga bulan saya latihan bersama Mr. Li. Eh, berhasil juara SEA Games lagi.
Karena juara lagi, saya terpilih lagi di SEA Games 2005. Padahal saat itu saya sudah mulai pendidikan untuk calon pimpinan di tempat kerja.
Saya itu terlalu lama di tim nasional. Kebanggaan itu hilang berganti jadi rasa malu. Pada SEA Games 2003, pesaing-pesaing saya di Thailand dan Filipina sudah jadi asisten pelatih dan pelatih sedangkan saya masih main.
Dari sisi pembinaan, voli Indonesia tentu terbilang tidak bagus karena saya masih main. Jumlah manusia Indonesia ada 200 juta, masa nyari tosser satu gak bisa, kok masih mengharapkan Loudry. Itu yang ada di pikiran saya.
 Loudry Maspaitella mengaku punya utang budi terhadap Mr. Li. ( Arsip Istimewa via detikcom) |
Tetapi karena Mr. Li masih jadi pelatih, akhirnya saya luluh. Indonesia jadi runner-up di SEA Games 2005.
Saat itu saya tegaskan bahwa ini terakhir kalinya ya saya main, saya sudah malu. Memang bukan saatnya lagi. Antusias saya di lapangan sudah tidak seperti dulu.
Untuk SEA Games 2007, setahun sebelumnya saya juara Proliga. Itu saya dipanggil lagi. Pelatihnya saat itu Mr. Hu Xinyu. Saya sudah bilang ke PBVSI, yang muda-muda saja.
Kalau di BNI, bagi saya tidak ada kata pensiun. Saya disuruh main voli, itu penugasan. Sampai umur 40, 45, bahkan sampai patah kaki pun kalau BNI yang minta saya harus lakukan. Karena ini tempat kerja saya.
Tetapi kemudian ada pendekatan lewat BNI untuk tim nasional dari PBVSI. Saya lalu merasa harus datang ke pemusatan latihan karena saya tidak enak. Ini masalahnya perintah, saya tidak enak menolaknya.
Lalu pimpinan saya di BNI bilang bahwa saya harus berani bilang berhenti di voli. Karena di tempat kerja sedang ada pendidikan pimpinan dan saya bisa ikut ke sana.
Saya lalu bergabung ke pemusatan latihan dan bilang ke Mr. Hu bahwa saya datang karena menghormati pimpinan. Tetapi saya bilang jangan pilih saya karena saat itu adalah saatnya tosser-tosser junior yang tampil.
Terlepas itu karena saya sudah meminta atau tidak, saya pada akhirnya tidak terpilih. Praktis itu terakhir kalinya saya terlibat di kegiatan tim nasional.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>
Saya lahir dan besar di Surabaya, Jawa Timur, mulai dari TK nol kecil, SD, SMP, SMA sampai S1 di Surabaya. Papa saya, Leo Maspaitella, itu dosen di Sekolah Tinggi Olahraga (STO).
Papa saya itu dosen bola voli karena beliau juga mantan atlet. Karena tinggal di kompleks olahraga, semua sarana olahraga seperti basket, boli, bulutangkis, tenis meja, gulat, senam itu ada. Setiap hari saya lihat keseharian mahasiswa untuk berolahraga.
Dari SD kelas 4, setiap ada kegiatan mahasiswa saya ikut. Ada badminton, lihat raket nganggur saya ikut mukul-mukul. Seperti itulah kira-kira.
Selain voli, saya itu bisa main sepak bola, softball, basket, badminton, tenis meja, senam. Saya juga pernah latihan atletik karena kakak saya kan latihan atletik. Karena Papa dan Mama adalah atlet, saya memang diarahkan saya ke olahraga, tetapi belum sepenuhnya ke voli.
Untuk olahraga yang membuat saya hingga ikut kompetisi adalah sepak bola dan softball. Memang dasarnya saya lebih senang olahraga beregu, bekerja sama. Olahraga yang sendiri itu tidak menyenangkan buat saya. Maunya olahraga tim, yang ramai-ramai, bersama-sama.
Saat kecil, saya lebih senang sepak bola. Saya ikut klub Indonesia Muda dan posisi saya kiper. Saya senang jadi kiper karena gerakannya atraktif.
Pengalaman latihan senam dan posisi kiper inilah yang kemudian saya rasa turut mempengaruhi karakter saya di lapangan sebagai tosser yang terlihat lebih lentur dibanding pemain lain.
Suatu saat, ada kejuaraan voli antar SD. Mama bilang, saya jadi tosser saja. Dalam pikiran saya, mau tosser kek, spiker, yang penting saya bisa main voli. Saat itu saya tidak terlalu minat. Selesai turnamen, saya balik jadi kiper lagi, lebih senang main sepak bola lagi.
Waktu SMP, ada kejuaraan antarklub Surabaya. Klub papa, V3 Surabaya yang kemudian berubah nama jadi Wijaya Putra ikut serta. Papa tidak pernah mengajak, tetapi saat jelang kejuaraan itu, klub papa tak punya tosser. Saya dimasukkan ikut latihan.
Saya bisa main, pnya dasar voli walau masih kacau umpannya. Tetapi saya berani. Setelah kejuaraan selesai, saya masih kembali ke sepak bola.
Mungkin karena terpantau, saya terpilih masuk tim voli Jawa Timur untuk POPSI Nasional tahun 1984. Saya kaget karena perasaan voli saya biasa-biasa saja, tidak seperti orang yang punya variasi. Ternyata saat itu banyak yang menilai bahwa teknik dasar tangan saya itu membuat saya punya bakat jadi pengumpan.
Saya masuk tim Jawa Timur untuk POPSI Nasional 1984. Lihat atlet dengan jaket Jawa Timur rasanya keren juga, bangga. Kami waktu itu peringkat tiga.
Di bulan Juni 1984, ternyata saya dapat panggilan masuk Ragunan. Tetapi kata papa gak usah, biar papa saja yang melatih di Surabaya. Sebelumnya kakak juga pernah dapat panggilan ragunan untuk atletik tetapi juga ditolak papa.
 Loudry Maspaitella sempat mengikuti turnamen sepak bola dan softball. (CNN Indonesia/Muhammad Ikhwanuddin) |
Di bulan Desember 1984, saya dapat panggilan ke tim nasional junior untuk ikut Kejuaraan bola Voli tingkat ASEAN. Saat itu saya tahu diri karena saya berpikir bahwa itu sedikit-banyak ada peran papa karena papa juga pengurus voli.
Walau demikian momen itu yang menjadikan saya menyukai voli. Di voli, saya bisa masuk tim nasional. Kalau kembali ke sepak bola, di level klub saja belum. Belum lagi tingkat Surabaya, lalu Provinsi. Ya sudah saya memutuskan untuk fokus ke voli.
Sebenarnya saya juga masih ikut turnamen softball SMA se-Surabaya dan terpilih masuk tim junior Jawa Timur. Tetapi papa saya bilang untuk melupakan softball.
"Kamu ini sudah voli, masa mau softball lagi. Nanti orang voli bingung karena nilai kamu gak serius, begitu juga orang softball karena tahu kamu itu atlet voli. Malah kamu gak jadi ke mana-mana nanti."
Itu kata papa saya waktu itu.
Di tahun 1986, saya terpilih masuk tim nasional junior lagi. Di 1984, kami kalah namun di Kejuaraan ASEAN junior 1986 kami berhasil juara.
Setelah Kejuaraan ASEAN junior tersebut, ternyata saya terpilih ikut Asian Games, ada 4-5 orang pemain yang terpilih saat itu. Padahal saat itu di junior, saya itu tosser cadangan, malah tosser inti-nya tidak ikut.
Saya ingat sekali, mama di suatu pagi bilang soal pemanggilan saya ke tim Asian Games.
"Sudah, tidak usah berangkat. Malu. Jangan sampai orang beranggapan, karena papamu, kamu terpilih tim nasional."
Itu kata mama waktu itu. Tetapi kemudian Pak Yopie Hehanusa yang merupakan pelatih tim nasional saat itu telepon papa saya.
Pak Yopie bilang bahwa pemanggilan saya bukan karena faktor papa tetapi karena mereka melihat potensi saya.
Dari situ keluarga saya bilang, ya sudah siap tanggung malu saja. Ya sudah saya berangkat. Di Asian Games itulah, saya baru melihat, sosok tosser terbaik Indonesia, Chandra Halim.
Aduh, ini tosser ini kayak begini. Sampai sekarang, sosok Chandra Halim jadi inspirasi.
Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan, benar-benar mengubah cara kemampuan saya bermain voli. Perbedaan saat sebelum berangkat dan setelah pulang dari Asian Games itu sangat jauh. Saya jadi lebih mahir bermain voli.
Sebagai anak dari seorang yang juga berkecimpung di dunia voli, tentu saya pernah mendengar anggapan-anggapan bahwa terpilihnya saya karena faktor papa saya.
Di Kejuaraan Asia Junior 1986, saya meyakini bahwa saat itu saya memang terpilih karena pemantauan, beda halnya dengan saat di 1984 yang mungkin masih ada yang berasumsi faktor papa. Saya terus terpilih masuk di tim junior hingga 1989 dan tentu itu mutlak karena kemampuan saya, bukan karena papa.
Selain voli, saya juga berkiprah sebagai bankir. Walaupun ada reputasi voli, saya berusaha membangun dan membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang cocok dengan tempat saya bekerja.
Selama bekerja, saya harus belajar menempatkan diri bahwa saya bukan bintang. Saya adalah pegawai. Karakter sebagai bintang di lapangan harus dihilangkan.
Salah satu kenangan yang menarik tentang karier voli di BNI adalah saat Proliga 2010. Ketika itu saya sudah jadi Wakil Pimpinan Cabang dan diminta untuk ikut main Proliga.
Saya tentu punya kekhawatiran kursi saya sebagai Wakil Pimpinan Cabang bisa hilang karena ditinggal dispensasi sekitar empat bulan. Namun ternyata kantor benar-benar menjamin bahwa posisi saya tidak akan hilang.
Wah, saat itu saya merasa main voli saya benar-benar bebas dan enak. Kebetulan pelatihnya Mr. Li. Benar-benar luar biasa. Badan dan pikiran saya benar-benar seperti SEA Games 1997. Semuanya lepas, bebas, benar-benar bersemangat.
Walaupun banyak yang bilang Loudry di Proliga 2010 sudah tua, tetapi saya tidak malu. Ini kantor saya. Saya ingat bahwa Proliga 2010 benar-benar luar biasa dan akhirnya kami bisa juara.
Hadiah dari manajemen saat itu bukan bonus, melainkan saya dipromosikan sebagai pimpinan cabang. Saya harus bertanggung jawab, harus bisa membuktikan bahwa saya layak di posisi itu.
Pada saat saya menjadi pemimpin, itu bukan hanya karena saya pemain voli, melainkan juga karena saya mengerti dan paham soal operasional bank.
Hidup saya seperti ini karena voli, jadi saya tidak boleh mengkhianati voli. Saat ini saya sebagai manajer tim nasional dan itu merupakan bentuk pengabdian karier saya di voli.
Tentu ada yang dikorbankan, yaitu karier saya di bank. Sebelum pensiun, saya ingin kembali mengabdi di voli.
Saya ingin jadi berkat buat banyak orang. Itu yang diajarkan dalam agama saya.
[Gambas:Video CNN]