Saya lahir dan besar di Surabaya, Jawa Timur, mulai dari TK nol kecil, SD, SMP, SMA sampai S1 di Surabaya. Papa saya, Leo Maspaitella, itu dosen di Sekolah Tinggi Olahraga (STO).
Papa saya itu dosen bola voli karena beliau juga mantan atlet. Karena tinggal di kompleks olahraga, semua sarana olahraga seperti basket, boli, bulutangkis, tenis meja, gulat, senam itu ada. Setiap hari saya lihat keseharian mahasiswa untuk berolahraga.
Dari SD kelas 4, setiap ada kegiatan mahasiswa saya ikut. Ada badminton, lihat raket nganggur saya ikut mukul-mukul. Seperti itulah kira-kira.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain voli, saya itu bisa main sepak bola, softball, basket, badminton, tenis meja, senam. Saya juga pernah latihan atletik karena kakak saya kan latihan atletik. Karena Papa dan Mama adalah atlet, saya memang diarahkan saya ke olahraga, tetapi belum sepenuhnya ke voli.
Untuk olahraga yang membuat saya hingga ikut kompetisi adalah sepak bola dan softball. Memang dasarnya saya lebih senang olahraga beregu, bekerja sama. Olahraga yang sendiri itu tidak menyenangkan buat saya. Maunya olahraga tim, yang ramai-ramai, bersama-sama.
Saat kecil, saya lebih senang sepak bola. Saya ikut klub Indonesia Muda dan posisi saya kiper. Saya senang jadi kiper karena gerakannya atraktif.
Pengalaman latihan senam dan posisi kiper inilah yang kemudian saya rasa turut mempengaruhi karakter saya di lapangan sebagai tosser yang terlihat lebih lentur dibanding pemain lain.
Suatu saat, ada kejuaraan voli antar SD. Mama bilang, saya jadi tosser saja. Dalam pikiran saya, mau tosser kek, spiker, yang penting saya bisa main voli. Saat itu saya tidak terlalu minat. Selesai turnamen, saya balik jadi kiper lagi, lebih senang main sepak bola lagi.
Waktu SMP, ada kejuaraan antarklub Surabaya. Klub papa, V3 Surabaya yang kemudian berubah nama jadi Wijaya Putra ikut serta. Papa tidak pernah mengajak, tetapi saat jelang kejuaraan itu, klub papa tak punya tosser. Saya dimasukkan ikut latihan.
Saya bisa main, pnya dasar voli walau masih kacau umpannya. Tetapi saya berani. Setelah kejuaraan selesai, saya masih kembali ke sepak bola.
Mungkin karena terpantau, saya terpilih masuk tim voli Jawa Timur untuk POPSI Nasional tahun 1984. Saya kaget karena perasaan voli saya biasa-biasa saja, tidak seperti orang yang punya variasi. Ternyata saat itu banyak yang menilai bahwa teknik dasar tangan saya itu membuat saya punya bakat jadi pengumpan.
Saya masuk tim Jawa Timur untuk POPSI Nasional 1984. Lihat atlet dengan jaket Jawa Timur rasanya keren juga, bangga. Kami waktu itu peringkat tiga.
Di bulan Juni 1984, ternyata saya dapat panggilan masuk Ragunan. Tetapi kata papa gak usah, biar papa saja yang melatih di Surabaya. Sebelumnya kakak juga pernah dapat panggilan ragunan untuk atletik tetapi juga ditolak papa.
![]() |
Di bulan Desember 1984, saya dapat panggilan ke tim nasional junior untuk ikut Kejuaraan bola Voli tingkat ASEAN. Saat itu saya tahu diri karena saya berpikir bahwa itu sedikit-banyak ada peran papa karena papa juga pengurus voli.
Walau demikian momen itu yang menjadikan saya menyukai voli. Di voli, saya bisa masuk tim nasional. Kalau kembali ke sepak bola, di level klub saja belum. Belum lagi tingkat Surabaya, lalu Provinsi. Ya sudah saya memutuskan untuk fokus ke voli.
Sebenarnya saya juga masih ikut turnamen softball SMA se-Surabaya dan terpilih masuk tim junior Jawa Timur. Tetapi papa saya bilang untuk melupakan softball.
"Kamu ini sudah voli, masa mau softball lagi. Nanti orang voli bingung karena nilai kamu gak serius, begitu juga orang softball karena tahu kamu itu atlet voli. Malah kamu gak jadi ke mana-mana nanti."
Itu kata papa saya waktu itu.
Di tahun 1986, saya terpilih masuk tim nasional junior lagi. Di 1984, kami kalah namun di Kejuaraan ASEAN junior 1986 kami berhasil juara.
Setelah Kejuaraan ASEAN junior tersebut, ternyata saya terpilih ikut Asian Games, ada 4-5 orang pemain yang terpilih saat itu. Padahal saat itu di junior, saya itu tosser cadangan, malah tosser inti-nya tidak ikut.
Saya ingat sekali, mama di suatu pagi bilang soal pemanggilan saya ke tim Asian Games.
"Sudah, tidak usah berangkat. Malu. Jangan sampai orang beranggapan, karena papamu, kamu terpilih tim nasional."
Itu kata mama waktu itu. Tetapi kemudian Pak Yopie Hehanusa yang merupakan pelatih tim nasional saat itu telepon papa saya.
Pak Yopie bilang bahwa pemanggilan saya bukan karena faktor papa tetapi karena mereka melihat potensi saya.
Dari situ keluarga saya bilang, ya sudah siap tanggung malu saja. Ya sudah saya berangkat. Di Asian Games itulah, saya baru melihat, sosok tosser terbaik Indonesia, Chandra Halim.
Aduh, ini tosser ini kayak begini. Sampai sekarang, sosok Chandra Halim jadi inspirasi.
Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan, benar-benar mengubah cara kemampuan saya bermain voli. Perbedaan saat sebelum berangkat dan setelah pulang dari Asian Games itu sangat jauh. Saya jadi lebih mahir bermain voli.
Sebagai anak dari seorang yang juga berkecimpung di dunia voli, tentu saya pernah mendengar anggapan-anggapan bahwa terpilihnya saya karena faktor papa saya.
Di Kejuaraan Asia Junior 1986, saya meyakini bahwa saat itu saya memang terpilih karena pemantauan, beda halnya dengan saat di 1984 yang mungkin masih ada yang berasumsi faktor papa. Saya terus terpilih masuk di tim junior hingga 1989 dan tentu itu mutlak karena kemampuan saya, bukan karena papa.
Selain voli, saya juga berkiprah sebagai bankir. Walaupun ada reputasi voli, saya berusaha membangun dan membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang cocok dengan tempat saya bekerja.
Selama bekerja, saya harus belajar menempatkan diri bahwa saya bukan bintang. Saya adalah pegawai. Karakter sebagai bintang di lapangan harus dihilangkan.
Salah satu kenangan yang menarik tentang karier voli di BNI adalah saat Proliga 2010. Ketika itu saya sudah jadi Wakil Pimpinan Cabang dan diminta untuk ikut main Proliga.
Saya tentu punya kekhawatiran kursi saya sebagai Wakil Pimpinan Cabang bisa hilang karena ditinggal dispensasi sekitar empat bulan. Namun ternyata kantor benar-benar menjamin bahwa posisi saya tidak akan hilang.
Wah, saat itu saya merasa main voli saya benar-benar bebas dan enak. Kebetulan pelatihnya Mr. Li. Benar-benar luar biasa. Badan dan pikiran saya benar-benar seperti SEA Games 1997. Semuanya lepas, bebas, benar-benar bersemangat.
Walaupun banyak yang bilang Loudry di Proliga 2010 sudah tua, tetapi saya tidak malu. Ini kantor saya. Saya ingat bahwa Proliga 2010 benar-benar luar biasa dan akhirnya kami bisa juara.
Hadiah dari manajemen saat itu bukan bonus, melainkan saya dipromosikan sebagai pimpinan cabang. Saya harus bertanggung jawab, harus bisa membuktikan bahwa saya layak di posisi itu.
Pada saat saya menjadi pemimpin, itu bukan hanya karena saya pemain voli, melainkan juga karena saya mengerti dan paham soal operasional bank.
Hidup saya seperti ini karena voli, jadi saya tidak boleh mengkhianati voli. Saat ini saya sebagai manajer tim nasional dan itu merupakan bentuk pengabdian karier saya di voli.
Tentu ada yang dikorbankan, yaitu karier saya di bank. Sebelum pensiun, saya ingin kembali mengabdi di voli.
Saya ingin jadi berkat buat banyak orang. Itu yang diajarkan dalam agama saya.
(ptr/ptr)